Di rumah sakit..
Ketika sedang bimbingan, wajah Dave terlihat sangat dingin dan datar. Membuat para koas yang ada duduk mendengarkan materi yang dia sampaikan dibuat diam dan menyimak dengan serius. Takut jika sewaktu-waktu Dokter Killer itu bertanya. Mereka tak bisa menjawabnya bisa berabe nantinya.
Para koas dengan wajah tegang sibuk mencatat apa saja yang diterangkan oleh Dave di hadapan mereka dengan serius.
“Apa kalian mengerti?!” Tanya Dave dengan sorot tajam.
“Ngerti, Dok.” Jawab mereka bersamaan.
Dave kembali memutar gambar lain untuk diperlihatkan kepada para koas. Sorot tajam, dingin, kaku. Walau terlihat killer dan menakutkan. Diam-diam para koas menatap kagum pada pria itu. Saat menyampaikan materi, sangat detail sekali dan mudah untuk mereka pahami.
“Operasi invasive minimal bedah laparoskopik. Membutuhkan titik masuk sayatan yang lebih kecil unt..” Belum selesai Dave menerangkan. Ponsel salah satu koas tiba-tiba berbunyi. Membuat pria itu perlahan menoleh menatap tajam ke arahnya.
“Maaf, Dok.” Ucap sang koas ketakutan dengan tangan gemetaran. Di dalam hati mengutuk kesalahan tak mematikan nada ponselnya sebelum masuk ke ruang bimbingan.
Semua rekannya memandang horor kepadanya. Menggelengkan kepala bahkan ada yang memberi kode menaruh jempol di leher lalu menarik ke samping.
‘Mampus’ Batinnya.
“Keluar!” Titah Dave dengan sorot dinginnya.
“Ta..”
“Apa kamu nggak tau aturan! Saya bilang, KELUAR!!” Bentak Dave membuat sang koas terjengkit kaget dan buru-buru keluar ruangan.
Tak hanya sang koas tadi yang kaget mendengar bentakan Dave. Rekan-rekannya juga merasakan hal yang sama. Namun, mereka sama sekali tak menyalahkan Dave. Karena semua murni kesalahan teman mereka yang pelupa.
Padahal sudah berkali-kali diingatkan. Sebelum masuk ke dalam ruangan yang akan dibimbing oleh Dokter Killer dan perfeksionis itu.
Bimbingan kembali dilanjutkan. Namun baru saja menerangkan, tiba-tiba ponsel yang ada di dalam saku Dokter Killer itu berbunyi nyaring. Membuat para koas terjengkit kaget. Kertas yang sudah mereka tulis jatuh berserakan dilantai. Semua serentak memandang ke arah Dave.
“Maaf. Saya terima panggilan dulu.” Kata Dave keluar ruangan meninggalkan para koas yang mengucap istighfar dan mengusap d**a mereka pelan.
Mau protes tapi lidah rasanya kelu untuk berkata. Setelah Dave pergi mereka berkumpul dan berbisik pelan.
“Astagfirullah.. Aku fikir ponsel salah satu dari kita yang berbunyi lagi. Bisa mati berdiri kita kalau begini. Si Hesti sih, sudah dikasih tau pikun banget tuh anak. Apa nggak mengamuk Dokter Dave sama dia.” Cerocos salah satu koas menghela nafas panjang.
“Benar.. Lihat nggak tadi waktu Dokter Dave marah? Beghh.. Ngeri uyy.. Hesti, sampai gemetaran.” Ujar salah satunya lagi.
“Jangankan, Hesti. Aku juga ikut merasa takut.”
“Tapi, Dokter Dave makin ganteng tau.. Lihat nggak wajahnya tadi saat menatap layar ponselnya. Waktu menerima panggilan telfon. Wajahnya tersenyum tipis. Akhh.. manis sekali.”
“Yang benar?”
“Benar, jelas aku lihat. Dia senyum lalu tak lama kembali datar menatap kita-kita.”
“Dari pacarnya kali.”
“Dokter Dave, tuh nggak punya pacar.”
“Tau dari mana?”
“Kakak sepupu aku kan salah satu Dokter senior yang bekerja di sini. Dia yang beritahu aku. Katanya, Dokter Dave tuh nggak punya pacar. Karena nggak ada wanita yang mau dengan pria galak sepertinya.”
“Akhh.. Masak nggak ada perempuan yang suka? Emang sih dia killer dan perfeksionis. Tapi bukankah biasanya pria seperti itu membuat kita penasaran? Apalagi dengan wajahnya yang ganteng dan..”
“Aku tau apa yang mau kau bilang. Good looking and good rekening kan?”
Lalu mereka tertawa ngakak bersama. Dan berhenti saat Dave kembali masuk ke dalam ruangan. Semua menatap dengan wajah serius memandang ke arah depan.
Dave kembali menerangkan. Hingga semua materi dan bahan selesai ia sampaikan. Pria itu buru-buru pamit pergi, naik ke atas di aman ruang kerjanya berada.
Tepat jam 5 sore, karena tak ada jadwal operasi. Dave bisa segera pulang awal dan sesuai rencana akan membawa Ayla untuk berbelanja.
Tiba di apartemennya. Baru saja dia ingin mengetuk, pintu kamar gadis itu terbuka. Menampilkan sosok Ayla yang tersenyum menatapnya dengan baju kaos milik Dave yang kedodoran ditubuh mungilnya. Memperlihatkan sebelah bahunya yang putih mulus.
“Eh, Mas Dave udah pulang?”
“Hm.” Sahut Dave datar.
Keduanya berjalan melangkah keluar apartemen. Saat di depan lift, Dave melepas jasnya dan segera memakaikan ke tubuh Ayla. Agar bahu gadis itu tak terlihat.
“Mas Dave!” Seru Ayla menatap heran.
“Pakai dan jangan dilepas.” Titah Dave menekan kata-katanya.
Wajah Ayla merona merah dengan perlakuan Dave kepadanya barusan. Seperti menonton film korea di saat seorang pria dengan gentle nya menutup tubuh kekasihnya agar tak terlihat orang lain.
Bedanya di film korea yang pernah ia tonton. Sang pria menatap penuh cinta. Sedangkan laki-laki disampingnya ini, raut wajahnya datar dan dingin.
Dave membawa Ayla ke mall yang ada di Kota Jakarta. Setelah memarkirkan kendaraannya. Keduanya segera masuk ke dalam pusat perbelanjaan itu.
Sewaktu kaki Ayla akan berpijak di eskalator. Ia hampir tergelincir jika saja Dave tak segera memegang dan memeluk tubuhnya.
“Hati-hati.” Gumam Dave datar. Tak memperdulikan tatapan mata orang-orang yang melihat ke arah mereka.
Ayla mengangguk pelan. Berulang kali menarik nafas panjang dan menghelanya pelan. Agar debaran aneh di dalam hatinya segera hilang. Namun rasa itu semakin menjadi saat Dave kembali menarik dan menggenggam tangannya saat mereka tiba di lantai atas mall.
“Ayo, ke sana.” Ajak Dave dan Ayla mengangguk menurutinya.
Mereka masuk ke salah satu outlet yang menyediakan pakaian dan perlengkapan wanita dari berbagai merk terkenal.
“Pilih baju yang kamu suka dan bawa ke kamar pas.” Ujar Dave menunjuk dengan dagunya ke arah jejeran pakaian yang ada di hadapan mereka.
“Baiklah.” Jawab Ayla. Berjalan memutar dan memilih pakaian yang ia suka dan sesuai ukuran tubuhnya.
Namun, saat dia melihat harga yang ada di balik baju. Kedua matanya melotot kaget dengan harga yang tertera di sana.
‘Astgafirullah Al adzim.. Baju model begini harganya lima juta? Padahal di pasar malam, tempat biasa aku dan Tante Yanti beli. Paling mahal serratus ribu.’ Batin gadis itu meletakan kembali baju yang tadi ia pegang.
Dan hal itu tak luput dari pandangan Dave yang menatapnya dari kejauhan. Pria itu dengan langkah lebar segera menghampiri Ayla. Dan mengambil baju yang tadi gadis itu pegang.
“Eh.. Jangan diambil, Mas Dave.” Ucap Ayla.
“Kenapa?” Tanya pria itu dengan alis menukik.
Ayla berjalan mendekat pada Dave. Segera mendekatkan mulutnya di kuping pria itu.
“Kita pindah aja, yuk? Kita belinya di pasar malam saja. Di sana juga banyak model pakaian bagus-bagus dan yang lebih penting. Harganya semua terjangkau. Nggak kayak di sini, mahal.” Bisik Ayla.
Dave menatap tajam melihat Ayla. Lalu tanpa ia duga. Pria itu memanggil pramuniaga wanita yang menjaga outlet pakaian.
“Iyah, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?” Tanya pramuniaga wanita itu dengan ramah.
“Ambil semua baju yang gadis ini pegang tadi. Dan segera bawa dia ke kamar pas untuk mencobanya!” Jawab Dave menekan kata-katanya.
“Tapi, Mas Dave.. A..”
Belum selesai Ayla bicara. Pramuniaga wanita itu segera mengajak Ayla untuk ikut bersamanya. Dave lalu menunggu dan duduk di depan kamar pas.
Tak lama Ayla keluar dan berputar di depannya dengan baju yang gadis itu pilih.
“Gimana?” Tanya Ayla yang memakai baju dengan potongan lengan pendek. Sehingga bahu gadis itu terlihat jelas.
Dave mengerutkan dahinya, lalu perlahan pria itu menggelengkan kepalanya tak suka.
“Tukar!” Perintahnya.
Ayla hanya menurut dan kembali masuk ke kamar pas. Terus seperti itu. Jika Dave menyukainya, dia akan segera menyuruh pramuniaga wanita membawa ke kasir. Tapi kalau pria itu menggeleng. Mereka akan mengembalikan ke rak pakaian kembali.
Sewaktu menunggu di depan kamar pas. Mata Dave tak sengaja melihat sebuah dress berwarna biru pastel. Segera ia berdiri dan mengambilnya. Menyuruh pramuniaga wanita itu untuk memberikan kepada Ayla untuk segera mencobanya.
Tak lama kemudian..
“Gimana?” Tanya Ayla yang baru saja keluar dari kamar pas.
Ayla memakai dress berwarna biru pastel yang cantik banget. Sangat pas di tubuhnya. Gadis itu berdiri di hadapan Dave yang menatapnya dengan raut wajah sulit untuk diterka.
Dave terdiam menatap Ayla yang terlihat begitu pas dan anggun mengenakan dress yang ia pilih tadi. Gadis itu aslinya memang sudah cantik. Sedikit polesan saja, ia akan jadi luar biasa mempesona.
“Mas.” Panggil Ayla.
Gadis itu terus menunggu pendapat pria di hadapannya. Pun dengan pramuniaga wanita di samping mereka berdua.
“Kok diam aja? Bagus nggak?” Tanya Ayla.
Bukannya menjawab pertanyaan Ayla. Dave malah balik bertanya pada gadis itu. Membuat pramuniaga wanita tersenyum menatap pasangan yang ada di hadapannya.
“Kamu nyaman memakainya?”
Ayla mengangguk dan tersenyum senang. Dress ini cantik banget. Ditambah lagi ukurannya pas di tubuh. Bahannya nyaman dan halus. Tapi jujur, jika ia di suruh membeli baju ini. Sudah pasti dia tak akan mampu. Karena harganya itu loh, mahall.. 3 juta!
“Bungkus aja!” Kata Dave cepat.
Mata Ayla melebar memandang Dave.
‘Sebenarnya seberapa kaya pria di depannya itu? Mengeluarkan uang kayak membeli sayur di pasar.’ Batin Ayla bertanya-tanya.
“Ini aja? Nggak mau coba yang lain lagi?” Tawar pramuniaga wanita itu kepada Ayla.
“Nggak usah, Kak. Terima kasih.” Tolak Ayla cepat. Menarik Dave untuk ikut bersamanya ke kasir untuk membayar baju yang sudah ia pilih tadi.
Di depan kasir. Dave mengeluarkan Black card dari saku dompetnya dan menyerahkan kepada pramuniaga wanita itu. Pria itu kembali menoleh melihat Ayla yang berdiri di sampingnya.
“Kamu yakin semua itu sudah cukup?” Tanya Dave memastikan.
“Iyah, lebih dari cukup.” Jawab Ayla cepat.
Pipinya memerah tatkala sejumlah pakaian dalam berbagai warna yang sudah dia pilih di angkat dan dihitung di depan wajah Dave. Gadis itu menunduk malu. Namun sang pria diam dan terlihat datar tanpa ekspresi apapun.
Maaf yah... Ada sedikit perubahan cover buku dan judul yah.. Terima kasih bagi yang sudah membaca cerita ini.. jangan lupa sesudah baca Tab love nya yah.. Terima kasih.