“Besok salah satu ponakan saya ulang tahun. Kita akan pergi dan menghadiri acaranya di rumah orang tua saya. Sekaligus memperkenalkan kamu kepada mereka.” Terang Dave yang lagi mengemudi menatap serius ke arah depan.
“Baiklah.” Lirih Ayla pelan.
Ia menoleh melihat pria yang lagi mengemudi di sampingnya. Gadis itu diam-diam mengamati wajah Dave yang kaku dengan sorot mata serius.
“Kenapa kamu melihat saya seperti itu? Apa ada yang ingin kamu katakan?” Tanya Dave tiba-tiba membuat Ayla segera memalingkan wajahnya melihat ke kaca sebelah kiri.
“Nggak ada apa-apa.” Jawab gadis itu malu-malu.
“Besok, kamu cukup katakan.. Iya dan tidak. Selebihnya, biarkan saya yang menjelaskan kepada mereka semua tentang kita.” Ujar Dave melirik Ayla.
“Iyah, tapi bagaimana jika mereka tak bisa menerima saya?” Cemas Ayla.
“Keluarga saya lebih mementingkan kebahagian anak-anaknya. Mereka bukanlah orang tua yang mengukur baik buruk dan pantasnya seseorang mendampingi anaknya dari harta atau pendidikan yang dimiliki. Jadi kamu tenang saja.” Tukas Dave.
Tak lama Dave menepikan mobilnya di depan sebuah restoran. Tempatnya lumayan bagus dan juga terlihat mewah. Bagi Ayla yang biasanya makan di warung pinggir jalan. Menyantap makanan di rumah makan semewah ini adalah suatu hal menakjubkan dan baru pertama kali ia alami.
Baru saja keduanya melangkahkan kakinya masuk ke dalam restoran. Beberapa pasang mata sudah memandang ke arah mereka. Tepatnya ke pria yang berjalan di sebelah Ayla.
Para wanita yang sedang menyantap makan di sana menatap kagum dengan makhluk ciptaan Tuhan, terlihat sempurna dan sangat menarik di mata mereka. Merasa iri dengan gadis bertubuh kecil yang berjalan masuk bersama pria maskulin dengan sebelah tangan di masukkan ke dalam saku celana itu.
Dave terus melangkah masuk mencari meja kosong untuk mereka. Menarik tangan Ayla yang selalu ketinggalan berjalan di belakangnya.
Membuat mata gadis itu melebar kaget. Apalagi merasa kehangatan genggaman tangan Dave membuatnya nyaman. Seketika wajahnya memerah dan perlahan menunduk malu.
Wajah Dave yang datar, dingin dan maskulin semakin membuat beberapa pasang mata wanita penasaran akan pria itu. Sehingga mereka curi-curi pandang melihatnya. Padahal saat itu lagi makan bersama pasangan masing-masing.
Pas mereka sampai di depan meja. Ayla lagi-lagi dibuat tercengang sewaktu ngelihat Dave dengan wajah datarnya. Tiba-tiba menarik kursi buat dia. Perlakuan pria itu semakin membuat banyak mata melirik merasa sangat iri kepada Ayla.
‘Dingin, datar, kaku. Tapi perlakuannya itu selalu membuat jantung jumplitan.’ Batin Ayla.
Ayla mengibaskan wajah dengan tangannya. Berusaha menghilangkan rasa deg-degan yang ia rasakan. Selama ini, ia tak pernah berpacaran dengan siapapun.
Walau banyak teman pria sewaktu SMA menyukainya. Selalu ia tolak dengan halus. Sekarang dia tak menyangka akan langsung menikah dengan laki-laki yang umurnya terpaut jauh dengannya. Apalagi perlakuan Dave sangat sulit untuk ia tebak.
“Panas?” Tanya Dave.
“Oh, nggak.” Jawab Ayla cepat dan segera duduk.
Dave menghela nafas pelan. Mengambil dan melihat buku menu. Memberikan satu kepada Ayla.
“Pilih makanan yang kamu inginkan.” Ujar Dave.
Ayla membaca menu apa saja yang tersedia di restoran itu. Sesekali ia melirik melihat ke arah pria di depannya.
“Cepat pilih apa yang ingin kamu makan. Jangan hanya melihat ke arah saya saja.” Tegur pria itu membuat Ayla semakin malu dibuatnya.
Ayla melihat ke buku menu. Matanya membaca salah satu menu yang membuat banyak kenangan membekas di dalam dirinya. Cumi saos padang. Masakan yang selalu Tante Yanti buat setiap kali ia mendapat rangking di kelasnya.
“Ay!” Seru Dave membuat Ayla tersadar dari lamunannya.
“Saya mau ini aja, Mas. Cumi saos padang.” Tunjuk gadis itu.
“Kamu mau itu?” Dave memastikan.
Ayla menganggukkan kepalanya cepat.
“Kalau, Mas Dave? Pesan apa?” Ayla menatap penasaran menu yang akan dipesan oleh pria itu.
“Steak.”
“Oh.”
“Minumnya apa?”
“Teh tawar hangat aja, Mas.”
“Itu aja?”
Ayla mengangguk dan tersenyum. Dave kemudian memanggil waitress guna mencatat pesanan makanan mereka.
“Malam.. Mau pesan apa, Pak, Bu?" Tanya waitress itu.
“Cumi saos padang 1, steak dagingnya 1. Minumnya, teh hangat dua.” Jawab Dave.
“Baik, ditunggu yah.” Ujar sang waitress berlalu pergi.
Dave mengangguk pelan. Lalu perlahan melepaskan jasnya dan menggulung kemejanya lengan panjangnya ke siku.
“Mas Dave.” Panggil Ayla.
“Hm.”
“Mas Dave, nggak suka makan cumi yah? Padahal cumi itu enak loh.”
“Saya alergi seafood.”
Ayla menopang kepalanya dengan tangan kirinya. Gadis itu baru tau ternyata calon suaminya tak bisa makan makanan laut. Banyak hal yang dia tak tau tentang diri pria itu.
“Mas Dave, punya alergi lain selain seafood?”
“Nggak ada. Hanya itu.”
“Apa warna favorit, Mas Dave?”
“Putih.”
“Suka cuaca dingin atau panas?”
“Dingin.”
“Mas Dave, ulang tahunnya kapan?”
“July.”
“Makanan favorit?”
“Semua, kecuali seafood.”
“Buah favorit?”
“Buah Naga.”
“Hobi?”
Dave menaikkan sebelah alisnya melihat tingkah laku Ayla yang seolah mengulik profil tentang dirinya.
“Kenapa kamu tiba-tiba banyak tanya dan kepo begitu?”
“Kita kan mau nikah. Bukankah aneh kalau sampai saya nggak tau apa-apa tentang, Mas Dave? Lagian, saya ingin mengingat semua hal favorit yang ada pada diri, Mas.”
Dave menatap dalam kedua bola mata Ayla. Lalu perlahan tersenyum tipis. Membuat jantung gadis itu berdebar sedikit meningkat hanya karena sebuah senyuman yang jarang sekali terlihat di wajah sang pria.
“Sekarang.. Mas, lagi yang bertanya padaku.” Kata Ayla.
Dave menaikkan kedua alisnya dan meletakkan kedua tangannya ke atas meja.
“Buah kesukaanmu?” Tanya Dave.
“Melon.”
“Bunga favoritmu?”
“Mawar putih.”
“Mawar putih?” Dave mengerutkan dahinya. Merasa heran mendengar jawaban Ayla.
Tak lama pria itu tersenyum dan kembali bertanya pada sang gadis yang duduk di hadapannya.
“Bagaimana dengan hewan favoritmu?”
“Kucing.”
Dave menganggukkan kepalanya pelan mendengar jawaban spontan Ayla. Baginya gadis di hadapannya ini sangat berbeda dengan kebanyakan wanita yang sudah ia temui.
Walau umurnya masih terbilang muda. Cara fikir Ayla jauh lebih dewasa di bandingkan gadis seumuran dengannya.
Makanan dan minuman yang mereka pesan akhirnya datang juga. Ayla yang sedari tadi sudah merasa gugup dan salah tingkah melihat senyum Dave. Segera mengambil gelas teh hangatnya.
Yang celaka nya. Ternyata teh itu masih panas. Bikin lidah Ayla serasa kebakaran dan melepuh.
‘Aw..” Ayla segera meletakkan gelas teh itu lalu menutup mulutnya dengan tangan. Terasa luar biasa nyeri di lidahnya.
“Kenapa? Tehnya masih panas?” Tebak Dave tampak cemas melihat gadis di hadapannya.
Ayla mengangguk-anggukan kepalanya. Lidahnya masih terasa sakit. Sehingga sulit untuk berbicara.
Dave menoleh melihat sekeliling mencari keberadaan pelayan restoran. Tak lama pria itu melambaikan tangan memanggil waitress. Meminta segera dibawakan air mineral.
“Apa masih terasa sakit?”
Ayla mengangguk pelan.
Tak lama waitress itu kembali membawa air putih kemasan botol. Ayla mengambil dan perlahan meminumnya. Hingga rasa sakit di lidahnya memudar.
“Lain kali, hati-hati. Jangan suka buru-buru.” Ujar Dave menghela nafas.
Ayla hanya diam dan mengangguk saja. Setelah dirasa lidahnya tak terasa sakit. Barulah ia mulai menyantap makanan pesanannya tadi.
Sungguh malam yang penuh cerita untuk dikenang. Mereka saling bertanya tentang banyak hal berdua. Menciptakan rasa iri pada pasangan lain yang sedari tadi memerhatikan interaksi Ayla dan juga Dave.
Termasuk seorang wanita yang sedang duduk menunggu di pojok restoran. Menatap benci ke arah gadis yang ada di hadapan pria yang sudah lama ia cinta dan sukai.