Dave membuka pintu apartemennya. Lalu berjalan mendekati dapur berniat mengambil air minum. Dan melihat sebuah nota yang ditempel di pintu kulkas untuknya.
‘Saya mencari kotak obat. Tapi tidak ketemu. Kalau ada, tolong taruh di depan pintu kamar jika kamu sudah pulang.’
Dave langsung melihat ke arah pintu kamar Ayla.
“Apa dia sakit?” Gumam Dave seraya berjalan dengan sedikit tergesa memasuki kamarnya dan tak lama kemudian keluar dengan kotak obat di tangannya.
Dave nampak ragu ketika dia berada di depan pintu kamar Ayla. Antara ingin mengetuk apa nggak. Namun, karena rasa penasaran akan keadaan sang gadis. Pria itu kemudian memberanikan diri mengetuk pintunya satu kali.
“Kotak obatnya saya taruh di sini.” Seru Dave segera menyimpan di depan pintu.
Tak ada jawaban. Dave lalu berfikir. Jika mungkin Ayla tidak akan keluar kalau dirinya masih berdiri di depan kamar gadis itu.
‘Bagaiman aku ingin mengajaknya bicara. Kalau dia menghindar seperti ini.’ Batin Dave.
Tak lama pria itu lalu berinisiatif masuk ke dalam kamarnya. Sengaja membuka dan menutup pintunya dengan sedikit keras. Agar Ayla tau jika dirinya telah pergi dan masuk ke dalam kamar.
Dan benar saja apa yang ia duga. Tak lama terdengar suara pintu kamar Ayla terbuka lalu menutup kembali.
Dave yang masih berdiri di depan pintu kamarnya merasa sangat penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi saat ia berangkat kerja tadi. Kenapa Ayla membutuhkan kotak obat? Mungkinkah dirinya terluka saat memasak atau sebenarnya sakit karena kejadian semalam?
Memikirkan ada orang yang sakit di rumahnya. Membuat pria itu tak tenang. Apalagi bukankah dia bertanggung jawab besar jika ada sesuatu yang terjadi pada gadis itu?
Dave berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Merasa khawatir jika saja keadaan Ayla ternyata parah. Atau bahkan dia takut jika sebenarnya gadis itu salah meminum obat yang ada di kotak obat tersebut.
Memikirkan hal itu membuat Dave segera keluar menuju kamar Ayla tepat di sebelahnya. Dia segera mengetuk pintunya beberapa kali. Tak ada jawaban, semakin membuatnya merasa khawatir.
“Bisa kamu buka pintunya sebentar?” Pintanya.
Namun tetap, tak ada jawaban dari dalam sana.
Rasa khawatirnya semakin bertambah. Berfikir jika sesuatu benar terjadi kepada gadis itu di dalam sana. Kembali dia mengetuk pintu kamar Ayla.
“Buka pin..”
“Saya tidak apa-apa.” Tiba-tiba terdengar suara pelan dari dalam kamar menyela bicara Dave.
“Kalau kamu nggak apa-apa. Lalu kenapa membutuhkan kotak obat? Apa kamu terluka?” Tanya Dave penasaran.
“Saya tidak apa-apa. Semua baik-baik saja.” Sahut Ayla memberikan jawaban yang masih dengan suaranya yang pelan.
Dave termangu di depan pintu. Walau mereka baru bertemu semalam. Akan tetapi ia tau jika gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Dari suaranya saja sudah terdengar lemah.
Pria itu tampak bingung. Kembali berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar Ayla. Lalu tak lama melangkah ke ruang tamu dan menjatuhkan tubuhnya ke salah satu sofa yang ada di sana.
Sementara itu di dalam kamar..
Ayla berbaring dengan lemah. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Wajahnya tampak sangat pucat. Dengan segala upaya dia mencoba duduk. Mengambil kotak obat di atas meja kecil di sampingnya. Tiba-tiba kepalanya terasa sangat nyeri.
“Ya Allah..” Ayla meringis sambil kembali berbaring. Tubuhnya benar-benar tak bisa di ajak kerjasama bahkan sekadar untuk duduk sebentar saja.
Gadis itu menitikkan air mata. Mengingat ketika terakhir kali dia sakit. Ada Tante Yanti yang mengurusnya dengan penuh kasih sayang.
“Tante..” Ayla merintih memanggil nama sang tante dengan air mata yang terus keluar membasahi bantal di bawahnya.
Ia terus memikirkan tantenya yang tidak tau bagaimana kabarnya setelah kemarin mereka terpisah. Tak lama terdengar suara pintu diketuk. Dave kembali bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
“Alya.. Kamu beneran nggak apa-apa?” Tanya pria itu di luar kamar.
Ingin menjawab, tapi mulutnya terasa sangat sulit untuk berbicara. Berusaha mengumpulkan tenaganya agar bisa kembali duduk. Lalu perlahan ia berjalan mendekati meja untuk mengambil kertas.
Namun, karena kepalanya terasa sangat pusing. Dan penglihatannya berkunang-kunang. Tubuhnya ambruk tanpa bisa ia tahan jatuh membentur lantai.
Brakk..
Gelas yang ada di atas meja kecil ikut terjatuh saat tanpa sadar tangan Ayla menyentuhnya.
Dave mengerutkan dahinya saat dengan jelas ia mendengar benda jatuh di dalam sana.
“Alya.. Kamu yakin nggak apa-apa?” Kembali Dave bertanya. Merasa ada yang tak benar terjadi di dalam sana.
Ditambah lagi sedari tadi Alya tak menjawab satu pun pertanyaannya. Pria itu bergerak cepat masuk ke kamarnya. Membuka laci meja dan menemukan kunci serep.
Dengan cepat diambilnya dan berlari keluar ke depan kamar Alya. Membuka pintu dan betapa kaget dirinya saat mendapati gadis itu terbaring di lantai dengan mata yang sudah terpejam.
“Astagfirullah al adzim, Alya!” Teriak Dave berlari mendekati tubuh gadis itu. Segera mengangkatnya naik ke atas ranjang.
Dan semakin bertambah kaget saat merasakan kulit gadis itu yang terasa sangat panas. Mencari kotak obat yang tadi diberikan. Menemukan termometer dengan cepat ia masukkan ke dalam mulut Alya.
Keningnya menukik tajam saat melihat angka yang tertera pada termometer itu. Mata Alya perlahan terbuka walau penglihatannya kabur.
“39.6 C! Kau demam tinggi dan sedari tadi kau mengatakan tidak ada apa-apa dan baik-baik saja. Astaga..” Tukas Dave marah.
Pria itu dengan cepat berjalan keluar dari dalam kamar Alya. Mencari persediaan obat demam yang selalu ia simpan di kotak obat satunya lagi.
Lalu ke dapur mengambil segelas air hangat dan berjalan kembali masuk ke kamar Alya. Meletakkan gelas dan obat di meja kecil samping tempat tidur.
“Ayo, kau harus minum obat dulu.” Kata Dave perlahan duduk di atas ranjang tepat di samping Alya. Membantu gadis itu duduk dan mengambil gelas air hangat dan obat tadi lalu diberikan.
Setelah memastikan obat itu ketelan. Dave kembali membantu Alya berbaring di ranjang. Memeriksa denyut nadi Alya.
“Jika panas mu tak jua turun. Tengah malam nanti, aku akan memasang jarum infus. Berjaga-jaga agar kau tak kekurangan cairan. Dan lebih memudahkan obat masuk dengan cepat ke dalam tubuhmu.” Terang Dave dengan wajah datar.
Saat Dave berbalik ingin keluar dari kamar itu. Alya dengan sekuat tenaga berusaha menggapai tangan pria itu. Membuat sang pria seketika menoleh melihatnya.
“Makasih.” Lirih Ayla dengan suara yang pelan.
“Hm.” Dave menghela nafas panjang.
Perlahan Alya menutup matanya. Berharap obat yang tadi ia minum bisa menurunkan demam ditubuhnya. Kembali sehat seperti sediakala.
Dia tak ingin sakit lebih lama lagi. Sudah cukup baginya Allah mengujinya dengan kesakitan akan perbuatan Paman Mukhlis selama ini kepadanya. Ayla tak ingin membuat pria yang sudah menolongnya itu merasa menyesal karena sudah menyelamatkannya dari dunia malam.
“Tidurlah.. Jangan terlalu banyak berfikir jika kau ingin cepat sembuh. Walau banyak hal yang harus kita bicarakan. Tapi kau harus benar-benar sembuh baru kita rundingkan.” Pesan Dave berlalu pergi keluar dan menutup pelan pintu kamar gadis itu.
Dia hanya bisa berharap jika obat yang diberikannya bisa menurunkan panas Alya. Sehingga tak perlu menyuntikkan jarum infus ke tubuh gadis itu.
Tepat tengah malam, seperti yang sudah ia katakan tadi. Dave kembali mendatangi kamar Alya. Memeriksa suhu tubuh dan keadaan sang gadis.
“Alhamdulillah.. Panasnya udah turun.” Ucap Dave sangat pelan. Memandang wajah Ayla yang tampak tidur dengan nyenyak.
Memutuskan keluar dan menutup pintu kamar Ayla dengan pelan.
Keesokkan harinya..
Dave memutuskan untuk datang ke rumah sakit agak siang. Pria itu ingin memastikan dulu jika Ayla sudah benar-benar sembuh atau malah sebaliknya.
Tok.. Tok..
Dave mengetok pintu sebelum melangkah masuk ke dalam kamar Ayla. Melihat gadis itu yang sudah bangun dan sedang duduk di atas ranjang.
“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Dave.
Melangkah mendekat dan memeriksa suhu tubuh Ayla.
“Sudah lebih baik.” Jawab Alya.
“Apa kamu yakin?” Dave memastikan.
“Iyah.” Balas Ayla singkat.
Suhu tubuh mulai normal. Walau denyut nadi gadis itu masih terasa lemah. Wajahnya sudah tak sepucat seperti semalam.
“Kamu harus makan sesuatu. Saya akan memesankan mu bubur.” Ujar Dave mengeluarkan ponselnya dan terlihat akan memesankan makanan untuk Ayla.
‘Walau wajahnya dingin dan datar. Tapi dia orang yang baik.’ Batin Ayla. Menatap Dave tanpa berbicara.
“Jangan lupa, habiskan makanannya dan minum obatnya. Istirahat. Ini nomor ponsel, saya. Kalau ada apa-apa segera hubungi, saya.” Ucap Dave meletakkan kartu namanya di atas meja kecil samping tempat tidur.
Ayla hanya diam dan memerhatikan Dave. Bingung ingin berkata apa pada pria itu.
“Dan ini, uang untuk membayar makanannya.” Sambung Dave meletakkan uang selembar lima puluh ribuan
Ayla hanya menganggukkan kepalanya pelan.
“Iyah.” Jawab gadis itu pelan.
Dave lalu pamit dan keluar dari kamar. Segera bersiap-siap ke rumah sakit. Meninggalkan Ayla di rumah sendirian. Berharap kondisi gadis itu segera fit agar mereka bisa segera membicarakan hal penting yang harus di rundingkan bersama.
Sementara Ayla, gadis itu merasa sangat beruntung sudah bertemu Dave. Walau wajah pria itu datar dan selalu menatapnya dingin. Namun pria itu memiliki hati malaikat.
‘Jika aku tak bertemu dengannya. Sudah pasti saat ini hidup dan masa depan ku hancur tak bersisa. Terus terkurung di tempat penuh nista dan dosa. Melayani banyak laki-laki yang tak ku kenal dan yang pasti menanggung dosa besar. Keji dan sangat menjijikkan.’ Batin Ayla.
‘