Karena tak ingin membangunkan Ayla. Dan lebih menunggu waktu yang tepat untuk mengajak gadis itu berbicara. Dave memilih berangkat kerja dan hanya meninggalkan selembar kertas nota yang ditempelkan di pintu kulkas.
“Jika lapar, masaklah. Semua tersedia di dalam rak penyimpanan.” Pesan tertulis yang Dave tinggalkan untuk gadis itu.
Pria itu perlahan menutup pintu apartemen dan segera masuk ke dalam lift yang membawanya turun ke lantai bawah. Segera masuk ke dalam mobilnya menuju rumah sakit tempat ia bekerja.
Setelah memarkirkan kendaraannya. Seperti biasa, Dave si Dokter, dingin, kaku dan perfeksionis melangkah masuk ke dalam rumah sakit. Menganggukkan kepalanya dan menjawab singkat sapaan para suster dan rekan sesama Dokter yang ia lewati.
Saat melewati lorong rumah sakit. Langkahnya terhenti saat melihat beberapa mahasiswa Kedokteran yang tampak berkumpul di tengah lapangan sedang mendengarkan dan memperagakan CPR. Dave perlahan memasukkan tangannya ke dalam saku jas putihnya. Berdiri dan memperhatikan para mahasiswa itu.
Dokter Farel, salah satu Dokter dengan sukarela memberikan materi singkat kepada para mahasiswa itu tengah duduk di tengah lapangan. Tepat di sebelah pantum CPR yang ada di bawahnya.
“Ada tiga prinsip utama dalam melakukan CPR yaitu CAB. C adalah circulation, A adalah airway, B adalah breathing. Beberapa dari kalian yang dulu pernah ikut PMR. Mungkin tau, bahwa dulu urutannya adalah ABC. Tapi belakangan, America medical association menggantinya menjadi CAB.” Terang Dokter Farel, Dokter Umum di sana.
Para mahasiswa menggangguk dan mendengarkan penjelasan singkat Dokter Farel dengan serius.
“Pertama-tama, saat kalian menemukan korban dalam posisi seperti ini. Dalam keadaan tak sadarkan diri. Kalian harus melakukan tes respon ASNT. Awas-Suara-Tak-Respon. Awas dan suara dilakukan bersamaan. Kita menepuk bahu korban seperti ini.”
Dokter Farel menepuk bahu pantum dengan kedua tangannya dua kali sambil berkata.
“Pak. Pak.”
“Saat membangunkan korban seperti ini. Wajah kita harus di depan korban dengan posisi tegak lurus. Tidak boleh di samping kanan atau samping kirinya. Ada yang tau kenapa?” Tanya Dokter Farel.
Salah satu mahasiswa mengangkat tangannya. Semua mata langsung menoleh melihat padanya.
“Iyah, silahkan cowok berbaju biru. Katakan jawaban kamu.” Ucap Dokter Farel.
“Untuk menghindari korban menoleh saat mendengar suara kita. Karena dikhawatirkan korban mempunyai cedera pada leher. Yang akan semakin parah jika dia sampai menoleh.” Jawab mahasiswa berbaju biru itu.
Dave yang menatap dari kejauhan ikut mengangguk membenarkan jawaban mahasiswa itu.
“Perfect! Jawaban kamu sangat benar.” Puji Dokter Farel.
Semua mahasiswa langsung ber oh dan memandang ke arah teman mereka yang menjawab tadi dengan kagum.
“Cedera pada daerah leher sangat berbahaya. Kenapa begitu? Itu karena pada leher manusia ada banyak sel saraf dan pembuluh darah. Satu gerakan yang salah saja bisa menimbulkan kematian.” Terang Dokter Farel dengan ekspresi seram.
Para mahasiswa itu tampak terkejut, dan ber oh mendengar penjelasan yang baru disampaikan barusan oleh Dokter Farel.
“Lalu tes respon yang ketiga adalah N. Nyeri, kita bisa mencubit korban untuk membangunkannya. Seandainnya korban ini sedang berpura-pura pingsan. Dia mungkin masih bisa menahan sakit kalau dicubit.”
Dokter Farel menatap serius para mahasiswa yang ada di tengah lapangan bersamanya.
“Tapi, ada satu tes nyeri yang luar biasa sakit. Dan orang pasti tidak akan bisa untuk berpura-pura untuk menahannya. Ada yang tau?” Kembali Dokter Farel bertanya kepada para mahasiswa.
“Tusuk jarum aja, Dok.” Jawab salah satu mahasiswa.
Semua yang mendengar jawaban absurd teman mereka langsung tertawa.
“Ide yang bagus. Tapi jangan dilakukan! Ada ide yang lain?”
Salah satu mahasiswa yang berada di barisan belakang mengangkat tangan.
“Iyah, apa jawaban kamu?”
“Tekan px- nya?” Jawab mahasiswa itu ragu.
“Benar sekali. Jawaban kamu betul. Jangan ragu menjawab pertanyaan. Apalagi ini adalah materi yang sangat penting kalian pelajari.” Ujar Dokter Farel.
Pria itu tersenyum dan menepuk pelan bahu mahasiswa itu.
“PX atau procesus xymfoideus adalah tempat yang sangat nyeri bila ditekan. Tekan px dengan tangan dikepalkan seperti ini.” Dokter Farel kembali memperagakan tes respon nyeri.
Pria itu dengan sabar menyampaikan materi dan pelajaran kepada mahasiswa kedokteran itu. Sangat berbeda dengan Dave yang dingin dan kaku.
“Jika setelah tes respon korban tetap tidak bergeming. Maka, dapat disimpulkan T. Tak respon lalu segera kita lakukan head thin chin leave. Tekan dagu, angkat dahi sambil dengarkan suara nafas lima detik. Jika negative, buka jalan nafas. Kalau ada sumbatan, bersihkan.”
Dokter Farel menarik nafas panjang dan menghelanya pelan. Lalu kembali berbicara.
“Cek nadi pada arteri karotis. Jika negative, baru lakukan CPR. Kompresi tiga puluh kali dengan tekanan enam puluh sampai tujuh puluh sentimeter air banding dua tiupan selama lima siklus. Sambil terus melihat respon korban. Kalau korban sadar atau bernafas spontan, hentikan CPR. Kalau tidak, ulangi sampai dua belas siklus ataupun sampai bantuan datang.” Jelas Dokter Farel panjang lebar dan diangguki mengerti oleh para mahasiswa kedokteran itu.
“Oke, cukup penjelasan saya hari ini. Silahkan, lakukan praktek dengan benar.” Sambung Dokter Farel lalu undur diri.
Pria itu berjalan menghampiri Dave yang sedang berdiri memperhatikan para mahasiwa dengan wajah kaku dan dinginnya.
“Jika kau terus melihat orang dengan wajah dingin seperti itu. label sebagai Dokter killer akan terus kau sandang di rumah sakit ini.” Tegur Dokter Farel kepada Dave.
Dave menoleh melihat Dokter Farel yang sudah berdiri tepat di sebelahnya itu. Menertawakan dirinya.
“Ayolah, Dave. Sampai kapan sifat garangmu itu kau pertahankan. Dari kita yang hanya mahasiswa, hingga sah menjadi Dokter. Heran aku. Kalau orang yang baru mengenalmu mungkin akan bertanya-tanya dan takut. Tapi kalau aku mah, udah biasa.” Ucap Dokter Farel tersenyum.
Keduanya tampak serius melihat para mahasiswa yang ada di lapangan praktek cara yang benar melakukan CPR.
“Dave.”
“Hm.”
“Katanya, Elina sudah tiba di tanah air. Apa kau nggak ingin bertemu dengannya?”
Dave menoleh melihat Dokter Farel. Elina, rekan sesama Dokter. Wanita yang menyukai Dave namun pria itu dengan jelas dan berkali-kali menolaknya. Hingga wanita itu sengaja melanjutkan Pendidikan kedokterannya agar ia bisa membuktikan. Bahwa dirinya pantas berada di samping pria dingin, kaku dan killer itu.
“Dia sudah menyelesaikan Pendidikan kedokterannya. Hah.. Kalian berdua sudah menjadi Dokter Spesialis. Hanya aku yang belum. Padahal, dulu kita sama-sama kuliahnya.” Sambung Dokter Farel memasukkan tangan ke dalam kantong jas putihnya.
Dave hanya diam dan kembali melihat ke arah lapangan.
“Elina, wanita itu sangat menyukaimu. Ayolah, Dave.. Dia adalah pasangan yang sangat hebat jika dijadikan istri. Jika kalian sampai menikah. Banyak orang yang akan menatap iri dengan pernikahan kalian berdua.” Cerocos Dokter Farel namun tak ditanggapi serius oleh Dave.
Dave menoleh melihat Dokter Farel dengan wajah serius dan kakunya.
“Calon istri, aku sudah punya.” Jawabnya singkat.
“Apa? Yang benar? Akhh.. kau pasti sedang mengerjaiku kan? Mana mungkin ada wanita yang kau suka aku tak tau. Come on, Dave. Heii.. di rumah sakit ini, hanya kau seorang Dokter Killer yang banyak disukai namun tak pernah membalas perasaan mereka.” Tukas Farel tak mepercayai ucapan temannya.
“Aku serius! Dia bukan seorang nakes apalagi anak orang kaya. Dia hanyalah seorang wanita biasa. Dan aku menyukainya.” Bohong Dave agar Dokter Farel tak membahas Elina lagi di hadapannya.
‘Saat ini aku belum menyukainya. Tapi tidak ada yang tau perasaan suka kita akan berlabuh pada siapa.’ Batin Dave.
“Benarkah? Serius?” Tanya Dokter Farel dengan wajah kaget.
Dave mengangguk pelan.
“Dia gadis yang sangat cantik. Berumur 18 tahun d..”
“Apa? 18 tahun? Heii.. Bukankah gadis itu masih anak-anak?” Sela Farel memotong ucapan Dave.
“17 tahun ke atas bukan lagi anak-anak, Rel.” Sanggah Dave.
Dokter Farel menggeleng-gelengkan kepalanya bingung dan stress dengan apa yang Dave fikirkan. Sebenarnya apa isi kepala teman baiknya itu? tak pernah punya hubungan dengan wanita manapun. Tiba-tiba mengatakan ingin menikah dengan gadis yang jarak umur mereka sangat jauh terpaut.
“12 tahun, Dave.. Jarak umur kalian tuh jauh. Apa kau yakin dengan gadis itu? jangan sampai kau salah pilih, loh?”
“Lalu kenapa memangnya dengan jarak umur 12 tahun? Di luar sana, banyak kok orang yang umurnya terpaut lebih jauh dibandingkan kami. Aku yakin dengan pilihan ku, Rel. Jadi doakan saja kami bahagia.” Jelas Dave panjang lebar.
Dokter Farel memincingkan matanya memandang Dave.
“Kau yakin ini bukan alasan untuk menghindar dari, Elina? Sapa tau, karena tak ingin wanita itu menuntut untuk kau nikahi. Kau mengajak gadis yang baru kau kenal untuk menikah denganmu.”
“Kau tau aku seperti apa, Rel.”
Dokter Farel terdiam mendengar jawaban Dave. Apalagi saat rekannya itu menatap dirinya dengan sorot tajam dan dingin. Membuat dia bingung ingin berkata apa.
“Terus.. Bagaimana dengan, Elina? Orang pertama yang akan dia cari saat datang ke rumah sakit ini adalah kau, Dave.”
“Aku tak peduli. Tapi, jika kau menyukainya. Kau bisa mencoba mendekatinya.”
“Kau gila! Dia suka sama kau, bukan aku.”
Dave mengangkat kedua bahunya dan mencebikkan bibirnya tak peduli.
“Aku pergi dulu. Ada jadwal operasi siang ini.” Pamit Dave berjalan meninggalkan Dokter Farel yang menatap punggung temannya itu yang melangkah menjauh.
Dokter Farel menggeleng-gelengkan kepalanya melihat temannya yang semakin menjauh. Dari dulu hingga sekarang. Wataknya keras dan tegas namun hatinya sebenarnya baik dan tak pernah membeda-bedakan orang lain. Hal itulah yang membuat Farel salut dan selalu kagum dengan Dave.
Dulu ia fikir Elina mampu membuat hati kaku Dave mencair. Ternyata tidak.
“Siapapun gadis pilihanmu. Sebagai teman baikmu. Aku selalu mendoakan kebahagianmu, Dave.” Lirih Dokter Farel pelan.
Sementara Dave yang berjalan di lorong rumah sakit terus berfikir kata-kata apa yang akan dia katakan nanti malam kepada Ayla. Seputar tentang rencananya akan membawa dan memperkebalkan gadis itu kepada keluarganya.
Seumur-umur, tak pernah ia merasa pusing dan bingung begini. Apalagi ini tentang hubungan yang akan ia jalani ke depannya bersama gadis itu.
‘Semoga saja gadis itu mau menerima apa yang aku sampaikan. Kalau tidak, di mana lagi aku mau mencari wanita untuk dikenalkan pada Ayah dan Bunda. Waktu seminggu tinggal beberapa hari lagi.’ Batin Dave.