Chapter 1 "Pertemuan pertama"
Ersya memasuki ruangan milik Dokter yang menjadi boss nya di rumah sakit. Tangannya menekan sebuah angka acak untuk mengakses brangkas yang berisi data penting milik Dionald. Saat benda besi itu terbuka lebar, tangannya langsung meraih beberapa file berisi data diri pasien yang akan menjalani operasi hari ini.
“Oke, sudah semua. Lengkap.” Ucapnya pada dirinya sendiri. Perempuan itu kembali menutup brangkas dan bersiap untuk pergi menuju ruang meeting para dokter bedah.
Sesaat sebelum perempuan itu meninggalkan ruangan sang atasan, suara ponsel yang berdering membuatnya berjengit kaget. Ersya mengedarkan tatapannya ke seluruh penjuru ruangan dan menemukan sebuah ponsel bergetar di atas meja kerja.
Dengan ragu ragu, Ersya meraih benda elektronik itu. Dia menelan ludahnya saat melihat sebuah panggilan masuk dilayar benda itu.
“Apa aku harus membawa benda ini?” gumam nya bingung. Pasalnya, para dokter tidak akan menyukai hal ini. Tidak ada yang boleh menggunakan ponsel saat bekerja, dan Ersya mengetahui hal itu dengan sangat.
Tapi melihat benda ini bergetar berkali kali, dirinya berasumsi jika panggilan ini cukup penting.
Dengan ragu ragu, perempuan itu menekan icon hijau untuk menjawab panggilan tadi.
“Halo?” ucapnya pelan
Suara tangisan pelan dari seorang anak menyahuti ucapannya.
“Papa, Papa dimana? Papa bisa jemput Achi?” tanya anak yang ada di sebrang telfon itu
“Uhm, Pak Dionald sedang ada di ruang meeting. Ada pertemuan untuk membahas pasien yang harus menjalani operasi intens yang cukup berbahaya, jadi-“
“Papa, Achi sakit. Achi mau dijemput Papa.” Lirih anak itu
Ersya mulai di dera rasa panik, perempuan itu mulai meragukan keputusannya mengangkat panggilan telfon tersebut. Apa dirinya telah melanggar privasi milik dokter yang menjadi aset penting dari rumah sakit ini?
“Achi, kau ada dimana sekarang? Biar Tante yang menjemputmu.” Balas Ersya
“Achi di sekolah. Tolong jemput Achi.”
Mendengar sahutan nya, Ersya langsung menatap sebuah lokasi yang dikirimkan oleh anak bernama Achi itu. Dia mengetahui tempat ini. Sekolah swasta taman kanak kanak yang elit. Tidak jauh dari tempatnya saat ini, tapi akan sangat memakan waktu jika dirinya berjalan kaki kesana.
“Iya, Achi tunggu ya? Tante pergi kesana dengan cepat.” Balas Ersya. Perempuan itu mematikan sambungan telfon nya dan segera bergegas menuju ruang meeting para dokter.
Keputusan nya sudah bulat, lagipula dirinya tidak terlalu dibutuhkan diruangan itu. Jadi dia bisa menjemput anak bernama Achi yang kemungkinan adalah anak dari Dionald, atasannya di rumah sakit itu. Entah konsekuensi macam apa yang akan diberikan pria itu padanya karena lancang mengangkat telfon nya.
Tapi karena menurut Ersya, ini adalah situasi darurat, dia akan menghadapi hukuman atas tindakannya ini nanti.
Perempuan itu segera berlari menuju ruang pertemuan, dia menyerahkan berkas pada Dionald dan menunduk kecil. Tanpa berkata apapun, perempuan itu kembali keluar dari ruangan.
“Perawat! Perawat Ersya!” panggil seseorang
Ersya menoleh, seorang kepala perawat di rumah sakit berlari kecil menghampiri nya.
“Kemana kau akan pergi? Ada pasien darurat?” tanya kepala perawat itu
Ersya menggeleng, “Ada urusan mendesak, bu. Ada apa?”
“Ah tidak. Tidak jadi. Kau terlihat tergesa jadi aku akan meminta yang lain. Pergilah, hati hati dijalan.” Ucap kepala perawat itu
Ersya mengangguk dan menggumamkan terima kasih sebelum akhirnya kembali berlari kecil menuju keluar dari rumah sakit.
Dia meraih kantung yang ada di saku seragam perawat nya. Hanya ada sedikit uang disana, tapi cukup untuk membayar taksi dari rumah sakit ke sekolah dan sebaliknya.
Ersya berjalan menuju taksi yang terparkir di depan rumah sakit.
“Pak, ke L International School.” Ucap Ersya
Dalam hatinya, terbesit rasa khawatir. Terlebih karena mendengar suara anak tadi yang bergetar, seolah tengah menahan tangis. Perempuan itu mengedarkan tatapannya keluar jendela.
‘Apa tidak apa jika aku pergi begitu saja saat bekerja?’
‘Bagaimana jika aku dipecat?’
‘Tapi jika aku menyampaikan hal ini pada Dokter Dionald, mungkin saja dia akan meninggalkan ruang rapat. Sedangkan pertemuan tadi sangat penting karena menyangkut keselamatan pasien.’
Ersya menghembuskan nafasnya gusar. Perempuan itu menggelengkan kepalanya pelan, mencoba mengusir bayang bayang pemecatan dirinya. Tak ingin larut dalam lamunan nya, Ersya mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil. Dia menatap gedung gedung tinggi bertingkat yang berada di sisi jalan, terlihat angkuh dan berkuasa.
Perempuan itu tersenyum kecil, mengingat jika sesaat sebelum memasuki dunia universitas, dirinya berharap agar bisa bekerja disalah satu daria sekian banyak perusahaan bergengsi yang ada di sana. Namun takdir menuntunnya untuk bekerja di sebuah rumah sakit, dia ingin membalas jasa atas apa yang rumah sakit itu lakukan untuknya.
“Nona, sudah sampai.” Ucap supir taksi itu. Pria itu menyebutkan biaya yang harus dibayar oleh Ersya untuk jasa nya. Tanpa berkata apapun, perempuan itu menyodorkan selembar uang berwarna hijau sebelum akhirnya keluar dari taksi.
Ersya mengedarkan tatapannya ke seluruh sudut sekolah. Tatapannya kemudian bertemu dengan seorang anak yang tengah berdiri bersama seorang wanita berpakaian rapi. Ersya memutuskan untuk mendekati keduanya, terlebih saat menyadari jika dirinya buta tentang siapa yang akan ditemuinya.
“Permisi.” Ucapnya
Wanita paruh baya berpakaian rapi itu menoleh pada Ersya dan mengangguk kecil, tidak lupa dengan seulas senyuman tipis dia tunjukan pada Ersya.
“Ya, Nona? Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita itu
“A-aku mencari Achi. Dia bilang jika dirinya sakit.” Jawab Ersya dengan nada ragu-ragu. Dia melirik anak laki laki yang bersembunyi dibalik wanita paruh baya itu, terlihat malu dan menggemaskan.
“Ah, saya seorang guru disini. Dan kau…?” balas wanita itu, seolah menyelidiki Ersya yang terlihat asing di matanya.
“Aku perawat di sebuah rumah sakit tempat Dokter Dionald bekerja.” Jawab Ersya. Dengan tergesa perempuan itu menunjukan kartu identitas dirinya sebagai seorang perawat.
Wanita paruh baya itu menunduk dan menatap anak laki laki yang bersembunyi dibelakang tubuhnya.
“Achi, kau mengenal kakak ini?” tanya nya
Ersya meringis, jadi anak yang menggemaskan itu yang bernama Achi? Wajah dan sikapnya menggemaskan, sama seperti suara yang didengarnya saat disambungan telfon.
Oh, dan saat ini dirinya pasti dikira sebagai penculik anak. Dia mengeluarkan kartu identitas resmi nya dan menyodorkan benda tipis itu pada guru tadi.
“Ini, kau bisa menyimpan ini. Aku pastikan, aku bukan bagian dari sindikat penculik anak. Dokter Dionald adalah dokter unggulan di rumah sakit, dan saat ini para dokter bedah tengah bersiap untuk membahas sebuah kasus yang cukup unik. Jadi aku yang menggantikannya menjemput Achi.” Ujar Ersya sambil tersenyum canggung
Guru itu mengangguk dan meraih kartu identitas milik gadis di depannya.
“Aku akan menyimpan ini. Tolong tinggalkan nomor telfon Nona disini.” Sahut Guru tadi yang langsung dituruti oleh Ersya
Perempuan itu menuliskan nomor telfon nya, dia tersenyum dan menyerahkan sehelai kertas tadi pada sang Guru. Tatapannya beralih pada bocah laki laki yang masih bersembunyi itu.
Ersya tersenyum dan merendahkan tubuhnya, “Hai! Aku Ersya. Dokter Dionald sedang ada pertemuan penting di rumah sakit, jadi aku yang akan menjemputmu.” Sapa nya ramah
“Aku Achi…” balas anak itu dengan suara menggemaskannya
Ersya menahan senyuman gemasnya, dia mengulurkan tangannya pada anak itu. Saat uluran tangannya dibalas, barulah Ersya menyunggingkan senyuman lebarnya.
“Achi, hati hati di jalan. Cepat sembuh ya.” Ucap guru itu sambil melambaikan tangannya pada Arashi
Arashi menoleh dan melambaikan tangannya untuk membalas sang guru. Kaki kecilnya mengikuti langkah Ersya untuk menuju sebuah taksi yang ada di depan gerbang sekolah.
“Nah, Achi, aku akan mengantarmu pulang. Kau tahu alamat rumahmu?” tanya Ersya
Arashi menggeleng, “Antar Achi ke rumah sakit, Aunty. Boleh?”
Ersya menipiskan bibirnya ragu, tapi perempuan itu mengangguk saat melihat anak yang ada bersama nya menatap penuh harap.
“Aunty, apa Papa benar benar sedang sibuk?” tanya Arashi yang disahuti anggukan oleh Ersya. Perempuan itu memasang kan sabuk pengaman pada anak itu dan mengusap rambutnya dengan lembut, “Iya. Achi, apa Achi tahu jika Papa Achi adalah orang terhebat di rumah sakit? Orang yang hebat akan selalu dibutuhkan. Karena itu Papa Achi sangat sibuk disana.”
Ersya mendengar anak itu menghela nafasnya pelan, “Jadi Papa sibuk karena dia sangat hebat. Apa Achi boleh berharap jika ada orang yang lebih hebat dari nya agar Papa memiliki banyak waktu dengan Achi?”
Ersya menipiskan bibirnya. Lalu dengan kaku menyunggingkan sebuah senyuman kaku. Dia tahu hal ini. Dia tahu bagaimana rasanya mendapatkan perhatian seadanya.
Bukan karena kedua orangtua nya adalah orang yang sibuk, tapi Ersya sejak lahir berada di panti asuhan. Perempuan itu sejak kecil mendapatkan perhatian seadanya karena banyaknya anak yang bernasib sama dengannya.
“A-aunty?” tanya Arashi dengan suara pelan. Anak itu terlihat sangat terkejut saat melihat mata Ersya yang berkaca.
“Aunty menangis?” tanya nya lagi
Ersya menggelengkan kepalanya, dia mengusap dahi Arashi yang berkeringat.
“Tidak. Oh, Achi apa kau demam? Dahi mu hangat.” Ucap Ersya cemas
“Achi hanya sedikit sakit. Achi mau bertemu Papa.” Sangkal nya
Ersya menatap anak itu dengan pandangan hangat. Dia bisa melihat rona kemerahan di pipi anak itu, belum lagi dengan nafasnya yang terdengar terengah. Dia juga ingat jika guru tadi mengatakan agar cepat sembuh.
Anak ini sakit. Tapi enggan mengakuinya.
Tapi… jika dokter Dionald memiliki anak, bukannya seharusnya dia sudah memiliki istri? Dimana dia saat anaknya seperti ini?
Sesaat setelah memikirkan nya, Ersya menggelengkan kepalanya. Dia tidak layak menanyakan hal itu. Dia juga tidak memiliki keberanian untuk bertanya. Jadi lebih baik dia diam dan menutup mulutnya rapat rapat.
Lima belas menit kemudian, taksi itu berhenti dihalaman rumah sakit. Ersya menyerahkan sejumlah uang sebelum akhirnya membantu Arashi untuk turun dari mobil.
Arashi terlihat mengedarkan tatapannya ke seluruh gedung rumah sakit. Anak itu bersembunyi dibelakang Ersya saat menyadari jika banyak orang yang menatapnya dengan penuh rasa penasaran.
“Ayo masuk. Tapi Achi janji ya? Jangan pergi kemana mana tanpa diketahui oleh ku.” Ajak Ersya
Arashi mengangguk, anak itu menurut saat Ersya menggandengnya untuk masuk ke rumah sakit. Keduanya menyusuri lorong demi lorong, satu persatu ruangan, sebelum akhirnya sampai ke ruangan khusus para dokter.
“Ayo masuk. Ini ruangan Dokter Dionald.” Ucap Ersya yang dibalas oleh anggukan oleh anak laki laki berumur 5 tahun itu. Dia bersembunyi dibalik tubuh Ersya dan masuk ke dalam ruangan.
Tepat saat keduanya masuk, tatapan tajam seseorang langsung mengarah pada Ersya.
“Kemana kau? Pergi saat bekerja?” tanya Dionald
Ersya menipiskan bibirnya. Memilah kata yang akan dia pakai untuk memberi alasan pada atasannya di rumah sakit itu.
‘Maaf, Pak. Tadi saya lihat ponsel bapak bunyi dan ternyata itu anak bapak yang meminta dijemput. Jadi saya…’
Ahh tidak. Hal ini tidak bisa menjadi alasan.
‘Maaf, Pak. Ponsel bapak bunyi, dan ada telfon masuk. Jadi saya angkat dan ternyata itu anak bapak. Ternyata bapak sudah punya anak ya?’
Alasan kedua tidak masuk akal. Dia malah bertanya soal anak yang mungkin akan mengusik privasi Dokter Dionald.
Ersya menelan ludahnya gugup. Dia pasti akan di pecat, dia yakin itu.
“Papa.”
Suara dari seorang anak lelaki yang ada dibelakang tubuh Ersya membuat Dionald tertegun. Pria itu terdiam sejenak sebelum berdiri dari kursi nya. Dia berjalan ke arah Ersya dan mengintip dari bahu perempuan yang lebih pendek dari nya itu.
Kedua mata Dionald melebar, dia segera berjalan menuju Arashi yang ternyata bersembunyi dibelakang Ersya.
“Achi, sayang?”
Nada suara pria itu melembut, membuat Ersya tanpa sadar melemas, merasa jika dirinya selamat karena Arashi mengalihkan perhatian Dionald.
“Papa, jangan marah.” Ucap anak itu
“Achi, kenapa kau ada disini? Bukannya kau harusnya sekolah?” tanya Dionald
Anak laki laki itu terdiam sebelum akhirnya mengeluarkan suara tangisan.
“Papa menyeramkan!” serunya sambil menangis
Dionald menghela nafasnya. Arashi pasti mendengar suara tegas yang dia berikan pada asisten nya di rumah sakit. Pria itu mengulurkan tangannya, berusaha meraih tubuh kecil Arashi agar tidak lagi bersembunyi dibelakang tubuh asistennya.
“Tidak mau! Achi mau disini, bersama Aunty… Papa pasti mau menyuruh Achi pulang, kan? Achi tidak mau, Papa.” Rengek anak itu
Ersya mendadak gelagapan. Apalagi dirinya terjebak diantara Ayah dan anak itu. Belum lagi dengan cengkraman erat dari Arashi di bagian belakang pakaiannya.
“Achi, Papa mohon jangan nakal, nak.” Pinta Dionald
Dan sesaat setelahnya, tangisan Arashi terdengar lebih menjadi. Ersya merasa khawatir dengan anak itu, dia berbalik dan segera meraih bahu Arashi dengan lembut.
“Achi, jangan menangis ya? Nanti kepalamu sakit.” Pinta Ersya sambil mengusap air mata Arashi. Dia mengulas senyuman lembut saat menyadari jika Arashi mengikuti perkataannya, anak laki laki itu hanya sesekali sesegukan tanpa menangis seperti sebelum nya.
Ersya bangkit dan berbalik menghadap Dionald, “Maaf, Pak. Tadi, saat saya mengambil berkas, ponsel bapak berdering terus menerus. Saya pikir itu adalah hal penting, jadi saya mengangkat telfon nya karena tidak mungkin saya membawa nya ke ruang meeting.” Ucap perempuan itu yang dibalas tatapan tajam Dionald
“S-saya tahu itu tidak bisa jadi alasan, Pak. Apalagi saya juga melanggar privasi Bapak dengan mengangkat panggilan yang masuk.” Lanjutnya cepat
“Tapi saya juga tidak bisa untuk menahan rasa cemas saya. Apalagi saat mendengar suara Achi-uhm, maksud saya Arashi seperti tengah menahan tangis, sementara Bapak juga tidak mungkin meninggalkan ruang rapat, jadi…” Ersya menggantung ucapannya, perempuan itu menyunggingkan senyuman canggung sebelum akhirnya menghela nafasnya penuh penyesalan, “Maaf, Pak.”
Dionald menghembuskan nafasnya kuat kuat. Dia benci alasan, tapi dia tidak bisa melakukan apapun karena apa yang dilakukan asistennya itu adalah untuk Arashi, anaknya sendiri.
“Achi, kemari. Duduk disini bersama Papa.” Pinta Dionald sambil menepuk sebuah kursi yang ada didekatnya
Arashi menggeleng, “Papa marah. Achi takut.”
“Papa tidak marah. Ayo kemari, biar Papa lihat apa yang membuatmu sakit.” Ujar Dionald
Arashi menatap Ersya sejenak sebelum akhirnya berjalan mendekati Dionald. Anak itu masih mencengkram ujung pakaian Ersya, membuat perempuan itu terpaksa mengikuti langkah kecil dari Arashi.
“Maaf, Aunty.” Cicit anak itu yang dibalas dengan senyuman dan gelengan singkat dari Ersya.
“Tidak apa. Bukan salahmu.”