Kira-kira sudah dua hari Lamia memilih menyibukkan diri di butik bersama dengan Rima. Walaupun Rima tetap pulang ke rumah, tetapi dirinya tidak.
Dia lebih memilih mengikuti apa yang pernah dikatakan oleh ayahnya, untuk berdiam sementara waktu di butik. Tidak sepenuhnya untuk menghindari Venus, dirinya memang sibuk hingga sudah kadung lelah untuk bergerak pulang.
Kini dia akhirnya memilih kembali pulang, ke sebuah bangunan yang dia sebut rumah walaupun tidak begitu membuatnya nyaman dan kerasan. Alasannya? Karena dia tidak memiliki baju bersih untuk dia pakai.
"Mia!"
Mamanya menyambut, berjalan cepat walau apron masih menempel di badannya.
"Lagi masak makan malam ya, Ma?" tanya Lamia. Tangannya sigap menyalami tangan mamanya yang mulai keriput.
"Iya! Mama bikin masakan kesukaan kamu loh! Kayaknya ini insting Mama, karena ternyata kamu pulang ke rumah."
Lamia mengulas senyum tipis, turut senang mendengar apa yang dikatakan oleh mamanya.
"Kamu enggak akan pergi lagi, kan?" tanya mamanya, ketika melihat Lamia tampak termenung untuk sejenak.
Sedang Lamia mengerti arti pertanyaan itu, karena itu artinya, Venus juga ada di rumah.
Dan tebakannya terbukti benar saat suara langkah kaki dari lantai atas terdengar. Lamia tidak tertarik untuk sekedar mendongak ke arah kakaknya, karena entah kenapa dia merasa bahwa wajah Venus selalu tampak senang setiap kali memandang Lamia dari atas.
"Kirain udah bisa beli rumah sendiri dari usaha kamu yang kamu banggain itu, sampai enggak pulang ke rumah selama dua hari. Ternyata memang yang namanya usaha kecil, enggak akan bisa diandelin ya!"
Sudah Lamia duga bahwa akhirnya akan seperti ini. Jika dipikirkan dengan serius, Lamia justru kebingungan saat menyadari hubungannya dengan Venus menjadi seperti ini. Sejak kapan kira-kira?
Padahal mereka dulu adalah kakak-adik yang akrab dan sering bermain bersama kala kecil.
"Venus, adik kamu baru pulang loh! Kenapa sih kamu selalu mancing keributan?" tegur mamanya.
Tapi sudah jelas bahwa Venus adalah orang yang menolak disalahkan. Wanita itu malah mengangkat dagunya tinggi. "Loh? Aku cuma ngomong kenyataan kok, Ma! Anak ini kebiasaan, kalau baper sedikit ujung-ujungnya malah enggak pulang ke rumah! Pantas aja kalau sampai sekarang enggak ada yang tertarik sama dia! Dikit-dikit diambil hati, apa bagusnya sifat kayak gitu?"
Anehnya, ucapan itu sudah tidak lagi mempengaruhi Lamia. Dia justru mengabaikan keberadaan Venus dan berujar pada mamanya, "Ma, aku mandi dulu ya! Nanti aku turun pas jam makan malam. Atau.." Lamia melihat jauh ke arah dapur. "Ada yang perlu aku bantu?"
Tapi mamanya menggeleng dengan wajah sungkan. "Enggak usah, Nak! Kamu ke kamar dan istirahat aja ya. Nanti Mama panggil kalau makan malamnya udah siap, kan ada Mbak yang bantu."
Kepala Lamia mengangguk, lalu dia memutar tumitnya hendak naik ke kamarnya satu Venus menghadang lengkapnya.
"Kamu sekarang udah enggak ada hormat-hormatnya sama kakak kamu sendiri ya!"
Rupanya, Venus merasa tersinggung karena Lamia terang-terangan menganggapnya transparan.
"Kamu pernah denger enggak, Ven, kalau sebaiknya jangan nyubit orang kalau kamu enggak mau dicubit."
Kening kakaknya itu berlipat-lipat menatap padanya.
"Kamu enggak bisa ngehargain orang tapi berharap dihargain, kan itu konyol, Ven!"
Setelah mengatakan apa yang ingin dia katakan, dia langsung melewati tubuh Venus. Wajah kakaknya terlihat memerah, menahan amarah, sudah pasti. Harga dirinya yang tinggi itu terluka, karena orang seperti Lamia yang selalu dianggap ada di bawahnya, berani mengabaikannya.
Entah dimulai dari mana salahnya. Karena jika diingat, orang tua mereka selalu memperlakukan mereka sama. Tidak ada yang berbeda yang bisa membuat Venus kesal atau iri padanya.
Ah! Atau mungkinkah saat itu? Sebuah kejadian saat mereka masih duduk di bangku SMA?
*
"Kale, tadi Papi denger kalau kamu enggak balik sampai jam pulang kantor. Tapi kenapa baru pulang? Enggak kayak biasanya."
Ruu baru saja memasuki rumah orang tuanya, saat sang Ayah yang biasanya pulang malam, sudah duduk santai sambil merangkul maminya yang sibuk dengan gawai keluaran terbaru.
"Main, Pi," balasnya langsung.
Sebuah jawaban yang membuat kedua orang tuanya langsung menoleh dengan wajah menganga. Ruu tertawa geli melihatnya. Niatnya yang tadi akan langsung ke kamarnya, ia urungkan. Kini dia lebih tertarik untuk bergabung dengan kedua orang tuanya yang tampak kebingungan.
"Bahkan waktu kuliah aja, kamu jadi kupu-kupu, kenapa sekarang baru kepengen main? Kamu telat puber ya?" Sindir maminya.
Ruu hanya mengangkat bahunya, tangannya ia ulurkan untuk mengambil toples kukis yang terhidang di atas meja.
"Beneran main? Main apa?" Tanya papinya, yang ternyata masih penasaran dengan kebenaran jawaban Ruu.
Dan Ruu yang mendengar itu langsung tertawa. Satu tangannya kini melepaskan kacamata bulat yang dia kenakan hampir seharian ini. "Kale ketemu sama kakak tingkat jaman sekolah jadi sekalian ngajak makan karena udah lama enggak ketemu." Bersama dengan orang tuanya, membuat Ruu menanggalkan nama depannya dan menyebut dirinya dengan nama kecil yang hingga kini digunakan oleh orang tua dan orang-orang terdekatnya.
"Lelaki? Atau lawannya?"
Pertanyaan macam apa yang ditanyakan oleh maminya ini. Kale bahkan seolah sudah bisa membaca apa yang ada dipikiran maminya itu.
"Kale mau ke kamar dulu ya! Mau mandi." Ia memilih untuk angkat tangan, karena dia bisa menebak apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh ibunya tercinta itu jika Ruu menyebutkan lawan jenisnya.
"Hey! Kok malah kabur? Kalau begitu, udah pasti perempuan kan?"
Maminya mengejar jawaban, tapi Ruu hanya mengibaskan tangan sambil terus berjalan masuk ke dalam kamar. Dia lepas jas yang membuatnya kegerahan sejak tadi, disusul dengan kemeja yang melapisi tubuhnya.
Lalu matanya menengadah, menatap pada plavon yang cukup tinggi.
Namanya Lamia, wanita yang berhasil menarik perhatiannya sejak dulu. Satu-satunya wanita yang tidak harus tersipu malu di depannya.
Dulu, Ruu adalah seseorang yang cupu. Tapi dia sengaja membuatnya seperti itu. Jangan sebut dirinya sombong, nyatanya, dia sadar dirinya tampan hasil dari gen papi dan maminya. Kacamata bulat yang normal dan juga hodie buluk yang hampir dia pakai setiap hari. Di saat semua orang enggan mendekat padanya, Lamia adalah yang merangkulnya kemana-mana.
Tapi ketika identitasnya terbongkar, tentang latar belakang keluarganya, semua orang mendadak mendekat pada Ruu. Berlaku akrabb seolah mereka berbagi banyak waktu hingga Ruu muak. Tapi seseorang yang setiap harinya ada di sampingnya, langsung menjauh karena Ruu menyatakan perasaan padanya.
"Kenapa akhirnya aku enggak bisa nahan dirii?" Gumam Ruu. Tangannya mengusap wajahnya yang frustasi.
Padahal selama bertahun-tahun, dia cukup puas hanya memandangi Lamia dari kejauhan. Karena dia tahu jika dirinya mendekat, Lamia akan lari entah kemana.
Mbak cantiknya itu.
Tapi begitu dia melihat keberadaan Lamia dengan seorang pria, kesabarannya yang tidak seberapa itu langsung lenyap. Dia adalah pecundang patah hati yang takut dibuang lagi jika perasaannya kembali ketahuan. Karena itulah, dia diam-diam mencari tahu tentang Lamia tanpa harus muncul di depan wajah wanita itu.
Sayangnya, hari ini dia kalah. Berhadapan dengan semua hal tentang Lamia selalu membuatnya kalah.
"Aku harus gimana? Aku bahkan masih bisa merasakan harum parfum yang dia pakai tadi," ujarnya semakin frustasi.
*
"Lo serius?"
Lamia memutar pena di tangannya saat dia mengangguk. "Keadaan rumah jadi enggak menentu belakangan ini. Venus kayak yang sengaja selalu nyaari ribut sama gue dan gue enggak pengen bikin Papa dan Mama jadi enggak nyaman."
"Ya tapi masa harus lo lagi yang ngalah? Jeblakin aja lah ke kakak lo itu, bilang kalau dia udah keterlaluan dan minta dia tutup mulut sampai dia nikah nanti! Lo perempuan dan sewa apartemen sendiri enggak terlalu aman buat lo."
Benar. Lamia baru saja memutuskan untuk menyewa satu unit apartemen untuk dirinya tinggali sendiri, demi menghindari keributan dengan kakaknya.
"Gue cuma perlu cari apartemen yang keamanannya oke kan? Walaupun mungkin harganya lebih mahal, tapi enggak masalah asal gue aman dan nyamann."
Rima membuang napas kasar. "Gue enggak paham, apa yang bikin Venus segitunya enggak suka sama lo? Padahal selama ini, dia yang selalu dapat afirmasi positif dari orang-orang, kan? Lo yang selalu dibandingin sama dia, harusnya lo yang benci sama dia."
Tadinya, Lamia juga memikirkan hal yang sama. tapi tadi malam dia baru saja terpikirkan tentang kejadian yang mungkin membuat Venus merasa kalah darinya. Walau sesungguhnya, tingkah Venus tetap keterlaluan walaupun itu alasannya. Benar-benar tidak masuk akal.
Lamia memijat keningnya. "Gue cuma butuh tenang," katanya lelah. "Tadinya gue pikir, gue bisa membungkam dia dengan punya pacar. Tapi kan lo tahu kalau gue gagal? Jadi gue mikirin ini dari semalam, kalau sebaiknya gue yang menepi sampai dia benar-benar menikah dan ikut suaminya."
Wajah Rima tampak prihatin padanya dan itu cukup meringankan perasaan Lamia yang sejak malam risau.
"Gue akan coba bantu cari unit yang aman dan nyaman buat lo. Atau, lo mau tinggal bareng gue?"
Terang saja Lamia langsung menggeleng. "Lo kan tinggal bareng adik lo. Dia pasti enggak akan nyaman kalau ada gue."
Karena Rima dan adiknya sama-sama merantau sedangkan orang tua mereka berada di Jawa sana. Adiknya seorang lelaki sehingga sangat tidak dianjurkan bagi Lamia untuk tinggal di rumah sahabatnya itu.
"Kayak yang lo bilang, gue ini wanita kaya raya, jadi harga diri gue ini...."ujar Lamia sambil menepuk pelan dadanya. "Akan terluka kalau ditampung sama karyawan gue."
Rima langsung mendecih. "Gaya lo! Lagian siapa juga yang nawarin lo tinggal gratisan sama gue? Bayar lah!"
Lamia terkekeh. Lalu tawa kecilnya itu langsung lenyap saat orang yang membuatnya sampai berpikir tinggal sendiri, baru saja melewati pintu kaca butiknya sambil menggandeng lengan lelaki berpenampilan rapi dari atas rambut sampai ujung sepatu pantofel hitamnya.
"Untung kamu ada disini, karena aku enggak mau dilayani orang lain selain kamu. Kami...mau pakai jasa kamu buat pernikahan kami nanti."
Sial. Andai saja Lamia bisa mengusir kakaknya sekarang juga dari sini.
**