Pria Melambay

1640 Kata
Seketika Sarmila mengabaikan sumpitnya yang sudah tergeletak di meja dan juga mi yang kembali tercemplung di mangkuk. Matanya mengerjap-kerjap perlahan memandangi wajah serius sang pria bule yang masih menatapnya serius. Bahkan perut lapar dan juga lidah yang merasakan rasa baru makanan mendadak menjadi idem dan kalem, setelah mendapatkan pernyataan aneh itu. Sarmila segere menyengir, “haha … Om lagi bercanda nih?” kelakarnya. Namun, Angelo masih menatapnya dengan wajah datar tanpa ekspresi. Kembali Sarmila terkekeh, memukul-pukul meja dengan salah tingkah. “Hahaha, Om bercandanya lucu banget sih.” “Saya serius.” Kembali Sarmila diam, matanya memandang Angelo. “Ah, mana ada sih. Om ini lagi mau prank aku aja kan?” “Sarmila, saya benar-benar menyukaimu, saat kita pertama kali berjumpa. Kamu ingat bukan?” Angelo meletakkan sumpitnya di sisi mangkuk. Duduknya bahkan sudah menghadap ke depan, tepat ke arah Sarmila. Glek! Sarmila menelan ludahnya kasar dan terpaksa. Dia melupakan semua hal baru yang sedang dialaminya. “Om … serius nembak aku?” Kembali dia bertanya guna memastikan. “Lebih tepatnya saya ingin membuat kamu menjadi pacarku?” “Hah?” Bahkan kali ini mulut Sarmila semakin lebar terbuka, dia membiarkan rasa terkejutnya berubah drastis. Mendadak hatinya menghangat, tapi mengganjal. Dia bingung. “Om … ngomongnya enggak bisa nanti ya? Aku lagi makan nih, masa sih jadi awkward begini. Enggak asyik,” celetuknya. Angelo sadar, dia membawa rasa canggung bagi Sarmila. Kembali dia tersenyum, “ya sudah makan saja dulu.” Sarmila mengambil kembali sumpitnya, berusaha untuk bisa meraih mi yang menjulur dengan dua stick di jarinya. Matanya memandangi Angelo yang juga makan, bahkan memegang sumpit dengan lihai dan profesional. Menyeruput mi yang terjepit di sumpit dengan nikmat. Sluuurrrpp! Glek! Semakin ingin Sarmila menyerbu makanannya penuh kenikmatan tapi … bahkan untuk bisa membawa mi ke mulutnya saja butuh beberapa detik lamanya. Prak! “Ish!!! Om! Mintain garpu dong! Makan pakai sumpit berasa lagi diet tau enggak sih?!” semburnya merasa kesal. Seketika Angelo mengangkat wajahnya, terbengong-bengong pada Sarmila yang tengah marah itu. Melihat wajah memberengut dengan bibir terpout semakin menambah kadar gemas pada wanita itu. Merasa lucu, meledaklah tawa Angelo. “Hahaha! Kenapa kamu tidak bilang dari tadi?” Sarmila semakin manyun. ‘Boro-boro makan nikmat, orang yang ada situ malah ngegodain hati eykeu! Deg-degan iya!’ Batinnya seakan sewot, tak terima. Dia saja masih tak percaya, mimpi apa dirinya semalam sampai ada pria yang menyukainya? Dilihat dari mana? Bahkan otaknya malah menjadi sibuk membuat list pertanyaan atas dasar apa sampai Angelo menyukainya. Angelo bangkit, lalu duduk di samping Sarmila. Mengambil tangan Sarmila dan menjepitkan sumpit di sana. “Biar aku ajari. Kamu harus terbiasa dengan hal-hal seperti ini nantinya kalau sudah jadi pasanganku.” Sarmila semakin terkejut mendengarnya, kenapa juga Angelo malah memperjelas hal itu? Sudah tahu dia saja masih shock sekarang malah seolah dituntut memberikan jawaban. “Om, bisa enggak sih biarin aku fokus makan dulu? Kobra dalam perut aku bisa matok nih!” gerutunya. Angelo semakin tertawa senang, dia baru tahu kalau menjahili Sarmila bisa membawa kesenangan tersendiri. Namun, dia yang bergeser ke belakang seolah tengah memeluk Sarmila karena tangannya membimbing tangan Sarmila malah membuat Sarmila bisa merasakan punggungnya bersentuhan dengan his big chest. Seolah ada setrum yang membuat Sarmila menahan diri dan juga ingin segera menjauhkan diri. Bagaimanapun juga arus listrik akan terus mengalir dari sumbu positif menuju sumbu negatif. Dan terjadi saling tarik menarik yang tak terelakkan. Kali ini, Sarmila tak banyak bicara. Tangannya lemas pun mudah dituntun oleh Angelo yang sedang mengajarinya menggunakan sumpit. Setidaknya, setelah berkali-kali dicoba akhirnya berhasil. Dengan mata yang berbinar dan iris yang mengilat karena pantulan cahaya membuat Angelo terdiam begitu duduk di hadapan Sarmila lagi. Tubuhnya kaku, bereaksi dengan ekspresi Sarmila yang terang-terangan. Seketika dadanya bergemuruh hebat menyaksikannya, tapi dia sama sekali tak keberatan dengan tubuhnya yang sudah bereaksi saat menyaksikan ekspresi indah di wajah tirus milik wanita muda itu. Semua sistem sarafnya dirasa lumpuh hanya dengan wajah semringah Sarmila yang berhasil menggunakan sumpit dengan benar. Sarmila merasa bangga dengan dirinya atas pencapaian anehnya, bisa menggunakan sumpit. Ayolah, mungkin hanya sekian persen orang-orang yang ada di negera berkembang ini yang bisa menggunakannya. Sluuurp …. Bahkan dia ikut-ikutan Angelo saat menyeruput mi panjang masuk ke dalam mulutnya sambil matanya terpejam dan beberapa kuah terciprat akibat gerakan mi yang ditelannya. Merasakan nikmat yang sama seperti yang dia saksikan pada iklan mi instant yang selalu tayang di televise yang ditontonnya. Angelo semakin memegang erat sumpitnya, menghilangkan tenaganya agar tak menerjang dan memeluk wanita yang statusnya saja masih tak jelas, teman atau pacar. Sarmila tak peduli dengan pria yang ada di hadapannya, yang ada dia memegang kedua sisi mangkuk dan mengangkatnya lantas meneguk sisa kuah ramen. “Ahhhh!” Dengan santainya dia melepaskan rasa puasnya. Entah karena kelaparan sampai-sampai tak tahan dan menghabiskan sisa kuah yang tersisa atau memang rasanya nikmat namun semua itu sudah ditelan habis oleh wanita itu. Sarmila mengusap bibirnya dengan tisu. Matanya baru terbuka ketika perutnya sudah terisi penuh. Kembali irisnya menatap Angelo yang melamun. Terlalu lugu sampai bodohnya dia, bahkan tubuhnya menjorok ke depan, mendekat ke arah Angelo. Plak! “Hoy, Om!” serunya mengejutkan Angelo yang melamun. Angelo akhirnya kembali pada kesadarannya, merasa terkejut mendapati Sarmila yang sangat dekat tengah menatap wajahnya lekat-lekat. Sarmila sendiri merasa tenggelam dengan iris biru milik pria itu. Sampai-sampai dia memperhatikan bagaimana ulir lurus alis coklat milik Angelo, menarik jarinya menyusuri alis Angelo. “Alisnya bagus banget sih Om,” pujinya. Tak tahu kalau sentuhan yang dilakukan Sarmila semakin mendorong gejolak di dalam dadanya. Grep! Spontan tangannya menghentikan laju jari lentik milik Sarmila. “Ayo keluar, sebaiknya jalan-jalan di taman. Aku bayar dulu,” selanya menghentikan aksi kekaguman Sarmila. Pada dasarnya rasa kenyang yang membuat hormon serotoninnya menjadi meningkat membuat wanita itu merasa senang saja. Lantas menganggukkan kepalanya dengan bersemangat. Lalu berdiri dan menyusul Angelo untuk berjalan di samping pria itu. Dia menunggu di luar restoran, tak mau dipandangi oleh banyak mata yang bertanya-tanya dan keheranan karena seorang cinderella di samping pangeran tampan. Dia memainkan tas yang dijinjingnya, memandangi sekelilingnya. Tanpa sadar langkah kakinya membawa pada satu toko baju yang menampilkan manekin mengenakan dress chiffon berdesain flowery. Matanya memandang takjub. Dia meraba jendela yang menghalangi baju tersebut. Masih dengan rasa kagum dan rasa ingin memiliki. “Indah,” gumamnya seorang diri tanpa tahu kalau Angelo ada di sampingnya. Grep! Bahunya tersentak begitu kedua telapak tangan besar milik Angelo menapak di sana. “Om?!” Dia bahkan terkejut saat menoleh dan mendapati pria tinggi menjulang itu sudah ada di sampingnya. “Ayo, masuk!” Angelo dengan mudah mendorong tubuh Sarmila memasuki butik tersebut. Sarmila kelabakan, berusaha keluar. “Om! Om! Aduh, jangan masuk dong! Om jangan dorong--” Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, sudah disambut pria melambay yang tersenyum kepada mereka berdua. “Alooo … wah ada customer nih, ada yang mau dicari?” tanya pria flamboyan dengan kemeja pink dan juga bando yang ada di kepalanya. Pria itu tersenyum dan seketika Sarmila bergidik ngeri. Menutup bibirnya rapat-rapat dan bersembunyi di balik punggung Angelo. Seketika tubuhnya lemas, kehilangan tenaganya saat mendapati pria itu malah ada di hadapan mereka. Berbeda dengan Angelo yang bersikap biasa saja. “Oh ya, kami mau lihat gaun yang di manekin itu?” ujar Angelo dengan cepat. Pria yang dominan feminine itu tersenyum lebar merekah, “wah … ayo, ayo, masuk dulu!” Dia menggiring kedua costumer yang baru saja dia temui dengan penuh semangat 45. mendudukkan keduanya di sofa beludru mahal yang memang sengaja disediakan di butiknya. Sarmila berjengit terkejut saat jari lentik pria itu menyapu bahunya. “Pasti untuk pacarnya ya?” tebak pria itu. Sarmila menatap horor, wajahnya pucat dan tubuhnya semakin menempel di sisi lengan Angelo. Angelo tertawa mendengar spekulasi itu. Baru kali ini ada yang menyangka Sarmila adalah kekasihnya. “Sebentar, saya ambilkan ya say?” Bahkan suara merdu yang dibuat-buat semakin membuat Sarmila bergidik ngeri sendiri. “Om … ayo pulang,” rengeknya berbisik. “Loh? Sebentar? Aku tahhu kamu ingin baju itu.” “Tapi Om--” “Ini dia, mau dicoba?” tawar pria si pemilik butik yang sudah kembali dengan dress yang tadi dikagumi Sarmila. Mendadak Sarmila kehilangan minat dan malah ketakutan bukan main dengan pria berdandan menor dan jalan berlenggak-lenggok dengan bokongnya yang terbilang rata. Sarmila menahan rasa shock, tangannya semakin meremas lengan baju Angelo. Namun, pria itu sama sekali tak merasakan ketakutannya. Yang ada malah senang dengan gambaran ekspektasi saat Sarmila mencoba gaunnya. “Sana, coba,” ucap Angelo yang mendorong tubuh Sarmila berdiri. Sarmila menggelengkan kepalanya kuat-kuat tak mau sama sekali. Namun, tangan si pria melambay malah lebih kuat tenaganya. “Om ….” Wajahnya memelas. “Ayo, kamar pass di sebelah sana,” tunjuk si pemilik butik yang menyeret Sarmila pergi menjauh. Ingin rasanya Sarmila berteriak, sayangnya dia benar-benar merasa takut sendiri sampai suaranya ditelan begitu saja. Dia berdiri, mencoba menjaga jarak. Sudah cukup dia harus berdekatan dengan seorang bencongan jadi-jadian saat ini. “Ini, cobalah dulu,” ujar pria itu ramah. Sarmila menjulurkan tangannya gemetar dan wajahnya mewaspadai pergerakan pria itu. Lantas segera menutup tirai panjang itu. Dia menghembuskan napasnya rendah, lebih tenang saat sudah sendirian. “Kamprett!!! ban-ci kamprett!” makinya sambil mengurut dadanya. Dia mulai berusaha melepas bajunya sampai hanya mengenakan baju dalam saja. Belum juga dia memakai dress, tiba-tiba saja tirai tersibak. “Saya bantu mau?” Kelancangan pria melambay itu membuat Sarmila menjerit lantang. “Aaaa!!! dasar bancii mesuuum!” teriaknya kuat-kuat sambil mendorong pria itu kencang dan dia menutup tirai kembali. Brug! “Awwww!” Pria melambay itu pun tersuruk ke lantai begitu saja. Sarmila yang sudah memakai dress pun keluar, merasa marah. “Ngapain kamu ngintip-ngintip saya?!” tanyanya sangar, rasa takutnya berubah marah. “Loh? Saya mau bantu kamu pakai dress aja kok!” elak sang pemilik butik berusaha berdiri. “Enak aja mau bantuin! Bencongan kayak kamu kan tetep cowok tulen!” teriak Sarmila merasa tak terima.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN