Sarmila manyun seketika saat mendengar pertanyaan sang pria berdarah Eropa itu. Dia sendiri merasa aneh dengan sikap terang-terangan Angelo.
“Ya enggak boleh, kita kan enggak pacaran,” sambarnya cepat.
Angelo tertawa mendengarnya. Namun, dia tak kehilangan akalnya untuk terus menempel pada Sarmila. Tangannya menjawil sedikit bagian lengan baju wanita itu dan kembali berjalan.
“Sekarang aku cuma memegang baju kamu, jadi jangan protes.”
Sarmila ingin menolak tapi dia malah diharuskan segera berjalan karena alasan yang dikemukakan oleh Angelo.
“Cepat Mila, sopirku sudah menunggu sedari tadi,” desak Angelo kembali.
Salahkan pada kelatahan yang dimiliki gadis itu sampai malah ikut berlari begitu mendengar nada tinggi dari Angelo.
“Om!” pekik Sarmila yang malah ikut berlari pelan.
Angelo mendorong tubuh Sarmila masuk ke dalam mobil, dia benar-benar tak memberikan Sarmila berbicara sementara tubuhnya ikut masuk ke dalam mobil saat Sarmila siap berkomentar.
“Aduh! Om! Jangan dorong-dorong dong!” sergah Sarmila berusaha membetulkan posisi duduknya.
Kembali Angelo malah mendesak sang sopir untuk segera melajukan mobilnya. “Ayo Pak, cepat! Nanti tertinggal.”
“Iya Den, iya.”
“Kita mau ke mana sih?” Seketika Sarmilaikut bertanya, merasa penasaran dengan apa yang dilakukan Angelo saat ini.
Angelo masih duduk serius. Namun, dia menoleh dan mendapati Sarmila yang tak mengenakan seat belt dengan benar.
Sarmila memundurkan tubuhnya saat Angelo malah mendekat ke arahnya, seolah tengah memeluknya saat tangannya berusaha menjangkau seat belt.
Sreeet ….
Gadis itu sampai menahan napasnya sendiri saat aroma musk yang menyergap masuk ke area hidungnya.
“Duh! Om! Kalau mau dekat-dekat tuh bilang-bilang kek!” sembur Sarmila merasa harus protes.
“Memangnya kenapa?” Angelo sudah sedari tadi mengusili Sarmila.
“Ya takut ada kecelakaan yang enggak-enggak,” kilah Sarmila cepat-cepat. Menyadari kalau Angelo sudah selesai memasangkan sabuk pengaman dan kini tersenyum padanya.
“Kecelakaan terjadi saat kamu tak mengenakan seat belt, Mila.”
Sarmila melengos saja, dia sibuk memandangi area luar. Daerah Sudirman yang dipenuhi oleh gedung-gedung bertingkat dan juga menjulang tinggi seolah tengah berlomba untuk mencapai langit.
“Kita mau ke mana sih Om?” Kembali Sarmila membuka suara.
“Ke tempat yang kamu mau.”
Sarmila tertawa mendengarnya, “Om lagi gombal ini?”
“Apa itu gombal?” Tentu saja dengan kosa kata yang terbatas, Angelo tak banyak tahu soal bahasa gaul yang terkadang diucapkan oleh Sarmila.
“Ish! Om! Maksudnya itu … Om lagi godain aku?” Kembali Sarmila memperjelas ucapannya.
“Kalau iya kenapa?”
Mendengar Angelo yang berterus terang malah membuat Sarmila tertawa sendiri, merasa senang dengan pernyataan Angelo, ah tepatnya konyol.
“Om ada-ada aja, hahaha … bilang aja Om butuh teman kan? Soalnya Mas Gen enggak balik bareng sama Om?”
Angelo menatap Sarmila dalam diam, tersenyum saat melihat tawa ceria milik wanita itu. Dia mengangkat tangannya dan mengusak rambut panjang yang tercepol Sarmila, gemas sekaligus menyukainya.
Sarmila spontan mengunci bibirnya sendiri dengan perlakuan Angelo.
Sarmila akhirnya kembali menonton jalanan luar demi menghindari spekulasi dalam otaknya yang berkeliaran tanpa ada batas. Dia benar-benar benci jika harus memikirkan bahwa hal itu terjadi.
“Ayo turun,” ajak Angelo yang keluar dari mobil.
Sarmila pun ikut keluar, dia ternganga saat menyadari kalau dia ada di depan mall mewah yang menjadi sorotan para kalangan atas.
“Om … kita ke sini?” tanyanya dengan terperangah.
“Iya, ayo!” Kembali Angelo tanpa permisi sudah menggandeng tangan Sarmila.
Wanita itu malah menjadi risih sendiri dengan keadaan saat ini. Dia masih diam, bingung dan tak bisa berbicara soal penolakannya.
Mendadak nyalinya ciut saat melihat para pengunjung.
Dia pun menarik lengannya dan Angelo berhenti berjalan. Dia berbalik dan menatap Sarmila bingung, “ada apa? Katanya kamu mau aku traktir?” tanyanya.
“Om … aku lama-lama kapok ditraktir makan sama Om.”
“Kenapa?”
Sarmila menghela napasnya merasa gemas, “Om … sadar enggak sih? Di sini tuh orang-orang bajunya bagus-bagus. Akunya pakai baju kerja begini, risih tau enggak?” Dia mengungkapkan hal yang benar-benar mengganjal di dadanya.
Angelo paham, dia tersenyum. “Makanya aku pegang tangan kamu, agar kamu memiliki pangeran yang bisa membawamu ke dalam.”
Sarmila berdecih, “tch! Apaan deh Om?” Dia sampai merotasikan irisnya.
Angelo tertawa melihatnya, “ayo masuk. Aku tidak mau jadi korban amukan boa dalam perutmu.”
“Om!” Sarmila memekik saat digoda begitu.
Namun, tanpa dia sadari kalau dirinya merasa aman saat bersama Angelo. Seolah Angelo adalah malaikat pelindung sekaligus penenang untuknya.
Dia yang selalu terbawa ke dalam tempat baru yang asing, semua itu atas dorongan Angelo. Pria itu seolah tengah membawanya untuk berpetualang seperti di dunia Alice and the wonderland.
Sarmila tak lagi menolak, dia merasa aman saat Angelo berjalan di sisinya dan menggandeng tangannya, meskipun mereka bukanlah pacar atau orang spesial.
Sampai mereka berhenti tepat di sebuah restoran Jepang. Sarmila tahu saat melihat tulisan kanji yang dirasa khas sebagai asal dari negeri matahari terbit itu.
Namun, tangannya menarik tangan Angelo saat pria itu ingin masuk ke sana. Dia sedikit mengingat repotnya makan di restoran mewah ala negara lainnya.
“Om--”
“Hm?” Angelo menoleh, merasa heran saat Sarmila menghentikan langkahnya.
sarmila menatap ragu-ragu ke dalam, melihat tangan pengunjung yang memegangi dua buah datang panjang di sela jari mereka.
“Om, saya mau makannya kan mi ayam? Kok kita malah ke sini sih?” protesnya.
“Di sini ada juga mi ayam, khas Jepang.”
Sarmila semakin pusing, “aduh Om ….” Dia merana.
“Sudah, ayo masuk.” Angelo menarik paksa Sarmila yang mendadak ogah dengan restoran yang akan mereka masuki.
Jelas saja, Sarmila ingat bagaimana anehnya menu-menu yang pernah dia makan saat Angelo membayarkan makan siang ditambah dengan ala makan yang berbeda. Mengenakan sumpit! Seumur-umur dia bahkan tak pernah memakai sumpit.
Meskipun pernah bermimpi untuk bisa makan di tempat-tempat yang sering dia lihat di televisi.
Mereka duduk di ruangan tersekat. Hanya ada mereka ditambah dengan mereka duduk beralaskan tatami. Meja berada di pertengahan keduanya.
Sarmila menatap horor sekelilingnya. Pelayan yang datang pun menyodorkan buku menu untuk keduanya.
“Om aja yang pesan! Aku kapok, salah pesan nanti!” ketus Sarmila.
“Dan jangan ikan mentah!” imbuhnya.
Angelo tersenyum mendengarnya. Mau tak mau senyumnya berubah menjadi tertawa tertahan saat melihat wajah Sarmila semakin cemberut yang menurutnya malah menggemaskan.
Oh, katakan saja dia semakin terpikat dengan wanita yang duduk di hadapannya itu.
“Oke, aku janji kamu akan makan enak. Mi ayam seperti yang kamu tahu.”
Kali ini Sarmila tak mau banyak berkomentar soal itu. Dia menurut saja, menatap galak pelayan yang sedang menunggu. Mungkin pelayan itu tengah membandingkan penampilan keduanya, tapi memang benar.
Wanita yang melayani sang pemesan pun sedikit aneh melihat warga negara asing yang menggandeng seorang gadis dengan seragam kerja yang terbilang di bawah standar. Agak heran namun merasa memang pria bisa jatuh cinta dengan tipikal wanita yang berbeda.
“Saya pesan Spicy Chicken Miso Ramen satu, lalu Beef Ramen, kami mau minumnya Mojito lychee dan juga oolong tea ya?” Angelo menjelaskan pesanannya.
Sarmila tau artinya Chicken dan dia merasa aman. Dia sendiri duduk menunggu, memperhatikan ponsel yang terus dia putar lagunya.
“Kamu mendengarkan lagu apa sih?” Angelo ikut bertanya begitu pelayan meninggalkan mereka berdua.
Sarmila memeletkan lidahnya, “dih mau tau aja si Om.”
Tentu saja Angelo menggeleng keheranan. Tapi dia masih bisa tersenyum saat Sarmila ketus kepadanya sekali pun. Dia tak bisa marah saat ini, semakin lama semakin mengenal wanita berstatus janda itu semakin dia tertarik.
Mereka masih menunggu, Sarmila malah menatap Angelo. Katakan saja dia yang terlalu jujur tanpa berpikir orangnya akan terganggu.
“Om, kok masih betah sih di sini? Enggak balik ke negara Om? Nanti dicariin sama Ibu Bapak Om tuh,” selorohnya.
Angelo benar-benar tertawa dibuatnya. Matanya sudah terpesona, hatinya sudah jatuh semakin dalam pada pesona wanita muda itu.
“Hahaha … tidak seperti itu. Memang Ayahku yang menginginkan aku membangun bisnis di sini. Lagi pula, mau aku ada di Antartika pun mereka tak masalah. I am mature,” timpalnya.
Kalimat terakhir membuat Sarmila merasa tak mudeng. “Om, kebiasaan! Aku enggak bisa bahasa inggris tau!” protesnya.
“Maksud saya, saya sudah dewasa untuk bisa pergi ke mana pun dan tak perlu izin mereka.”
“Ah, begitu amat. Aku dulu dicariin dan enggak dibolehin pergi-pergi sama Abah.”
“Hahaha … 18 tahun di sana termasuk sudah dewasa, Mila.”
“Aku iri deh! Tapi sekarang enggak ada yang mau larang-larang juga sih.” Sarmila berkata sambil melihat layar ponselnya.
“Memangnya ke mana orang tua mu?”
“Sudah meninggal. Aku yatim piatu loh ….” Wanita itu menyengir bagai kuda, yang memamerkan deretan gigi-giginya.
Angelo tercekat mendengarnya. “Ka--mu … sendirian?”
Mendadak dia merasa iba saat Sarmila menganggukkan kepalanya. Menjadi pertanyaan baru bagi Angelo, seberapa kesepiannya gadis itu?
Dia semakin kuat dengan alasannya untuk berada di sisi Sarmila.
“Wah datang Om, mi ayamnya.” Sarmila berkata dengan kegirangan begitu mangkuk besar sudah ada di hadapannya.
Matanya berbinar saat mendapati hal baru di sini.
Angelo mau tak mau menghentikan ucapannya, tak mau mengganggu rasa excited yang sedang dialami oleh Sarmila.
“Makanlah.”
Sarmila mengambil sendok dan ingin menyeruput kuah ramen, tapi dia malah bertanya. “Namanya apa Om? Makanannya?”
“Ramen.”
Sarmila mengangguk diplomatis, dia pun mulai menyeruput kuah panas, asin dan pedas yang dirasa menguar dari bau aroma makanannya.
Dengan yakin, Sarmila mengambil sumpit, berusaha menjepit dan mengambil mi, meski sayangnya kesusahan. Mi yang licin selalu lolos dari stick yang ada di tangannya.
Padahal air liurnya sudah siap menetes merasakan nikmat rasa ramen.
Bibirnya sudah tersenyum, saat mi sudah didapatkan pada sumpitnya. Perlahan tangannya membawa sumpit menuju ke mulutnya yang bersiap melahap mi untuk suapan pertama.
Sudah hampir sampai tapi ….
“Mila, sepertinya aku jatuh cinta padamu.”
Doeng!
Matanya memandang wajah serius Angelo.
Pluk! Prak!
Mi yang sudah susah payah dijepit di sumpitnya lolos sudah bersamaan dengan sumpitnya yang terlepas dari tangannya.
“Om … nembak aku?” beonya.