Ilusi

1069 Kata
“Jadi, kau akan menemani Adhair untuk mengantar Crveni biser?” Maddalene mengangguk seraya memilih-milih buku yang berada di lemari di dalam kamarnya. Yasika, perempuan yang tadi bertanya padanya itu hanya terbaring di atas kasur dan menatap langit-langit kamar berwarna coklat tersebut. “Apa yang dipikirkan oleh Szabolcs?” tanyanya tanpa berpikir jika ucapan tersebut adalah ucapan yang tidak patut ia katakan, Maddalene yang sudah berada dikursi samping kasur segera memukul kepala perempuan berambut blonde tersebut. “Jaga ucapanmu terhadapnya Yasika!” Maddalene memperingatkan, Yasika hanya tertawa keras sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit. Waktu sudah memasuki tengah malam, tetapi Maddalene sama sekali belum beranjak dari kursi dan buku ditangannya tersebut. Tidak, ia tidak membaca buku tersebut, ia justru memikirkan apa yang bisa saja terjadi saat ia melakukan tugas mengantarkan Crveni biser bersama dengan Adhair nanti. “Tidak beristirahat Maddalene?” Maddalene menatap pada Yasika yang sudah terbangun dari tidurnya, ia menggelengkan kepalanya dan menutup buku yang ia pegang sedari tadi. “Ada yang kau pikirkan?” tanya Yasika lagi, Maddalene menghela nafasnya pelan dan menggeleng tanpa menatap sang pemberi pertanyaan. “Dia… masih mengejarnya Yasika.” Akhirnya Maddalene mengatakan hal apa yang mengganggu pikirannya sedari tadi. Yasika terdiam menatap punggung Maddalene yang berdiri di hadapan lemari buku besar itu. “Nancy?” Tanya Yasika, memastikan bahwa orang yang Maddalene bicarakan adalah wanita pengkhianat yang ada di dalam benaknya, dan anggukan Maddalene sukses membuatnya kesal. “Aku tak habis pikir! Apakah dia tidak tahu bahwa wanita ini adalah orang yang membuatmu terluka?” Yasika turun dari kasur dan menghampiri Maddalene dengan sedikit berbisik, ia tidak ingin orang lain mendengar pembicaraan mereka terutama Gaelan yang berada disebelah kamar mereka. “Aku pun tidak mengerti Yasika, tetapi… Siapa yang tahu tentang cinta diantara kita semua? Yang kutahu cinta tidak pernah memandang apapun yang kita miliki.” Jawaban Maddalene itu membuat Yasika bungkam, memang tidak ada yang bisa ia lakukan, bahkan untuk melarang rasa cinta seseorang terhadap orang lain... Dia tidak memiliki hak itu. “Jadi, Adhair akan tetap mengejarnya?” Tanya Yasika, keduanya saling menatap dalam diam setelah pertanyaan itu keluar. ‘Tok… tok…’ sebuah ketukan sukses membuat Maddalene dan Yasika menatap kearah pintu secara bersamaan. Mereka tidak segera membuka pintu tersebut karena memang di malam hari seperti ini di larang untuk saling mengunjungi bahkan bertamu. “Ini aku.” Suara Gaelan terdengar ditelinga keduanya, Yasika mengangguk pada Maddalene sebelum ia berjalan dengan perlahan ke arah pintu. Yasika membuka pintu itu tanpa suara, dan menemukan Gaelan yang sudah berdiri di hadapannya dengan tubuh penuh luka. “Astaga!” Yasika memekik, tubuh Gaelan yang tidak seimbang dan sudah sangat lemah itu jatuh keatas tubuh Yasika yang lebih pendek darinya. Maddalene segera berlari untuk membantu Yasika membawa Gaelan keatas kasur milik keduanya. “Apa yang terjadi?” Tanya Maddalene, ia segera mengambil handuk di dalam lemarinya, sementara Yasika merobek baju yang dikenakan Gaelan untuk melihat seluruh luka yang ada di tubuhnya, ia meraba luka-luka itu dan memastikan bahwa tidak ada serbuk racun di sana. “Shh…” Gaelan meringis kesakitan ketika Maddalene memberikan alkohol untuk membersihkan luka-luka itu dengan handuk yang ia miliki. “Yasika terus bersihkan lukanya! Aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi saat ini!” Maddalene memberikan handuk pada Yasika dan bergegas keluar dari kamar mereka, namun sebelum ia melangkah untuk keluar kamar, seseorang sudah lebih dahulu masuk dengan nafas yang terengah-engah di hadapannya. “Liam?” Tanya Maddalene menatap lelaki muda dengan surai hitam itu. “Maddalene! Sesuatu terjadi! Prajurit datang ke wilayah utara, dan mereka menuntut untuk menyerahkan kepala Szabolcs sebagai jaminan kedamaian!” Ucap Liam, berbicara dengan tergesa-gesa. Maddalene melihat baju yang di kenakan oleh Liam sudah tidak karuan dengan bercak darah dimana-mana. Maddalene menahan nafasnya dan segera menyambar pedang miliknya kemudian berlari kearah utara meninggalkan tempat tersebut. Liam hanya terdiam saat Maddalene pergi begitu saja, ia kemudian masuk ke dalam kamar dengan tertatih. “Bagaimana keadaan Gaelan, Yasika?” Tanya Liam menghampiri Yasika yang sibuk membersihkan luka pria setengah sadar berambut dark silver itu. Yasika menggelengkan kepalanya, ia tidak bisa menyebutkan bahwa kondisi Gaelan baik-baik saja, dan ia juga tidak bisa menyebutkan kondisi Gaelan sangat mengkhawatirkan. Karena Yasika bukanlah seorang ahli kesehatan. “Mengapa tidak ada pemberitahuan sama sekali Liam? Bahkan aku dan Maddalene tidak mendengar adanya terompet yang di tiup!” Yasika mengerenyitkan dahinya tidak mengerti dengan situasi yang terjadi. Ia bertanya pada Liam tanpa menatap ke arah anak lelaki itu, ia hanya fokus pada luka-luka yang ada di tubuh Gaelan. Keheningan yang ia dapati sukses membuat Yasika curiga, ia berbalik dengan sangat cepat untuk menatap Liam yang sudah tidak disana. Keningnya kembali mengkerut, segera ia gapai belati yang berada diatas meja nakas samping tempat tidur mereka. Yasika dengan was-was menatapi pintu yang masih terbuka itu, namun ketika tangan kirinya di tarik perlahan oleh Gaelan yang ada di samping kanannya ia kembali berbalik untuk menatap lelaki itu, dan mencoba kembali fokus pada Gaelan yang terluka. ‘Mungkin Liam kembali mengejar Maddalene dan membantunya!’ Pikir Yasika, ia kembali mengambil handuk untuk kembali membersihkan luka-luka pada tubuh Gaelan. Yasika terdiam saat tangan kanannya yang memengang handuk tadi berhenti di depan perut Gaelan yang sixpac itu, ia terkejut ketika tidak mendapati adanya satu luka pun pada tubuh Gaelan. Yasika perlahan mendongakkan kepalanya untuk menatap pada lelaki itu, dan saat ini lelaki itu tengah menatapnya dengan sebuah senyuman di wajahnya. Senyuman yang sangat menyeramkan yang mampu membuat tubuh Yasika menjadi kaku, jantung perempuan itu berdebar sangat kencang, dan perlahan pandangannya menjadi sangat gelap. Yasika jatuh tidak sadarkan diri setelah melihat senyuman mengerikan dari sosok di hadapannya.   “Hh… Hh… Hh..” Maddalene terus berlari kearah utara, ia yakin jika orang-orang sedang membutuhkan bantuan saat ini. Hujan deras membuat langkahnya menjadi berat karena lumpur Brug! Tubuhnya terpental kebelakang ketika ia tidak sengaja menabrak seseorang yang tidak terlihat olehnya saat berlari. “Ugh!” Maddalene berdiri dengan tergesa dan hendak berlari lagi. Namun, ia tertahan oleh genggaman orang yang menabraknya tadi. “Aku sedang terburu-buru!” Maddalene berteriak pada orang tersebut tanpa melihat wajahnya, “Maddalene?!” bentakan orang itu membuat Maddalene terdiam, suasananya berubah… Tidak ada hujan ataupun huru-hara seperti yang ia lihat tadi. Ia kini hanya menatap pada Adhair yang menggenggam lengannya dengan khawatir, ‘Ilusi!’ nafas Maddalene tercengkat ia menatap ke arah kiri dan kanan memastikan bahwa benar ia telah terkena ilusi. To be continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN