2. Meet Him

1684 Kata
Alexa terbangun kembali saat dia merasakan seseorang baru saja mengelus pipinya lembut. Bulu matanya bergetar pelan, sebelum matanya akhirnya bisa dengan fokus memantulkan gambaran orang yang kini duduk di pinggiran kasurnya. Melihatnya telah bangun, seorang pria berusia matang tersenyum kecil padanya. Dari pandangan pertama, Alexa bisa tahu bahwa pria ini lah yang menjabat status sebagai suaminya saat ini. Tubuhnya yang bidang dibalut three pieces suit yang dari pandangan pertama terlihat sangat mahal. Rambut pria itu dipotong pendek, dengan sedikit jambang di wajahnya. Secara keseluruhan, Alexa harus mengakui bahwa pria ini memang menarik ketika dilihat secara langsung. "Maaf aku membangunkanmu. Kau bisa tidur lagi jika masih mengantuk." Alexa sedikit merinding ketika mendengar suara rendah bernada lembut itu. Suara itu jelas jenis suara yang bisa memikat banyak gadis hanya dengan satu ucapan. Alexa kini lebih memilih bangun, bantalnya dia gunakan untuk bersandar di tempat tidur. "Kau....... Dominic?" tanya Alexa ragu. Pria tersebut tersenyum, saat tangannya bergerak membungkus tangan Alexa dengan hati-hati. "Ya, itu aku. Apa kau mengingatku, Lexa?" tanya Dominic penuh harap. Bibir seksinya tersenyum saat dia menatap tulus kearah Alexa. Wanita itu bingung kini, mengapa pria dengan kharisma sebesar ini bisa menatapnya dengan tatapan penuh cinta seperti itu? "Tidak sama sekali, tapi Rika terus saja membicarakanmu setiap saat. Aku harus meminta ijinmu untuk keluar kamar, meminta ijinmu untuk menanyakan pekerjaanmu, dan meminta ijinmu untuk mengetahui masa laluku yang kini hilang," ujar Alexa santai. Alexa ingin tahu, apa suaminya itu akan marah dengan sindirannya? Suaminya ini terlihat seperti orang yang mudah hilang kendali atas emosinya. Yang mengejutkan, Dominic tidak terlihat tersinggung sama sekali dengan ucapannya. Pria itu malah semakin melebarkan senyumannya, senyuman asing yang sebenarnya membuat Alexa sedikit tidak nyaman jauh didalam hatinya. "Aku hanya mengkhawatirkanmu Sayang. Dan Rika, dia hanya gadis baik yang patuh dengan segala perintahku. Tidak perlu marah. Sekarang setelah aku kembali, kau bisa menanyakan semua itu langsung padaku. Selama aku mampu, aku akan berusaha mengabulkan semua permintaanmu," ujar Dominic sabar. Tangannya bergerak untuk mengusap pelan jemari Alexa. Ada kilatan rasa kagum saat dia memandang jari-jari itu lama. "Begitukah caramu menyayangiku selama ini? Dengan menuruti apapun keinginanku?" tanya Alexa heran. Dominic mengangguk, melepas tangan Alexa untuk beralih pada rambutnya. "Ya, itu karena aku terlalu menyayangimu Alexa," ujar Dominic mulus. Alis Alexa terangkat, apakah benar begitu? Kenapa bahkan setelah bertemu langsung Alexa tetap tidak bisa membangkitkan perasaan apapun terhadap Dominic? Apa sejak awal, pernikahan ini hanya cinta satu arah? Ah tidak. Alexa tidak bisa membuat kesimpulan sembrono itu saat ingatannya masih seperti kertas kosong. Apalagi kini dia diharapkan dengan suami sempurna yang terus menatapnya dengan tatapan memuja. "Kalau begitu, coba beritahu aku sesuatu. Siapa aku sebenarnya, dan kenapa aku bisa menikah dengamu?" Dominic mengangguk, siap untuk menjawab pertanyaan Alexa. "Namamu Alexa Rutterford, istri dari Dominic Rutterford. Sebelum kita menikah, kau adalah salah satu kapten pasukan yang bertugas di markas dimana aku menjalani wajib militer. Kau menyelamatkanku dari tekanan orang-orang di sekitarku. Kau juga mengajariku banyak hal, dan menuntunku untuk menjadi Dominic yang dikenal banyak orang saat ini. Aku meminangmu setelah kita saling mengenal bertahun-tahun. Kau menerimaku, dan kita melangsungkan pernikahan dua tahun yang lalu," ujar Dominic menjelaskan. Tidak ada perasaan tergesa-gesa saat dia menjabarkan semuanya. Alexa mendengar penjelasan Dominic dengan serius, sebelum melanjutkan pertanyaan keduanya. "Lalu orang tuaku, dimana mereka?" Dominic menghela nafas, raut menyesal tercetak jelas di wajahnya. "Kau…… terlahir sebagai yatim piatu Alexa. Itu salah satu alasan mengapa kau bisa berada di tentara sejak muda. Dulu kamu pernah bercerita padaku bahwa kau memiliki beberapa teman dari panti asuhan yang sama, namun kalian mulai berpisah saat jalan takdir masing-masing dari kalian berbeda," jawab Dominic. Alexa termenung, "Lalu bagaimana dengan ayah dan ibumu? Dimana mereka sekarang?" tanyanya yang dibalas senyuman oleh Dominic. "Mereka sudah tiada sejak aku SMA Alexa. Aku tidak memiliki kerabat, hingga sekarang aku hanya memilikimu sebagai satu-satunya keluarga di sisiku," ujar Dominic menambahkan. Alexa terlihat ragu, sebelum mengucapkan pertanyaan ketiganya. "Saat tadi berjalan-jalan, tidak satupun aku lihat foto kita saat bersama. Aku menanyakannya pada Rika, tapi dia bilang sebelum hilang ingatan aku bertengkar denganmu sampai akhirnya aku terjatuh dari tangga dan kehilangan ingatanku. Sekarang bisakah kau mengatakan padaku, apa penyebab aku marah waktu itu?" tanyanya. Dominic menghela nafas, wajah lelah tidak lagi dapat dia sembunyikan kini. "Aku melarangmu keluar hari itu. Kau memaksa dan aku keras kepala. Kamu sengaja membakar semua foto dan hadiah dariku untuk membuatku marah. Namun kau tidak berhasil, aku nyatanya tidak marah sama sekali dengan perlakuanmu. Lagipula, kita bisa mengganti semua hadiah dan foto itu kapanpun kamu mau nanti." Dominic melepas dasinya, mata tajamnya jelas melihat kerutan di dahi Alexa yang terdiam. "Dan karena marah, kau berniat untuk pergi sendiri saat itu. Kau takut aku akan mengejarmu, jadi kau berjalaan cepat dan dengan ceroboh akhirnya jatuh dari tangga. Kau tidak tahu betapa takutnya aku waktu itu Lexa, melihatmu jatuh dan dikelilingi oleh darahmu sendiri." Dominic mengambil tangan Alexa dengan lembut. Dia membawa tangan Alexa ke bibirnya sendiri. Mata Dominic tertutup, seakan dia mencoba membuang semua kenangan buruk dimana dia yang panik berusaha menghentikan pendarahan Alexa yang berbaring lemah di lengannya. "Jadi, aku dapat menyimpulkan bahwa kau ini memang tipe pengatur yang ketat bukan? Dan aku pada dasarnya tidak terlalu suka terkekang olehmu." Mendengar kesimpulan Alexa, mata Dominic terbuka kembali. Wajahnya masih tenang, terlalu tenang saat dia tersenyum kecil pada Alexa. "Yah, aku hanya terlalu mencintaimu. Dan Sayang, aku tahu kau jelas paham akan hal itu." Alexa menggeleng, "Tidak, aku tidak paham sama sekali. Kau aneh, dan yang lebih aneh lagi adalah saat 'aku' mau menikahi orang sepertimu. Berada dalam rumah ini selama seminggu saja sudah membuatku sakit kepala. Aku jelas tidak bisa berada di rumah ini lebih lama lagi," ujar Alexa berani. Matanya menatap langsung pada pupil gelap milik Dominic. Lelaki itu berdiri, keluar dari ruangan tanpa mengatakan apapun lagi. Alexa menghela nafas panjang setelahnya. Entah kenapa dia selalu merasa bahwa pria yang mengaku sebagai suaminya itu adalah pria yang berbahaya. Senyumnya membawa rahasia yang tidak dapat Alexa pecahkan. Dia mungkin kehilangan ingatannya, namun Alexa yakin instingnya masih bekerja dengan benar. Clek Alexa berjengit saat pintu kamarnya dibuka kembali. Dominic kembali masuk sambil membawa tumpukan berkas dan koran di tangannya. Dominic menyimpan semua itu di meja yang ada di kamar, sebelum memberi isyarat agar Alexa melihat apa yang dia bawa. Penasaran, Alexa turun dari tempat tidur untuk melihat tumpukan berkas apa yang dibawa oleh Dominic. Pupilnya segera mengecil, saat dia membaca kata demi kata yang tertulis di barkas paling depan di tangannya. "Past Traumatic Stress Disorder....... Jadi intinya kau ingin mengatakan bahwa aku gila hingga harus tinggal di antah berantah begini?" tanya Alexa dingin. Dominic tidak menjawabnya, lelaki itu malah mengeluarkan dua surat lain dari tumpukan berkas itu. "Kita menikah dengan resmi Lexa. Ini bukti pernikahan kita, jika kau masih tidak percaya dengan ucapanku sebelumnya. Kami semua baik-baik saja, sampai berita bahwa kau selingkuh dengan orang lain tiba-tiba muncul di televisi. Kau mulai berubah sejak saat itu. Kau menjadi pemarah, dan mulai senang membahayakan dirimu sendiri. Kau bahkan tidak memberiku kesempatan untuk menanyai kebenaran tentang berita itu. Kau hanya memintaku mengusir semua wartawan, dan pindah ke tempat terpencil ini." Dominic menghela nafas sedih, sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Namun dalam beberapa waktu tertentu, kau akan berteriak seakan aku yang mengurungmu di rumah. Hari dimana kau jatuh juga sama, aku hanya tidak ingin kau berbuat nekat lagi di luar sana namun kau malah berontak seperti aku mengekang pergerakanmu. Namun melihatmu sekarang baik-baik saja, kau bebas keluar kapanpun kau mau Sayang. Bawalah Rika bersamamu saat keluar, dia akan membantumu ketika kakimu mulai sakit lagi." Alexa mengangkat alisnya, bagaimana dia tahu kakinya selalu sakit jika diberi beban terlalu lama? Dominic mengangkat gaun tidur Alexa perlahan, berhenti di lutut saat Alexa menepis tangannya dengan tatapan peringatan. "Apa yang kau-" "Lututmu retak Sayang. Kau tidak bisa berjalan terlalu jauh atau kondisimu akan semakin parah. Rika gadis yang baik, kau bisa menceritakan apapun padanya jika aku tidak ada." Tidak membiarkan Alexa salah paham, Dominic mengelus pelan lutut Alexa yang memiliki bekas jahitan samar. Merasa Dominic tidak memiliki niat jahat, dan statusnya juga benar-benar istri pria ini, Alexa membiarkan Dominic menyentuh lututnya dengan penuh kehati-hatian. Dominic mungkin hanya tipe suami penyayang yang aneh, Alexa mencoba menyimpulkannya demikian. Bagaimanapun, bahkan setelah Alexa menyambutnya dengan dingin dan tidak memercayainya, Dominic masih memasang wajah kasih sayang itu. Rasanya tidak adil Alexa menganggapnya musuh hanya karena dia kehilangan ingatan dan dikurung disini. Tanpa ingatan, Alexa hanya bisa berasumsi bahwa semua pernyataan Dominic itu benar, apalagi Alexa melihat sendiri di kamarnya ini dia memang memiliki banyak obat anti depresan. Baik, dia baru saja mengkhianati suaminya dan kehilangan ingatan karena kebodohannya. Mari dia simpulkan itu keadaaanya untuk saat ini. Alexa mengelus telapak tangan Dominic pelan, membuat lelaki itu terkejut dengan perlakuannya. "Kenapa aku bisa selingkuh saat itu? Aku mengkhianatimu, namun aku sendiri yang depresi saat itu. Apakah aku itu orang bodoh yang egois?" bisik Alexa kecil. Dominic menggeleng mendengar pertanyaannya. Dia menangkup tangan Alexa, menatapnya dengan tatapan yang begitu tulus. "Tidak, memang salahku saat itu jarang berada di sampingmu dan malah sibuk dengan pekerjaanku. Kau menginginkan perhatian, namun aku tidak juga memberikannya untukmu. Aku berjanji Lexa, aku akan memperbaikinya mulai sekarang," janji Dominic serius. Alexa menghela nafas panjang, sekonyol apa dia bisa menjadi di masa lalu? "Tidak perlu terburu-buru, mari kita saling mengenal lebih jauh dulu secara perlahan. Dengan ingatan kosongku ini, masih banyak hal yang harus kupastikan dengan mataku sendiri," ujar Alexa. Dominic mengangguk, tersenyum lebar saat dia bangkit berdiri. "Syukurlah kau mau mengerti. Kita akan saling mengenal dengan perlahan oke? Ini sudah malam, kau seharusnya tidur kembali Lexa." Alexa mengangguk, kantuk memang mulai menyerangnya kembali. "Aku akan tidur di kamar kita di lantai atas. Dengan kondisimu sekarang...... Kupikir kau tidak akan nyaman jika kita tidur seranjang," ujar Dominic. Alexa mengangguk dengan jujur, Dominic memang masih menjadi orang asing untuknya sekarang. "Kalau begitu, selamat tidur Lexa," ujar Dominic sambil tersenyum. Alexa mengangguk. "Selamat tidur juga untukmu," balas Alexa saat dia mengantar Dominic keluar dari ruangannya. Pintu tertutup kembali dan Alexa menghela nafas panjang, kepalanya sakit setelah menerima beberapa informasi sekaligus dalam satu malam. Lampu tidur dia matikan, Alexa kembali melanjutkan tidurnya dengan susah dalam kegelapan. To be continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN