Author pov
Flashback
Amaya berjalan terhuyung memasuki gerbang gedung apartemennya. Ini sudah hampir tengah malam dan dia baru pulang kerja. Bosnya si gila itu memang sangat hobi membuatnya sengsara. Sudah hampir seminggu dia lembur terus, kerjaan seperti tidak ada habisnya. Beberapa kali bahkan dia melupakan makan siangnya. Seperti hari ini, sejak pagi dia hanya minum kopi pagi dan sore hari.
Kepalanya terasa berat dan lama-lama matanya susah untuk terbuka. Amaya berhenti sebentar di tangga terbawah, dia susah bernafas. Pandangannya kabur. Dia memijat pelipisnya pelan sambil memejamkan mata. Lalu dengan semakin kepayahan dia kembali menaiki tangga. Kepalanya terasa ditimpa berkilo-kilo beras. Sampai akhirnya pandangannya semakin kabur dan perlahan semakin gelap dan Amaya tidak ingat apapun lagi.
Amaya menggeliat pelan dengan tetap memejamkan matanya. Kepalanya masih sakit, dia mengerang pelan.
"Sudah bangun?"
Amaya memegang kepalanya yang masih pusing sambil berusaha membuka mata. Seorang pria dengan kaus hitam dan celana panjang hitam kini menatapnya sambil menyender di dinding kamarnya.
Kamarnya? . . .
Ya Tuhan ini bukan kamarnya! Dia tidak punya lukisan-lukisan yang tergantung di dinding kamarnya. Sontak Amaya langsung bangun dan melihat keadaanya, dia bernafas lega ketika mendapati dirinya masih menggunakan bajunya kemarin dengan lengkap.
"Aku sama sekali tidak berniat melakukan hal seperti yang ada di kepalamu itu."
Amaya menoleh ke lelaki yang kini bersedekap melihatnya.
"Kenapa aku bisa di sini?" tanyanya datar dengan suara serak.
"Kau pingsan di tangga dan aku tidak menemukan kunci flat di tasmu."
Kunci? dimana kuncinya?
Amaya merogoh kantong celana kainnya dan dia menemukan kuncinya di sana.
"Kau tidak berpikir aku akan mencarinya di sana kan."
Dirinya diam saja mendengar nada dingin laki-laki itu.
"Astaga ini jam berapa? aku akan dipecat kalau terlambat ke kantor."
Menyibak selimut putih itu dengan tergesa-gesa, Amaya lalu berusaha berdiri tapi sialnya kakinya malah tersandung selimut tebal itu dan dia jatuh terduduk di lantai.
"Awww!" Amaya mengaduh pelan sambil memijat kakinya yang nyut-nyutan.
"Ini tanggal merah kalau kau lupa."
"Apa? Kenapa bisa?"
"Hari Imlek"
Amaya bernafas lega dan berusaha berdiri. Lalu mengikuti laki-laki yang namanya tidak diketahuinya itu keluar. Dia pergi ke kamar mandi di samping dapur untuk mencuci muka. Saat dia keluar dia mencium aroma sup yang membuat perutnya minta segera diisi. Amaya masih berdiri di depan kamar mandi ketika pria itu melihat ke arahnya.
"Makanlah."
Ruangan laki-laki ini sangat minimalis, tidak banyak barang, hanya TV, sofa dan meja kayu cokelat di ruang samping yang bersekat kayu dengan dapur. Sebungkus rokok yang sudah terbuka tergeletak di meja. Amaya mencoba tidak sinis akan itu, terserah saja, lagian dia tidak kenal dengan pria itu. Dengan sedikit ragu Amaya ikut duduk di meja dapur, di depannya sup panas mengepul menggoda lidahnya.
"Makanlah, jangan sampai kau pingsan lagi di sini."
Laki-laki itu berdiri dan membuat secangkir kopi hitam. Perlahan Amaya mulai menyendok sup di depannya. Seketika ruangan hening, hanya suara sendok yang terdengar. Amaya menyesap pelan teh hangat yang dibuat laki-laki itu untuknya.
"Kepalamu masih pusing?"
Amaya mendongak mendengar pertanyaan laki-laki yang sedang menatapnya itu.
"Emm, sudah mendingan."
Dirinya sedang memikirkan bagaimana cara berterimakasih pada laki-laki itu ketika suara bel berbunyi. Kemudian laki-laki itu berjalan membukakan pintu. Tidak tahu harus apa, apakah dirinya harus sembunyi, tapi kan dia tidak melakukan apapun.
Apa pacar laki-laki itu yang datang. Tebak Amaya ketika mendengar suara perempuan. Dengan penasaran Amaya mengintip dari balik tembok.
"Aryan, aku membawakan sandwich untukmu, aku membuatnya sendiri. Ayo kita sarapan bersama."
Seorang wanita itu masuk membawa kantong plastik menuju dapur.
Amaya gelagapan dan tanpa sengaja malah menendang tempat sampah di belakangnya. Untuk kedua kalinya kakinya terasa nyeri dalam waktu kurang dari sejam.
"Kau sedang ada tamu?"
Wanita dengan rambut lurus sepunggung itu sudah berdiri di belakangnya.
"Ehmm, aku akan pergi sekarang." Amaya segera pergi ke kamar laki-laki itu dan mengambil tasnya.
Tanpa sepatah katapun dia keluar dari flat laki-laki itu. Dia mendengar wanita itu bertanya pada Aryan siapa dirinya. Ohh, jadi itu namanya, dia mendengar perempuan itu memanggil begitu tadi.
"Tetangga flat, ada kejadian tidak penting, jangan dibahas, ayo makan."
Amaya mendengar samar suara laki-laki itu.
Tidak penting katanya? ohh jadi membawa perempuan tidur di flatnya itu tidak penting, tentu saja itu karena dia pingsan. Apa laki-laki itu sering membawa wanita tidur di flatnya. Tanpa sadar Amaya berdecak kesal membuka pintu flatnya.
...
Setelah kejadian pingsan tempo hari, Amaya tidak benar-benar bisa cuek jika bertemu laki-laki itu, Aryan. Walaupun dia berusaha menampilkan wajah sedatar mungkin, tapi dia tidak terbiasa hutang budi seperti ini.
Sebenarnya laki-laki itu juga bersikap seolah kejadian waktu itu tidak pernah terjadi. Beberapa kali mereka sempat bertemu, misalnya tanpa sengaja di tangga saat akan berangkat atau pulang kerja. Mereka tanpa sadar akan saling bertatapan sebentar lalu cepat-cepat saling mengalihkan pandangan, tanpa ada sapaan satu sama lain tentu saja.
Tapi kali ini Amaya tidak bisa benar-benar menghindari laki-laki itu. Mereka sedang duduk berhadapan di meja panjang pemilik flat apartemen mereka. Hari ini semua penghuni flat diundang ke perayaan pernikahan 35 tahun Tuan dan Nyonya Choi, pemilik apartemen ini.
Sebenarnya Amaya bukanlah orang yang suka menghadiri acara semacam ini, tapi karena dia sepertinya yang paling jarang hadir dalam acara kumpul penghuni flat, dia sedikit khawatir kalau dicap sombong dan tidak mau bersosialisasi.
Laki-laki di depannya dari tadi sibuk berbincang dengan Mr. Dean, penghuni flat di lantai dua. Amaya dari tadi hanya bolak-balik mengecek ponsel, dia merasa bosan. Setelah saling sapa dan bincang basa-basi dengan tetangga flatnya yang lain, kini dia hanya duduk diam sambil sesekali menimpali perbincangan si nyonya rumah. Setelah hampir tengah malam, barulah dia bernafas lega, karena acara sudah selesai.
"Kau harus sering ikut kumpul bersama, young lady, nikmatilah hidupmu," kata Ny. Choi ketika dia berpamitan pulang.
Amaya hanya menatapnya sebentar lalu mengangguk kecil.
"Terimakasih atas undangannya, Good night," katanya lalu cepat-cepat pergi.
Amaya berjalan pelan menaiki tangga, dia tahu Aryan berjalan di belakangnya. Hanya mereka berdua yang kini di tangga menuju lantai tiga. Amaya menghembuskan nafas panjang, lalu berbalik.
Aryan yang menyadari wanita itu berhenti berjalan dan kini memandanginya, kini ikut berhenti di tiga anak tangga bawah wanita itu berdiri.
"Aku cuma mau mengucapkan terimakasih atas bantuanmu waktu itu, lain kali kupastikan tidak akan merepotkanmu lagi," kata Amaya datar dengan ekspresi muka sama datarnya.
Aryan hanya menatapnya beberapa saat, lalu mengangkat bahunya acuh dan kembali menaiki tangga.
Mendapat respon seperti tentu saja Amaya kesal. Dia sudah berusaha mengucapkan terimakasih tapi laki-laki itu malah mengacuhkannya.
Amaya mendengus kesal, "Aku sedang bicara padamu."
Aryan kembali berhenti, kali ini mereka di anak tangga yang sama, membuat Amaya sedikit mundur mengingat laki-laki itu berdiri menjulang begitu dekat dengannya.
"Aku sudah dengar, ada lagi?" Aryan berkata tak kalah datarnya.
"Kalau kau tidak ikhlas menolongku maka ..."
"Kalau kau tidak ikhlas mengucapkan terimakasih maka jangan," Aryan memotong pembicaraan ketus Amaya sambil menatap tepat di maniknya.
Amaya menahan nafasnya melihat tatapan dingin laki-laki itu. Untuk beberapa saat keduanya hanya saling menatap tanpa suara.
"Wanita angkuh dan keras kepala sepertimu ..."
Aryan menggantung ucapannya masih dengan menatap manik hitam jernih yang kini menatapnya dengan dingin. Dia menggeleng pelan. Lalu kembali menaiki tangga.
Setelahnya Amaya masih diam dalam posisinya sampai dia mendengar suara pintu terbuka lalu tertutup. Dia menghembuskan nafas gusar. Selama ini dia tidak peduli dengan penilaian orang lain terhadapnya. Tapi kali ini dia merasa ... entahlah, ada yang terasa salah.
?
Amaya sedang memasukkan sosis ayam ke nasi gorengnya ketika Raven ke dapur. Tinggal sendiri lebih bertahun-tahun mengharuskannya bisa memasak. Amaya mengambil sendok dan mencicipinya.
"Nanti malam jangan sampai lupa," Raven duduk di kursi depannya.
Amaya mengangkat alisnya sedikit,"Apa?"
"Ck, dasar pikun! pernikahan Danny dan Febi jam tujuh tepat, harus datang."
Amaya mengedikkan bahunya tanpa menjawab Raven. Lalu dia mengambil piring untuknya dan mulai menuang nasi gorengnya. Raven ikut-ikutan mengambil piring. Amaya hanya mendengus kecil tapi tetap menuang nasi goreng ke piring Raven juga.
"Nanti aku berangkat lebih awal, menjemput Renata dulu, kalau mau nebeng denganku siap-siap lebih awal, kata Raven di sela-sela makannya.
"Aku bisa naik taksi," kata Amaya.
"Atau mau bareng Aryan, nanti kusuruh dia menjemputmu," tawar Raven lagi.
Amaya menghentikan kunyahannya dan menatap Raven seolah dia disuruh naik ke punggung unta.
"Tidak usah, sudah kubilang aku akan naik taksi, ehmm, lagian ... memang dia tidak dengan kekasihnya?"
Amaya juga tidak tahu kenapa dia menanyakan itu. Setelah pertanyaan itu terlontar dia malah merutuki dirinya sendiri yang ikut campur urusan orang lain.
"Tidak tahu," jawab Raven membuat Amaya mendongak.
Sementara Raven asyik mengunyah makanannya.
"Setelah putus dengan yang kemarin itu, dia tidak pernah mengenalkan pacarnya, hanya beberapa kali waktu ada acara beginian dia datang dengan wanita-wanita berbeda, mungkin teman kencannya," lanjutnya.
Amaya tidak berkomentar apapun, apa yang diharapkan dari laki-laki seperti Aryan kalau tidak mengencani banyak wanita.
"Jangan bilang kau akan datang dengan teman kencanmu juga? kau sudah punya pacar?"
Raven kini memandangnya serius. Sedang yang ditanya malah asyik makan dan tidak peduli.
"Memangnya kenapa kalau iya?" jawab Amaya asal.
"Jadi benar kau sudah punya pacar? siapa? teman kantormu? kenapa tidak mengenalkan dulu padaku? kau tahu sekarang ini banyak laki-laki b******k," omelan Raven terhenti ketika terdengar suara bel.
Amaya segera berdiri dan berjalan membukakan pintu.
"Siapa?" tanya Raven.
"Temanku, kami mau pergi."
"Pacarmu itu?"
Pertanyaan Raven tidak dijawab Amaya. Laki-laki itu segera berdiri dan mengikuti Amaya.
Seorang wanita seumuran Amaya berdiri dengan senyum manis di wajahnya.
"Hai, apa aku kepagian?"
"Tidak, aku sudah selesai sarapan, kau mau nasi goreng?" tanya Amaya setelah menyuruh Gea masuk.
"Aku sudah sarapan."
Gea tersenyum sambil mengangguk kecil ketika melihat sepupu Amaya berdiri di pintu dapur.
"Hai, aku Raven, sepupu gadis galak ini," Raven mengulurkan tangannya.
"Aku Gea, teman kantornya," balas Gea.
"Aku siap-siap dulu Ge, tunggu sebentar."
Gea mengangguk kecil dan Amaya langsung bergegas ke kamarnya.
"Jadi kau kerja di majalah itu juga?" pertanyaan sepupu Amaya mengalihkan pandangan Gea dari tangga.
"Ya, kenapa?" tanyanya melihat Raven terlihat ingin menanyakan sesuatu.
"Apa Amaya punya teman lelaki di sana?" tanya Raven dengan sedikit berbisik.
"Banyak."
Gea mengulas senyum kecil melihat ekspresi Raven.
"What??" Raven melihat gadis itu menjawab mantap.
"Yaa banyak, di kantorku pegawainya kan bukan hanya perempuan, hampir setengahnya laki-laki," lanjut Gea tertawa kecil.
Raven menghembuskan nafas panjang melihat wanita itu tidak mengerti maksud pertanyaannya.
"Bukan itu, maksudku teman kencan."
"Ohhh, itu maksudmu," Gea tertawa sambil mengibaskan tanganya di depan wajahnya.
"Setauku tidak."
Raven menghembuskan nafasnya, terlihat lega.
"Kenapa kau khawatir begitu kalau Amaya dekat dengan laki-laki?" tanya Gea.
"Bukan itu, hanya saja laki-laki b******k saat ini jumlahnya melimpah, kau tahu kan."
"Termasuk dirimu?"
Pertanyaan Gea membuat Raven terdiam sebentar. Manik di depannya seperti menahan geli. Sampai akhirnya Raven mendengar wanita itu terkikik kecil.
"Aku hanya bercanda, kenapa wajahmu begitu," kata Gea di sela tawanya.
Raven tidak berkomentar. Melihat wanita di depannya tertawa begitu, membuatnya ikut tersenyum.
"Kau sepupu yang protektif ternyata."
Gea kembali bersuara setelah tawanya reda, meninggalkan lengkungan manis di bibirnya.
"But, its great" lanjut Gea.
Raven kembali terdiam tidak tahu harus berkomentar apa.
"Kuharap Raven belum memangsamu Ge, kata Amaya turun dari tangga dengan menenteng tas berwarna cokelat muda di tangan kanannya.
"Aku hanya sedikit merayunya May," kata Raven sambil mengedikkan matanya.
Sedang Gea hanya tertawa kecil melihat interaksi kedua sepupu ini.
"Ayo kita pergi, sebelum kau habis dilahapnya," ajak Amaya.
"Dan kau akan dicincang oleh Renata kalau berani merayu wanita lain, ohhh jangan lupa cuci piringnya Rav!" lanjut Amaya sambil menunjuk piring kotor di meja makan dan segera berjalan keluar.
***