Author pov
"May, jadwal sama desainernya jam berapa?"
Gea membawa berlembar-lembar artikel di tangan sambil menghampirinya.
"Nggak tahu, desainer wedding-nya minta kita sekalian ngambil gambar, biar nanti gak ribet nyocokin jadwal pertemuan lagi."
Amaya memijat keningnya sambil memejamkan mata.
"Emang udah ada modelnya?"
"Itu dia, belum deal sama modelnya, mana deadline udah deket."
"Kenapa gak pake model kita aja?"
Amaya menoleh bingung ke Gea yang menyandar santai di kubikel sampingnya.
"Fimale kan punya the winner of Excellence Awards 2012 dan 100 Most Beautiful Woman 2013, selain itu udah jadi bintang iklan dan model majalah di Australia, kenapa mesti cari orang lain?"
Amaya menatap horor ke Gea.
"Semua orang di sini juga tahu May, kalo kamu dulu model juga di Australia, lagian kenapa kamu gak jadi model aja sih, malah pilih berkutat dengan tumpukan artikel itu."
Gea menunjuk lembaran artikel yang berserakan di meja Amaya.
Dulu di Australia dia memang sempat beberapa kali ikut kontes modeling. Ternyata dia menang di beberapa ajang yang diikutinya, lalu ditawari jadi bintang iklan dan model majalah. Waktu itu uangnya lumayan untuk tambah biaya hidup di Sydney. Jadi dia menerima beberapa tawaran. Tapi untuk jadi model sungguhan seperti yang dikatakan Gea tadi, dia tidak tertarik. Lebih nyaman berkutat dalam lembaran artikelnya daripada harus berpose di depan kamera tiap hari.
"Tanya mbak Jeane aja," katanya sambil berjalan ke ruang redaktur pelaksana mereka.
Sebenarnya juga karena dia tidak ingin menanggapi pertanyaan Gea tadi.
"Mbak Jeane paling juga minta kamu May, dia kan yang paling pro waktu Fimale ngerekrut kamu."
Amaya masih bisa mendengar suara Gea, tapi dia lebih memilih tidak berkomentar.
...
Di sinilah Amaya sekarang, sudah sejak sejam yang lalu duduk di depan meja rias dan pasrah dirias oleh wanita muda yang kini sedang menata rambutnya.
"Please May, kamu yaa, kali ini aja deh. Lagi emergency situations gini, kamu tahu kan deadline udah deket."
Amaya memandang dalam diam redaktur pelaksana mereka yang kini sedang membujuknya.
"Tapi mbak . . ."
"Bu Diana juga udah setuju kalo kamu yang jadi modelnya.
Lagian kamu nggak kasian sama ibu hamil ini yang harus kesana-kemari nyari model, nanti kalo anak aku kecapekan kamu nggak kasihan. Please please yaaa kali ini aja."
Kenapa mbak Jeane bawa-bawa hamil segala, dia jadi tidak tega. Amaya mengangguk samar sambil menggigit bibir bawahnya. Semoga ini keputusan yang tepat.
Mbak Jeane langsung memeluknya erat sambil tersenyum lebar,"Thank you darling."
Amaya kembali mengingat perkataan dengan editor pelaksana mereka tadi. Dia tidak punya pilihan lain. Amaya hanya bisa terpaku diam karena begitu kagum ketika dia melihat gaun yang akan dikenakannya.
Gaun soft pink dengan paduan warna gold itu menjuntai indah di depannya. Bentuknya memanjang sampai kaki dengan model menempel sempurna di manekin. Terdapat selendang rumbai tersampir di bahu kiri, ada obi berwarna emas yang memperlihatkan bentuk gaunnya menjadi sempurna. Amaya menelan ludahnya perlahan. Semua yang menempel pada gaun itu sangatlah indah.
Satu kata yang menggambarkannya yaitu mahal baik gaunnya, bahannya, maupun desain dan modelnya begitu berkelas. Amaya tidak bisa membayangkan berapa jumlah nol yang tertera dalam nominal harga gaun ini. Banyak yang memakai desainer ini, kebanyakan dari kalangan artis dan pejabat yang memiliki uang berlimpah.
"Hai kamu dari majalah Fimale?"
Seorang wanita cantik berumur pertengahan tiga puluhan menyodorkan tangannya pada Amaya.
"Anne."
Amaya segera mengatasi keterkejutannya dan segera menyambut uluran tangan serta menyebutkan namanya. Jadi wanita ini yang mendesain gaun indah tadi.
"Ayo kubantu memakai gaunnya."
Amaya mengekor di belakangnya ke sebuah bilik yang tertutup tirai merah marun. Dalam hati Amaya berdoa semoga gaun itu pas ditubuhnya. Kalau sampai tidak muat akan panjang urusannya. Amaya menghadap cermin panjang sambil memakai gaun itu dengan sangat hati-hati. Dia menahan nafasnya ketika mbak Anne mencoba menyesuaikan baju itu di tubuhnya. Apa aku terlalu gemuk, pikir Amaya dalam hati. Dia memang sudah setahun ini tidak melakukan pemotretan dan tidak pernah mengatur berat badannya lagi.
"Wow, cantik sekali, sangat indah saat kamu pakai, seolah-olah gaun ini memang didesain untukmu."
Amaya menoleh ke cermin besar di depannya. Dan untuk kedua kalinya dia terpaku. Wanita di cermin itu bukan hanya sekedar cantik, tapi sangat cantik. Dia tidak pernah melakukan pemotretan dengan gaun pengantin tradisional sebelumnya.
"Apa kamu model baru?"
Pertanyaan Mbak Anne membuyarkan kekagumannya dari wanita dicermin itu.
"Emm, ohh bukan, . . . itu, ... sebenarnya aku redaktur di Fimale", katanya terbata.
"Ohh ya? kamu terlihat seperti model."
Fimale beruntung memiliki redaktur sepertimu.
"Ohh yaa ini kartu namaku, mungkin kalau suatu hari aku membutuhkan model sepertimu."
"Aku. . . aku bukan model," Amaya menolak menerima kartu namanya.
"Ambil saja, manusia sangat cepat berubah pikiran kau tahu."
Mbak Anne menaruh kartu namanya di genggaman Amaya sambil tersenyum.
...
Minggu-minggu ini adalah minggu super sibuk bagi Fimale. Bulan depan Fimale harus segera beredar. Semua pekerja mulai dari editor, wartawan, redaktur, redaktur pelaksana, sampau pimpinan redaksi hampir tiap hari kerja lembur. Yang biasanya bisa santai sambil mengobrol saat makan siang. Kali ini seperti dikejar waktu, mereka akan makan cepat-cepat lalu kembali ke ruangan masing-masing.
Para wanita yang suka mondar-mandir ke kamar mandi untuk sekedar menyisir rambut atau memakai lipgloss kali ini puasa dulu. Yang suka berkunjung ke kubikel sampingnya untuk sekedar menghilangkan pegal karena duduk seharian, kini terpaksa tidak beranjak dari kursinya.
Sampai akhirnya minggu-minggu itu berlalu. Minggu ini bagian publishing yang gantian sibuk. Amaya berjalan cepat menuju ruang rapat. Tadi pagi dia ditelepon mbak Jeane untuk ikut rapat redaksi. Beberapa orang menoleh padanya dan memandangnya dari bawah ke atas seolah dia alien saja. Tapi Amaya tidak sempat meladeni, dia sudah terlambat sepuluh menit.
Semua yang ada di ruang rapat memandangnya ketika Amaya membuka pintu. Dia tersenyum tipis dan mengangguk meminta maaf karena terlambat. Lalu segera duduk di samping mbak Jeane.
"Kau sudah lihat cover Fimale untuk edisi ini?" Mbak Jeane berbisik kecil padanya.
Amaya menggeleng pelan dan belum sempat dia bertanya kenapa, pimpinan redaktur memanggilnya.
"Amaya, terimakasih atas kerjasamamu, hasilnya sangat memuaskan," kata Bu Diana tersenyum kepadanya.
Amaya sedikit bingung, lalu dia menerima majalah berwarna cokelat tua yang diberikan mbak Jeane.
Kenapa akhir-akhir ini banyak sekali kejadian tak terduga yang datang padanya. Amaya menelan ludah susah payah saat melihat kover majalah itu. Seorang wanita cantik berdiri sedikit menyamping, mengenakan gaun pengantin soft pink berpadu emas. Selendang berumbai berwarna pink menyampir sempurna di bahu kirinya yang ramping. Obi berwarna emas melingkar di perutnya, menampilkan lekuk tubuh indahnya.
Gaun itu menjuntai indah sampai kaki, dengan lengan pendek yang cantik. Si wanita menggunakan sapuan make up natural yang semakin membuatnya ayu. Tatanan rambutnya dibuat menyamping dengan hiasan bunga. Wanita itu membawa rangkaian bunga di tangannya. Semuanya terlihat sempurna. Mencerminkan pengantin wanita yang ayu, elegan dan anggun.
"Ini. . . bagaimana bisa. . . bukankah fotonya hanya digunakan di halaman rubrik, tapi. . . kenapa bisa di sini?"
Amaya bertanya dengan kebingungan yang jelas di wajahnya.
"Ini sudah keputusan kami semua May, lagian fotonya sangat sesuai dengan tema Fimale dan juga foto ini sangat bagus."
Amaya kembali membuka mulutnya tapi tidak tahu harus bicara apa.
"Joshua segera hubungi bagian publishing untuk segera perbanyak dan distribusikan."
Kemudian Bu Diana menutup rapat dan berjalan keluar ruangan diikuti yang lainnya.
"Good Job Amaya."
Mbak Jeane menepuk pundaknya pelan sebelum keluar. Amaya kembali mendesah pelan.
...
"Kau membuat semua pengantin wanita iri May, Intan mengamati foto kover majalah Fimale dengan bertopang dagu.
"Dan membuat semua pengantin pria rela meninggalkan pasangannya dan lari padamu," Gea menambahkan.
Sedangkan yang dipuji terlihat serius makan dimsumnya. Dia benar-benar lapar, akhir-akhir ini dia tidak makan dengan benar.
"Kalian nggak makan?" Amaya melihat pesanan kedua temannya itu belum tersentuh.
"May, ini kita ditraktir kan?" Intan berseru girang.
Amaya mengerutkan kening. Dia memang dapat gaji tersendiri dari fotonya itu. Lumayan untuk tambah beli mobil.
"Nggak ada duit, belom ngambil," kata Amaya datar.
"Jangan yang ini traktirannya May, kurang mahal dong, kita dinner di rooftop sambil liat bintang, kayak gitu kan lagi tren banget sekarang," usul Gea langsung mendapat tanggapan positif Intan.
"Suruh suamimu nanti yang traktir, kenapa aku," Amaya menolak mentah-mentah usul itu.
"Dinner di rooftop apartemenmu itu aja Ge, sama-sama bisa liat bintang kan, nanti aku masakin," Amaya menyarankan.
"Itu ceritanya kita gak jadi dapat traktiran mahal dong."
"Gapapa Ge, dinner di tempatmu sambil barbequean trus ngobrol sampai larut, asyik juga itu."
Intan mengangguk menyetujui usul Amaya.
Gea terlihat berpikir sebentar, lalu akhirnya mengangguk.
"Ya udah deh, tapi yang belanja pake uang kamu kan May?"
Amaya mengacungkan jempolnya dengan mulut penuh makanan. Obrolan mereka berlanjut ke menu apa yang akan dimasak nanti. Dalam hati Amaya tersenyum senang, uangnya selamat untuk beli mobil.
...
Amaya sedang mengeringkan rambutnya sehabis keramas ketika mendengar suara ribut di bawah. Dia melemparkan handuk basahnya ke sofa dan segera turun. Sesampainya di samping dapur Amaya melongokkan kepalanya ke ruang TV. Ada Raven, Renata dan Dira yang asyik ngobrol sambil membuka makanan delivery mereka. Baru saja Amaya mau berbalik pergi, dia terlonjak pelan melihat sosok di belakangnya yang kini dengan santainya bersedekap memandannya, seolah Amaya ketauan menguping.
"Ngagetin aja" kata Amaya sambil mengelus dadanya, menetralkan detak jantungnya.
"Memangnya kau sedang apa sampai kaget begitu?"
Amaya mendelik mendengar pertanyaan menuduh Aryan.
"Apa? kau tiba-tiba muncul seperti hantu bagaimana mungkin aku tidak kaget."
Aryan hanya mengangkat bahu acuh lalu ngeloyor pergi ke dapur.
Ingin rasanya Amaya memukul kepala laki-laki menyebalkan itu. Amaya baru ingin kembali ke kamar ketika Renata memanggilnya, mengajaknya bergabung. Kalau sudah begini tidak sopan kalau dia langsung ngeloyor pergi. Dengan sedikit enggan dia duduk disamping Renata. Amaya menatap datar Raven yang duduk di depanya.
"Makanlah kita pesen banyak, para kingkong di sini sedang kelaparan."
Renata menunjuk Raven dan Dira yang makan seolah-olah sudah tiga hari tidak makan.
Dua bungkus rokok tergeletak di meja, Amaya mendengus pelan melihatnya.
"Tidak usah, aku tidak makan."
Amaya menolak ketika Renata menyodorkan sepotong pizza keju padanya.
"Kenapa? kau diet? ohh aku tahu, seorang model memang harus menjaga tubuhnya kan."
WHAT?
"Aku sudah lihat fotomu, ini sangat bagus," kata Renata.
Amaya merutuk dalam hati saat Renata mengeluarkan Fimale edisi terbaru dari tasnya.
"Ini pertama kali aku melihatmu di foto majalah, Raven bilang kau model di Australia, di foto ini kau terlihat seperti pengantin sungguhan, sangat cantik."
Amaya tidak tahu harus bicara apa. Dia menatap tajam Raven yang begitu ember mulutnya. Yang ditatap hanya mengangkat bahu acuh dan dengan santainya mengatakan sesuatu yang membuat Amaya ingin menumpahkan pepsi di depannya ke rambut Raven.
"Kau ingin melihat fotonya yang lain? Amaya membawa majalah-majalah yang ada fotonya dari Australia."
Amaya menatap marah ke Raven, tapi laki-laki itu tidak menyadarinya.
"Apa ini?"
Amaya memejamkan matanya sambil membuang nafas panjang mendengar suara lain.
Aryan mengambil majalah di meja dan melihatnya dengan dahi berkerut.
Ohh Hell! Apa lagi sekarang.
"Amaya sangat cantik kan di foto itu?"
Amaya rasanya juga ingin menyuapi Renata dengan pizza sampai mulutnya penuh. Setelah beberapa saat dia tak mendengar Aryan bersuara, didongakkan wajahnya menatap laki-laki itu. Aryan mengamati fotonya dengan serius lalu melihatnya sebentar dan kembali melihat fotonya. Amaya menebak-nebak apa yang ada dipikiran laki-laki itu.
"Bahkan di fotopun kau masih terlihat angkuh," komentar Aryan sontak membuat Raven dan Dira tertawa.
"Kau memang sudah angkuh sampai tulangmu May," kata Raven dari sela-sela tawanya.
Amaya merebut kasar majalah yang dipegang Aryan.
"Go to Hell!"
Sumpah serapah Amaya membuat Raven semakin keras tertawa. Amaya menatap tajam Raven lalu melemparkan majalah ke kepala sepupunya itu. Lalu dia segera beranjak dari sana menuju kamarnya. Dia masih mendengar Renata menegur para laki-laki itu.
"Dasar perempuan, bicara bohong tidak suka, kita bicara jujur marah, apasih maunya."
Amaya masih mendengar Raven mengomel sebelum berbelok ke kamarnya.
***