Author POV
Memasuki bulan kedua Amaya tinggal di Bandung. Rutinitasnya kembali terbentuk, bekerja di Fimale, jalan-jalan dengan Gea dan Intan, mengobrol dengan Raven. Hanya seputar itu. Sejak Aryan mengantarkannya pulang dari pesta Danny waktu itu, mereka tidak pernah bertemu lagi. Laki-laki itu selalu bisa merusak mood-nya.
Sejak itu papanya juga tidak menghubunginya lagi. Sampai tadi siang, pesan dari papanya membuat Amaya seharian ini tidak dalam mood yang bagus. Hari ini mereka akan bertemu setelah, empat, ohh bukan lima tahun tidak bertemu. Amaya duduk diam di dalam taksi dengan memegang erat tasnya. Tangannya terasa dingin. Apa yang harus mereka obrolkan nanti.
Ya Tuhan, dia berharap dapat melihat Papa-nya tanpa ada tatapan kemarahan di rautnya nanti. Kejadian itu sudah lama, saat dia lulus SD. Dia tidak ingin mengingatnya lagi. Bagaimana ibunya meninggal, ayahnya pergi dan hidupnya sangat berubah. Dia tidak ingin mengingatnya lagi. Biarkan itu menjadi masa lalunya. Sekarang dia memiliki hidup yang baik, tanpa papanya. Papanya juga sudah bahagia dengan keluarga barunya, tanpa Amaya ada di dalamnya. Biarkan seperti itu sudah cukup bagi Amaya.
Amaya berjalan pelan dengan langkah berat memasuki restoran tempat mereka janji bertemu. Dengan susah payah Amaya menelan ludahnya melihat pria paruh baya yang kini duduk memunggunginya. Dulu di punggung itu dia sering meminta gendong. Bermanja dengan papanya. Rasanya sudah lama sekali.
"Papa."
Sekuat tenaga dia menjaga agar suaranya tidak bergetar, tapi dia tahu itu gagal. Suaranya terdengar lirih bahkan hampir tak terdengar. Tenggorokannya terasa kering, sudah lama sekali dia tidak menyapa nama itu. Papanya menoleh dengan senyum tulus mengembang di bibirnya.
Amaya duduk tepat di depan papanya. Pria yang duduk di hadapannya itu terlihat semakin tua, dengan kerutan di dahinya. Matanya redup dan kini sedikit berkaca-kaca menatap Amaya lekat.
"Amaya."
Suara yang terdengar di telinganya juga bergetar dan lirih.
"Apa kabarmu nak?"
Amaya tidak langsung menjawab. Dia mencoba tersenyum tipis sambil menatap papanya.
"Baik, bagaimana keadaan papa?"
"Papa sehat," jawab papanya.
Amaya menundukkan wajahnya ketika papanya meneliti wajahnya dengan cermat.
"Kau sudah dewasa sekarang, putri kecil Papa sekarang cantik sekali."
Sekali lagi Amaya memaksa bibirnya melengkungkan sebuah senyuman.
"Seperti Mama?" tanyanya.
"Ya seperti Mamamu, bahkan kau lebih cantik, kau sudah besar sekarang, sebentar lagi akan menikah," tutur papa Amaya.
Amaya menatap papanya sedikit terkejut.
"Kau tidak mengenalkan calon menantu Papa?"
Kali ini dia tidak tahu harus menjawab apa.
Menikah.
Satu kata itu belum terpikirkan dalam benaknya. Umurnya memang sudah cukup matang untuk menikah, tapi butuh proses panjang untuk seseorang memutuskan hal itu. Karena setelahnya hidupnya tidak akan sama lagi. Menikah bukan seperti main game yang jika kita kalah bisa mencoba dari awal. Bagaimana menyatukan dua hati, dua pikiran menjadi satu. Itu sulit sekali.
Cinta.
Itukan yang dikoar-koarkan selama ini untuk alasan menikah. Tapi bagi Amaya, love is bullshit. Mereka mengoarkan saling mencintai, tapi kemudian yang ada saling melukai, menyakiti, lalu meninggalkan. Sampai sekarang dirinya masih tidak mengerti bagaimana yang awalnya menikah karena cinta, lalu kemudian terjadi kdrt bahkan pembunuhan dalam rumah tangga. Atau yang awalnya mencintai kemudian hatinya berganti mencintai orang lain. Apakah memang cinta hanya sebatas itu.
Dan sekarang Amaya bahkan tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Apa yang harus dikenalkan.
"Pasti, nanti Amaya kenalkan," katanya akhirnya.
Papanya tersenyum melihatnya. Setelah itu mereka terdiam. Kecanggungan seperti ini yang ditakutkannya. Ya Tuhan, yang di depannya ini adalah papanya, bukan orang asing. Amaya sedang mencari topik pembicaraan yang aman. Tapi sepertinya papanya berpikir lain.
"Sudah lama sekali."
Amaya mendongak mendengar perkataan yang digantung papanya.
"Kau berhak marah pada Papa May, sangat berhak," ujar papanya.
Amaya seketika menunduk mendengarnya. Menyembunyikan matanya yang kini terasa panas menahan tangis.
"Usiamu baru 12 waktu Mamamu pergi dan Papa tidak ada untuk menemani kalian. Papa tahu, Papa jauh dari kata seorang ayah yang baik. Papa meninggalkanmu saat usiamu 15. Seharusnya kau membenci Papa May."
Kali ini setetes air mata turun di pipinya. Tanganya gemetar dan matanya perih. Lebih dari itu, hatinya terasa sakit. Ya Tuhan, kenapa perasaan ini masih sama. Dipikirnya luka ini akan hilang, tapi tidak. Bahkan mungkin bertambah.
Benci?
Apakah Amaya bisa melakukannya? Tidak.
Dia berusaha keras untuk menjaga agar tidak sampai pada perasaan itu. Untuk itulah selama ini dia selalu menciptakan jarak yang tegas antara dirinya dan sang papa. Hanya itu yang bisa dilakukannya.
"Ini salah Amaya Pa, ... salah Amaya ..., Amaya tidak bisa menjaga Mama dengan baik," suaranya terdengar bergetar di antara tangisannya.
"Ya Tuhan, sama sekali bukan May, ini salah Papa. Papa tidak bisa menjaga kalian, ini salah Papa."
Amaya menggeleng pelan di antara isakannya. Amaya marah pada papanya, tapi lebih dari itu, dia sangat marah pada dirinya sendiri. Usianya 12 saat itu dan dia tidak melakukan apapun untuk Mama nya, untuk mencegah papanya pergi, dia tidak bisa menjadi alasan untuk kedua orangtuanya utuh. Dia sangat marah pada dirinya sendiri. Terlintas bayangan wajah pucat Mamanya yang sedang merawatnya saat sakit. Tapi apa yang bisa dilakukan saat Mamanya yang sakit. Tidak ada. Tidak jarang ketika dia sedang sendirian, dia menangis merindukan Mamanya. Sangat merindukannya.
"May, maafkan Papa."
Maaf.
Apa itu akan merubah segalanya. Tidak ada yang berubah dengan adanya maaf. Lukanya tetap ada. Tentu saja dia memaafkan papanya, tapi tidak dengan melupakan apa yang telah papanya lakukan. Setiap detailnya dia masih ingat.
Amaya memejamkan matanya pelan sambil mengusap air matanya. Bertahun-tahun dia mencoba untuk tidak menangis di depan papanya. Ketika Amaya mengangkat wajahnya, yang terlihat adalah wajah datarnya.
"Aku tidak ingin membahasnya lagi Pa."
Terlihat raut terkejut di wajah papanya saat Amaya mengucapkannya dengan dingin. Tapi sebentar kemudian papanya mengangguk. Lalu papanya menaruh sebuah map kertas kecil ke depannya.
"Untukmu May, terimalah."
Amaya menatapnya dengan dingin. Selama ini dia selalu menolak apa yang diberikan papanya. Biaya yang diberikan untuk kuliahnya pun sampai saat ini masih tersimpan, tidak sepersenpun diambilnya.
Untuk itulah semasa kuliah dulu dia mondar-mandir cari kerja sampingan. Untuk membiayai kuliah dan hidupnya sendiri. Dia tidak mau menerima apapun dari Papanya, setelah Papanya meninggalkannya dan memilih orang lain.
Sejak itu Papanya sendiri yang memutuskan hubungan dengannya. Jadi jangan minta Amaya untuk melihat papanya sekarang dengan cara dia melihat sang Papa saat usianya masih lima tahun dulu. Karena dapat dipastikan dia tidak akan bisa.
"Amaya tidak bisa Pa," katanya bahkan tanpa membuka apa isinya.
Pria paruh baya itu terlihat terkejut, "Terimalah Nak, kamu sedang membutuhkannya."
Dengan kening berkerut Amaya melihat apa yang ada di dalam map.
Kunci mobil.
Kenapa?
Raven.
Seketika dia teringat percakapannya dengan Raven. Apa yang diceritakan sepupunya itu pada papanya.
"Jangan salahkan Raven nak, dia hanya ingin membantu Papa."
Sang Papa menjawab apa yang dipikirkannya. Jadi ini dibalik sikap Raven yang terlihat mengulur waktu saat Amaya meminta bantuannya untuk membeli mobil.
"Apa yang Raven katakan?"
Amaya melihat datar ke arah map itu. Selama beberapa saat terjadi keheningan di antara anak dan sang Papa itu. Apakah selama ini papanya dan Raven sering berbincang di belakangnya.
Ya Tuhan, apakah...
Amaya terkejut dengan pemikiran yang tiba-tiba melintas di pikirannya itu. Dia melihat ke papanya yang masih diam.
"Apa yang Raven katakan Pa? Apa selama ini ..."
Amaya tidak bisa melanjutkan ucapannya. Hatinya terasa nyeri saat melihat papanya mengangguk samar.
"Selama ini Papa selalu bertanya pada Raven tentangmu, apa yang terjadi padamu, setiap detailnya May. Hanya itu yang bisa Papa lakukan, untuk sedikit mengurangi rasa bersalah papa."
Amaya terdiam, apa yang sudah sepupunya itu lakukan tanpa sepengetahuannya. Kepalanya terasa pening sekarang.
"Amaya tidak bisa menerimanya Pa," katanya tegas tanpa mau ditolak.
Kecemasan terlihat di raut papanya, tapi kemudian dia mengangguk. Tidak ingin memaksa anaknya.
Bunyi dering ponsel memecah keheningan yang ada. Tanpa sengaja. Amaya melihat sekilas ponsel papanya yang menyala diatas meja. Dan dia kembali diliputi amarah saat melihat caller id yang tertera di layar. Papanya mengambil ponselnya, tapi tidak segera mengangkatnya. Justru menatap Amaya, seolah meminta persetujuan.
"Amaya pergi."
Dia segera berdiri dari kursinya.
"Amaya!"
Ponsel papanya kembali berdering saat papanya mencegahnya pergi.
"Angkatlah, mereka lebih membutuhkan Papa, bukankah mereka lebih berarti daripada Amaya"
Setelah mengatakan itu dengan nada dingin, Amaya segera berbalik pergi, menyembunyikan setetes air mata yang kembali memaksa turun di pipinya.
Amaya berjalan ke luar restoran, tapi bukannya menuju halte dan mencari taksi, dia justru berjalan mengikuti trotoar. Pandangannya tidak fokus dan kepalanya terasa berat. Dengan sepatu flat shoes dia berjalan pelan sambil menunduk. Membiarkan pikirannya berlari kemanapun dia mau. Sampai kepalanya terasa sakit.
Dia tertawa miris ketika mengingat dirinya benar-benar sendirian. Inilah yang tidak disukainya ketika kembali ke negara ini. Kenangannya kembali terbuka satu demi satu.
Kenapa hidupnya tidak seperti orang lain yang memiliki keluarga. Amaya bahkan tidak tahu harus menghubungi siapa ketika skripsinya diterima dan dia akan wisuda. Atau ketika pertama kalinya dia dapat pekerjaan. Ketika teman-temannya bercerita tentang keluarganya, Amaya bahkan tidak tahu harus bicara apa. Sekedar duduk mengobrol, menonton TV, menemani Mamanya memasak, hal itu yang benar-benar dirindukannya. Sudah lama sekali bibirnya tidak mengeluarkan sapaan Mama.
Papanya dan orang lain hanya tahu bahwa Mamanya meninggal karena sakit. Lalu tiga tahun kemudian papanya menikah lagi. Amaya tinggal bersama keluarga Raven sebelum kemudian dia kuliah di luar negeri. Hanya sebatas itu. Biarkan papanya beranggapan dirinya tidak tahu apapun di balik itu.
Ketika papanya mulai jarang pulang dengan alasan kerja di luar kota. Kemudian jantung Mamanya mulai tidak sehat. Mamanya yang diam saja ketika tahu suaminya bukan bekerja, tapi sibuk mengurusi keluarga orang lain dan meninggalkan keluarganya sendiri. Amaya berhenti berjalan dan memejamkan matanya sebentar ketika kepalanya berdenyut sakit.
Raven.
Apa yang sudah dikatakannya kepada papanya. Dengan kesal Amaya mengambil ponselnya dan mendial nama Raven. Dia mengumpat kesal ketika panggilannya tidak diangkat.
Kafe Danny?
Kemungkinan besar laki-laki itu ada di sana mengingat jam kerja sudah berakhir berjam-jam yang lalu. Ya, laki-laki itu sering sekali kesana. Amaya segera menghentikan taksi kosong yang lewat di didekatnya. Dia butuh bicara dengan Raven.
Kenapa dengan seenaknya laki-laki itu melaporkan semua tentang Amaya ke papanya. Dengan kemarahan yang kian bertambah Amaya menyuruh supir taksinya berjalan lebih cepat ke alamat kafe Danny.
...
Sesampainya di sana, Amaya langsung naik ke lantai dua, tapi tidak juga melihat Raven di sana. Teman-temannya yang lain pun tidak ada. Apa mungkin? Amaya sedikit ragu, namun kemudian menuju tangga lantai tiga.
Ketika masuk ke lorong berwarna marun itu Amaya sudah bisa mencium bau rokok bercampur alkohol. Musik yang berdentang tidak terlalu keras segera menyambut telinganya. Amaya menelan ludahnya dan masuk ke bar itu. Diedarkannya pandangannya di ruang yang didominasi warna hitam dan lampu temaram itu. Namun dia tidak juga menemukan orang itu.
Asap rokok yang mengepul, bau alkohol yang menguar, laki-laki dan perempuan yang sibuk berbincang di meja-meja bundar dan segerombolan laki-laki yang memutari meja-meja billiard tertangkap pandangannya. Amaya berjalan ke meja bar dan mengeluarkan ponselnya. Dia begitu marah ketika Raven tidak juga mengangkatnya.
"Kau dimana?! Dasar sialan! apa yang sudah kau katakan pada papaku, kau pikir kau berhak mencampuri urusanku!! You are such a bastard!!!" teriak Amaya dengan marah setelah dia menekan tombol mailbox, karena Raven tak juga mengangkat panggilannya.
Dengan sedikit membanting ponselnya ke meja bar, Amaya terus mengeluarkan sumpah serapah. Dia merasa seperti orang bodoh di antara papanya dan Raven.
"Cocktail," kata Amaya sambil memijat pelipisnya saat mengatakan pada seorang bartender.
Dia membutuhkan itu saat ini. Ya, dia akan minum sampai dia tidak mengingat apapun yang terjadi hari ini. Besok dia akan bangun seolah kejadian hari ini tidak pernah terjadi. Dia akan kembali seperti rutinitasnya biasa besok. Menyibukkan diri dengan artikel-artikel baru sampai larut dan badannya membutuhkan istirahat. Dia butuh alkohol untuk menghilangkan pening di kepalanya.
Amaya memejamkan matanya ketika cairan itu masuk ke kerongkongannya. Campuran tequila dan papermint dalam cocktailnya membuat lidahnya terasa pahit. Kepalanya berdenyut sakit, ketika lagi-lagi Amaya meneguk habis isi gelasnya.
Dasar Raven b******k, laki-laki itu selalu menyampuri urusannya. Dia tidak tahu apapun, juga orang-orang di luar sana yang mengatakan dirinya terlalu keras kepala kepada papanya. Mereka tidak tahu apapun.
Untuk laki-laki sialan yang meminta papanya merawat keluarganya saat dia meninggal. Amaya ingin sekali memaki orang itu, mengeluarkan segala sumpah serapah di hadapannya. Karena permintaannya, papanya justru meninggalkan keluarganya sendiri. Dasar b******k!!!
Entah sudah berapa gelas yang diteguknya ketika Amaya merasakan kepalanya rasanya mau pecah dan matanya semakin sulit untuk terbuka. Tangannya terlipat di meja bar dan dia meletakkan kepalanya di sana. Perlahan matanya terasa perih dan dia terisak pelan. Setetes air mata menetes dan membasahi lengannya.
Terdengar bunyi ponselnya, tapi dia tidak berniat sedikitpun mengangkatnya. Dan ketika ponselnya tidak berhenti berdering, dengan kasar dia mengambil ponselnya dan justru mematikannya. Diabaikan tubuhnya yang mau luruh, dia kembali menuang cocktail dari botol dihadapannya ke gelas yang dipegangnya erat. Ketika Amaya ingin meneguknya, tangannya ditarik kasar oleh seseorang.
***