SATU

2177 Kata
Abdul membuka perban yang selama ini membalut punggungnya selama tiga bulan. Karena perawatan yang telaten dari Bahir dan dokter yang diperintahkan ayahnya, luka cambuk yang diderita Abdul dapat sembuh seperti yang diperkirakan orang-orang, 3 bulan. Sementara dalam pemulihannya, persiapan pernikahan antara Abdul dan Leila tetap berjalan dan semakin mendekati hari besarnya.             Di kediaman Abdul pun tampak sibuk mempersiapkan segala hal untuk menyambut Leila yang akan secara otomatis menjadi nyonya rumah ketika menjadi isteri Abdul. Azzah yang selalu mendampingi Ummu dalam mempersiapkan kamar sang pengantin tampak sibuk membantu untuk membersihkan ruangan-ruangan lainnya yang berhubungan dengan Leila. Bahkan hampir seluruh barang-barang Leila sudah dulu mengisi kamar dan ruang-ruang itu sebelum pemiliknya datang.             Sejak ditetapkan hari pernikahan, Abdul dan Leila tidak saling bertemu untuk sementara. Leila mempersiapkan dirinya menjadi pengantin sang Pangeran di kediaman ayahnya sementara Abdul tetap menjalankan rutinitasnya sebagai penerus kilang minyak Sheikh Mohammed Abdul Jabbar dan melakukan kegiatan amal di sisi Pangeran Mahkota di mana Abdul adalah salah satu dewan direksi di perusahaan sang Pangeran Mahkota.             Abdul menyerahkan semua persiapan pernikahannya kepada Ummu dan juga keluarga El Baraq dan mengikuti semua proses persiapan itu tanpa membantah. Pada sehari sebelum merayakan pernikahannya, Abdul tahu bahwa ada acara ritual khusus bagi mempelai wanita di tanah Arab yaitu penganten pacar.             Menuruut laporan Bahir, dari pagi Leila sedang dibubuhkan pacar di tangannya oleh para tetua keluarga. Di mana seharian itu kediaman Mustafa El Baraq terlihat dipenuhi mobil-mobil mewah dan tenda-tenda yang berdiri di halamannya yang luas, bahkan Mustafa menggelar pasar tengah hari yang membuka pintu gerbangnya untuk para masyarakat menikmati tenda-tenda makanan yang digelar.             Menjelang malam, acara penganten pacar itu dibuat seperti nuansa seribu satu malam di mana Leila duduk anggun di kursi empuk dengan hiasan bulu merak di belakangnya dan puluhan bantal mengililinginya. Para orang tua akan memujii kecantikan Leila dan ketika musik terdengar, Leila akan menari bersama keluarganya dengan tarian arabic style demi menghormati adat istiadat dan menjalin keakraban antar keluarga. Pakaian yang indah-indah, musik yang meriah menjadi pemandangan yang sangat indah untuk diabadikan.             Sementara Abdul di kediamannya berada di dalam masjid, mengaji sepanjang malam dan berzikir berdoa. Dia memejamkan matanya dan diam sejenak. Dia menatap mimbar yang kosong dan berucap lirih. “Apakah ini jalan yang terbaik dariMu, Ya Allah?” Abdul bertanya samar namun di dalam hatinya dia tak ingin lagi mempertanyakan apa yang sudah ditetapkan.             “Assalamu’alikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Pangeran. Saya akan mengumandangkan adzan subuh.” Seorang muadzin yang selama ini dipercaya oleh Abdul melangkah memasuki masjid.             Abdul menoleh dan bangkit berdiri. Dia memberi jalan bagi pria yang mengenakan kondura putih bersih dan sorban berwarna cerah. “Silakan.” Abdul kembali duduk di barisan belakang dan melihat bagaimana sang pria mulai menaiki tangga masjid menuju atas masjid di mana terdapat pengeras suara untuk mengumandangkan adzan.             Abdul memejamkan matanya sejenak sebelum bangkit untuk mengambil wudhu. Semua yang berada di kediamannnya mulai memenuhi masjid dan dia berada di antara mereka. Ketika shalat subuh usai, Abdul masih berada di dalam masjid hingga disadarinya kehadiran Bahir di dalam masjid.             “Sudah waktunya, Tuanku Pangera. Saatnya anda bersiap. Pakaian anda sudah tersedia.”             Abdul bangkit dari duduknya dan tersenyum pada Bahir. Dia melangkah pelan menuju pintu keluar masjid di mana Ummu Salma sudah menantinya. Sinar mata tajam yang berbinar di balik cadar itu tampak tersenyum pada Abdul.             “Sudah waktunya, anakku.”             Sejenak Abdul terdiam dan kemudian dia melangkah mantap. Dia berpakaian dengan pakaian terbaiknya sebagai pangeran, memakai jubah yang sejuk di tubuhnya yang besar tinggi. Duduk dengan tenang di limousinnya menuju kediaman Mustafa El Baraq di mana pengantinnya menunggunya.             Dia disambut dengan doa dan nyanyian khas Arab, di mana kediaman megah sang penasihat raja itu telah padat oleh undangan dan masyarakat yang ingin menyaksikan akad nikahnya di depan gerbang. Beberapa reporter meliputi pernikahan megah yang dilaksanakan kedua mempelai bahkan Raja dan Ratu berserta anak-anaknya menjadi tamu kehormatan.             Akad nikah berjalan lancar tanpa hambatan, mempelai wanita muncul dengan kecantikannya di balik cadarnya yang sangat indah, duduk berdampingan bersama mempelai pria yang sama indahnya. Keduanya bagai jelmaan lukisan nyata. Semua mata memandang dengan terpesona dan kagum.             Pernikahan itu berlangsung sepanjang malam dan saat setelah telah usai, hanya tinggal Abdul dan Leila di kamar pengantin mereka yang indah dan harum. Keduanya hanya saling berpandangan dan Leila menunduk.             Jantung Leila ditatap demikian intens oleh tunangannya sejak kecil yang kini telah menjadi suaminya. Dia tahu bahwa pernikahan mereka sudah diatur oleh orangtua mereka namun Leila amat mencintai Abdul bahkan saat dia masih kanak-kanak. Mendapatkan Abdul hingga menjadi suaminya butuh perjuangan besar dari tangan seorang gadis Rusia yang mempesona.             “Leila...”             Leila mengangkat wajahnya dan menahan napas ketika dengan perlahan Abdul melepas cadar yang selama ini menutupi wajah Leila. Kain yang berjuntai bebatuan itu jatuh begitu saja di lantai dan sejenak Abdul harus mengakui betapa cantiknya Leila. Seingatnya terakhir kali dia melihat wajah Leila adalah ketika wanita itu berusia 9 tahun sejak itu Leila sudah mengenakan cadar.             Sebagai pria normal, Abdul merasakan gairah hebat terhadap isterinya. Dia menunduk dan mencium pelan bibir Leila yang bergetar. Meski demikian hatinya terasa demikian sakit saat memikirkan Margo yang kini telah jauh dari jangkauannya. Namun Leila berhak mendapatkan haknya sebagai isteri sahnya meski untuk urusan hati, Abdul mencintai Margo.             Abdul melepas penutup terakhir di tubuh Leila, demikian pula pakaiannya. Dia membawa Leila ke ranjang pengantin mereka. Abdul berjuang keras mengenyahkan bayangan Margo dari benaknya ketika mencumbu Leila, namun dia berulang kali memohon ampun pada Tuhannya, bahwa hingga akhir, dia tak sanggup melupakan Margo. Gadis itu cinta pertamanya.   *****             Kazan, Rusia.             Margo duduk mencakung di sofa lembut satu-satunya di kamarnya dengan sepasang mata hijau turkoisnya yang menatap lekat pada layar televisinya. Sebuah berita pernikahan salah satu pangeran yang berada di Dubai menjadi berita terhangat sepanjang hari itu. Dia bisa menyaksikan secara langsung ketampanan sang Pangeran yang mengucapkan ijab qabul tanpa kesalahan dan tegas. Ketika para saksi mengucupkan Alhamdulillah, saat itulah airmata Margo mengalir deras. Dia memeluk lututnya dan membiarkan dirinya terguncang oleh airmata patah hati.             Bahkan Margo membiarkan dirinya bagai zombi yang berkeliaran di tengah malam dan akan menyembunyikan dirinya di kamarnya selama matahari bersinar. Kedua orangtuanya tidak berkata apa-apa dan Dimitri serta Fateeyah pun melakukan hal yang sama. Margo hanya bisa menatap langit-langit kamarnya sepanjang hari, merasakan kehampaan luar biasa di hatinya.             Kalimat lembut Fateeyah di balik pintu kamarnya menyadarkannya akan gelombang kesedihannya. “Margo, aku sudah mendekati kelahiran. Apakah kau mau menginap di rumah mempersiapkan kamar bayi? Aku butuh bantuanmu. Perut ini seakan ingin meledak.”             Saat itulah Margo tersadar dari keegoisan dirinya akibat rasa sedihnya akan cintanya yang kandas pada Pangeran Abdul. Dia bangkit dari keterpukannya saat mendengar akan segera lahir nyawa baru ke dunia. Dia membuka pintu kamarnya dan melihat Fateeyah yang cantik dengan perutnya yang membulat besar, tersenyum keibuan padanya bersama Dimitri yang memegang bahunya.             “Ayo, ikutlah ke rumahku. Lupakan kesedihanmu dan bantulah aku.” Fateeyah meraih wajah Margo yang memerah menahan tangis. Dia merangkul iparnya yang rapuh dan membawa wajah cantik itu ke dadanya. “Oh, Margo sayang. Dunia takkan runtuh meski kau menangis darah sekalipun. Serahkanlah semuanya pada Allah, maka kau akan lebih tegar.”             Margo bertekad untuk tidak menangis lagi, namun ucapan Fateeyah meruntuhkan niatnya. Sekali lagi dia menagis di d**a iparnya dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa inilah terakhir kali dia menangisi dirinya yang lemah.   ****             Salman adalah bayi laki-laki paling tampan yang pernah dilihat oleh Margo. Bayi itu sangat indah dengan rambut pirangnya yang halus dengan wajah khas arabnya yang tampan. Dia memegang ujung jari bayi merah itu dan seakan adzan yang dikumandangkan Dimitri di telinga mungil itu seakan terdengar di telinga Margo. Dia menatap Salman yang tampak aman di d**a Ibunya. Dia sudah memutuskan dan takkan pernah ragu lagi apa yang kini dipilihnya.             Hari itu juga Margo mengucapkan keimanannya pada Islam. Dia melakukannya atas panggilan hatinya dan menjalankan semuanya dengan ringan. Hatinya lebih lapang dan seperti segalanya dimudahkan, dia mendapatkan pekerjaannya kembali sebagai seorang fotografer di majalah Fashion khusus Rusia. Tanpa terasa setahun telah lewat dan Margo telah mampu berdamai dengan hatinya yang terluka oleh cinta. Hingga sebuah takdir kembali membawanya kembali pada cintanya.   *****             Setahun pernikahan yang dilalui Abdul dan Leila tanpa seorang anak. Leila belum mampu mengandung meski sudah berbagai cara dilakukan. Namun belum ada tanda-tanda bahwa dirinya akan mengandung benih Abdul dan itu membuat dia kerap kali menangis. Baginya memiliki keturanan adalah sebagai penguat bagi posisinya. Dia mendengar beberapa percakapan sembunyi-sembunyi bahwa suaminya akan mengambil seorang wanita lain sebagai isteri.             Leila mengungkapkan kecemasan hatinya pada saat Abdul usai shalat. “Apakah benar bahwa kau akan mengambil isteri lain? Karena aku belum mampu memberimu keturunan?” Leila memegang ujung lengan baju Abdul. “Katakan bahwa rumor itu tidak benar, suamiku.”             Abdul menggenggam tangan Leila dan menatap isterinya dengan lembut. “Karena kau sudah membukanya, aku akan berbicara terus terang padamu, Leila. Ini bukan masalah kau mampu atau belum memberiku keturunan, ini lebih pada isi hatiku sebagai seorang suami. Aku tak ingin mengkhianatimu dengan memikirkan wanita lain di saat aku membangun rumah tangga bersama.”             Leila terdiam, tiba-tiba takut mendengar kelanjutan kalimat Abdul. “Aku tidak ingin mendengarnya,” dia menggelengkan kepalanya namun genggaman tangan Abdul terasa lebih erat.             “Aku ingin meminta ijinmu untuk mengambil Margosha sebagai isteriku, Leila. Aku tak ingin membohongi hatiku terutama dirimu sebagai isteriku. Aku mencintai Margo dan aku akan berlaku adil.”             “Tak ada cinta yang adil!” Leila nyaris berteriak. Dia menatap mata pekat suaminya dengan linangan airmatanya. “Tak ada cinta yang adil di dunia ini! Tak ada cinta yang ingin dibagi-bagi! Baik diriku maupun Nona Margo! Kau takkan mampu berlaku adil, suamiku.”             Abdul menatap Leila dengan lekat. “Aku bersumpah akan berlaku adil padamu dan Margo, Leila. Baik dalam hal nafkah dan ranjang.”             Tangis Leila semakin menjadi. Bahkan ketika dia meminta bantuan Ummu Salma, sekeras apapun mertuanya menentang keinginan Abdul meminang Margo, mereka tak berkutik ketika raja sendiri yang memberi Abdul ijin untuk mengambil Margo sebagai isteri di samping Leila. Kondisi Leila yang belum mengandunglah menjadi hal utama Abdul diijinkan menikah lagi.             Maka ketika Abdul berangkat ke Kazan dengan rombongannya untuk melamar Margo, Leila nyaris menghabiskan seluruh airmatanya di kamar mereka.   *****             “Mengapa anda ada di Kazan?” tanya Margo ketus.             “Menjemputmu.” Abdul tersenyum lembut pada Margo.             Margo mundur selangkah dan tidak mengerti maksud kalimat pria itu. “Apa maksudmu, Pangeran?”             Sekali lagi senyum bermain di bibir Abdul yang bagus. “Menjemputmu dan melamarmu, Margosha.” Margo tertegun dan menatap Abdul dengan tidak percaya. Pria itu membalas tatapan Margo.             “Jadilah isteriku, Margo.” Abdul berkata lembut. “Taman mawarku menunggumu.” Margo menatap wajah tampan yang selalu menemani segala mimpinya dalam tahun yang membuatnya pilu direjam oleh rasa rindu yang tak sanggup memiliki. Kini pemilik mata pekat itu datang ke hadapannya, menawarkan cintanya padanya. Sanggupkah kali ini dia lari? Sanggupkah dia melupakan cintanya pada Abdul? Abdul maju selangkah, memeluk Margo dalam tatapannya yang sedalam lautan dan sehangat matahari. Sekali lagi gadis itu mendengar suaranya yang lembut.              “Jadilah isteriku, Margo.” Margo memejamkan matanya. Saat dia membuka kembali matanya, wajahn tampan yang dikasahinya masih ada di depannya. Margo menggerakkan bibirnya dalam satu kata pasti. “Ya. Aku bersedia menjadi isterimu, bersama Puteri Leila di sampingmu.” Margo telah siap dengan segala konsekuensinya saat bersedia menerima lamaran Abdul, itu artinya dia menjadi isteri kedua sang Pangeran. Mungkin inilah yang disebut takdir. Abdul tersenyum dan tampak Bahir melangkah mendekat. Pria bertubuh besar itu meletakkan sebuah tempat berbentuk segi empat, menatap Margo dan kedua orangtua gadis itu. “Ini adalah mahar dari Pangeran Abdul. Beberapa batang emas, uang tunai dan cincin kawin.” “Dan akan kutambahkan seperangkat alat shalat untukmu.” Abdul menyela kalimat Bahir. “Kulihat kau telah sama sepertiku, Margo.” dia tersenyum.             Margo tersenyum dan menyentuh kain tipis yang terletak manis di puncak kepalanya. “Ya, sudah setahun.” Dia menatap ayah dan ibunya yang tampak hanya bisa terdiam. “Dad, tidak masalah jika aku menikahi Pangeran Abdul.”             Zhek Ivanof lebih tegar dibanding isterinya, Anastasia, yang tampak shock. “Aku takkan melarangmu, sayang. Sama ketika kau memutuskan menjadi kau yang sekarang.”             Margo melintasi ruangan dan mengecup pipi Ayahnya. “Terimakasih, Dad.” Lalu pada Ibunya, dia mengecup dahi wanitu yang melahirkannya itu. “Jangan khawatirkan aku, Mom. Aku akan kuat.”             Margo memutar tubuhnya, menatap Abdul yang menanti dengan sabar. “Apa yang akan kulakukan sekarang?”             “Penghulu dan para saksi sudah menunggu di Masjid Qulsharif bersama Ayahku dan Pangeran Mahkota termasuk pejabat negara yang akan mencatat pernikahan kita. Pesta lainnya telah menunggumu di Dubai. Kau bukan menjadi selirku, Margo. Tapi kau adalah isteri sahku, sama seperti Leila.”             Margo merasa bahwa punggungnya didorong Dimitri. Dia menatap kakaknya dan mendapati senyum di wajah tampannya. “Bersiaplah. Bahkan calon suamimu sudah mempersiapkan wanita yang akan mendandanimu.”             Dimitri menatap Zhek. “Aku akan menjadi wali bagi Margo, Dad.” Dan dia melihat ayahnya mengangguk dengan lapang d**a.             Margo tahu bahwa ayahnya tak bisa menjadi wali nikahnya kerena perbedaan mereka dan Dimitrilah yang akan menjadi walinya. Itu sudah ditetapkan dan ketika dia menatap Abdul, Margo juga menyadari bahwa jalan hidupnya telah berubah sejak hari itu.                  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN