DUA

2757 Kata
Tak ada yang bisa dikatakan Margo selain menyanggupi pengakuan cinta Abdul dengan jawaban pasti "YA". Dia mencintai pria itu meski apapun yang terjadi. Walau beribu jarum menusuk tubuhnya sekalipun, dia selalu bersedia di sisi Abdul. Ketika Abdul dan Bahir undur diri kembali ke hotel bersama semua pria berkondura itu, Margo mendapati Ibunya memalingkan wajahnya. Dia menelan ludah dan merasa telah menyakiti hati Ibunya untuk kesekian kalinya. Dia menatap puluhan kotak berbungkus indah memenuhi lantai rumah Dimitri dan dia mendekati Ibunya yang memilih membelakanginya. "Mom...." dia mencoba menyentuh lengan ibunya, namun wanita tua itu menepis tangannya berikut suaranya yang bergetar penuh emosi. "Jangan katakan apapun! Lakukan saja apa maumu! Kau tak perlu bertanya apapun padaku!" Margo berdiri terpaku, dia menarik lengannya perlahan dan menatap sedih pada kedua bahu ibunya terguncang oleh tangis tertahan. Ayahnya menatapnya dengan penuh perasaan dan tersenyum. "Persiapkanlah dirimu, sayang. Ibumu butuh waktu untuk mencerna ini semua." Zhek meremas pelan bahu Anastasia, memeluknya dengan lembut dan membiarkan isterinya menyusupkan wajahnya di dadanya. "Dad akan membawa Mom pulang dulu." "Dad..." Margo menahan airmatanya yang siap runtuh. Dia mencoba meraih lengan ibunya, namun ayahnya telah membawa wanita itu menuju pintu keluar. Sekejabpun Ibunya tak menatap wajahnya yang pias. Zhek menatap wajah sendu Margo dan berkata dengan ceria. "Jangan khawatir, Dad dan Mom akan menyaksikan pernikahanmu besok. Tapi berilah waktu bagi ibunya untuk menjernihkan pikirannya. Kau tidak keberatan kan, sayang?" Margo merasakan pegangan halus Dimitri pada kedua bahunya. Dia tersenyum pada Ayahnya dan menggangguk. "Istirahatlah, Mom..." dia berkata lirih pada Ibunya yang hanya diam saja. Hanya anggukan kepala ayahnya yang menjadi jawabannya. Dia menatap kedua orangtuanya memasuki mobil dan berlalu dari pandangannya. Dimitri dan Fateeyah menatap Margo yang berdiri diam menatap jalanan yang tampak ramai oleh suasana Idul Fitri. Pria itu menghembuskan napasnya dan memeluk bahu adiknya. Dia mendengar gumamam pelan suara adiknya. "Apakah Mom membenciku?" Margo menatap Dimitri. Dimitri membalas tatapan Margo dan mengusap aliran airmata gadis itu yang mengalir pelan. "Seorang ibu tak pernah membenci anaknya. Meski harus kuakui, dia mungkin kecewa akan keputusanmu, tapi percayalah dia tak pernah membencimu. Dia pasti mendoakan kebahagiaanmu." Dimitri tersenyum. "Jadi, tersenyumlah. Besok kau akan menikah dan akan segera ke Dubai setelahnya." Margo memegang tangan besar dan hangat Dimitri yang memegang pipinya. Dia tak kuasa menahan airmatanya. "Aku berjanji akan bahagia meski posisiku adalah yang kedua." Dimitri memeluk Margo dan mengecup puncak kepala yang berambut pirang keemasan itu. Memutuskan untuk menjadi isteri kedua bukanlah hal yang mudah. Dia dan Margo tahu bahwa ada hak-hak yang dimiliki Margo takkan bisa sepenuh yang dimiliki isteri pertama. Akan ada hal-hal yang menyebabkan kesedihan dan ketidakadilan di dalamnya. Namun Dimitri berharap bahwa Abdul bisa membahagiakan Margo dan bersikap adil, meski ada keraguan di hati Dimitri. Ketika dia menatap wajah bahagia Margo saat bertemu Abdul, Dimitri menyadari bahwa pria itulah yang akan membahagiakan Margo. "Ini gaun pengantinmu besok! Cantik sekali!" Suara Fateeyah memecah ruang pikiran Dimitri dan Margo. keduanya menatap Fateeyah yang sedang memangku gaun pengantin khas arab yang berwarna putih dan dihiasi batu-batu mulia. Sehelai kain tipis panjang berenda tampak menjadi pelengkap di antara hiasan lain termasuk henna dan make up. Salman tampak tertarik dengan batu-batu yang ada di gaun pengantin itu dan berusaha menariknya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Fateeyah menggoyangkan tangannya dan tersenyum. "Kemarilah. Kau akan menjadi pengantin yang cantik besok. Aku akan mengajarimu menggunakan make up khas arabia." Fateeyah menepuk tampat kosong di sampingnya, meraih Salman agar berada di pangkuannya. Dimitri mendorong punggung Margo dan tertawa pelan. "Sana. Malam ini biarlah kau menginap di sini. Aku akan meminta Dad datang menginap pula." Margo menatap Dimitri. "Tapi jangan paksa Mom. Dia sedang marah padaku." Dimitri mengangguk, dia mendekati Fateeyah dan meraih Salman dalam gendongannya. Dia mencium hidung bangir Salman dan menatap kedua orang wanita yang disayanginya. "Aku dan Salman pergi dulu. Nikmati waktu kalian." Fateeyah menatap Margo yang tampak terpana dengan semua barang yang dipersiapkan Abdul termasuk mahar yang telah tersimpan rapat di kotak kayu berukir yang harum. Dia meletakkan tangannya di atas punggung tangan Margo. "Serahkah semuanya pada Allah." Telapak tangannya bergerak, menekan di antara d**a Margo. "Ikhlaslah dengan apapun yang akan kau jalani nantinya di sana. Kau akan menghadapi kerikil, namun jangan pernah lupa bahwa Allah tak pernah meninggalkanmu." Dan Fateeyah melihat sinar mata Margo menampilkan keyakinan hati yang kokoh. Warnanya yang hijau turkois tampak berkilauan. Dia yakin Margo akan kuat menjalani statusnya yang baru sebagai isteri seorang pangeran bersama isteri lainnya. **** Leila menyaksikan bagaimana kediamannya sedang dihias dengan amat indahnya untuk menyambut isteri baru suaminya. Bahkan Azzah memerintahkan beberapa orang-orang untuk membuka gerbang kecil di taman mawar milik suaminya. Leila tak pernah tahu bahwa di dalam gedung luas itu terdapat sebuah taman mawar yang amat indahnya yang selama ini ditutupi gerbang kecil berukir. Dia berjalan berkeliling tiap ruang di gedung itu dan melihat keindahan yang semakin nyata, kesibukan para wanita yang membersihkan kamar pengantin di bagian barat gedung, yang terhubung langsung ke taman mawar, memenuhi lemarinya dengan tumpukan kain-kain dan pakaian indah serta perhiasan. Alat-alat rias nyaris tak ada habisnya dan harum dupa beraroma mawar memenuhi kamar tersebut dan separuh gedung. Suaminya benar-benar mempersiapkan segalanya untuk wanita yang akan muncul tak lama lagi. Hati Leila terasa tertusuk oleh rasa pedih. Dia tahu bahwa Abdulpun memenuhi kebutuhannya sebaik dan semewah yang dilakukannya sekarang. Namun membayangkan dia akan berbagi cinta dan pelukan suaminya sungguh tak terbayangkan. Leila membawa langkahnya ke sebuah ruangan yang tampak tak terlalu sibuk, yaitu ruang di mana Abdul biasa membaca Al Quran dan di sanalah dia duduk di antara bantal-bantal yang menumpuk. Dia menatap ruangan itu dan mengelus perutnya yang rata, menyesali rahimnya yang kosong. Menyesali mengapa wanita bernama Margo muncul di kehidupannya bersama Abdul. Leila mencengkram permukaan bantal dan membiarkan airmatanya jatuh di sana, melunturkan riasan matanya yang indah, menembus permukaan cadarnya. "Air sorbet anda, Putri." Suara yang halus muncul di belakang Leila, membuat Leila menghentikan tangisnya dan mengigit bibirnya erat-erat sebelum membalikkan tubuhnya. Dia menatap sosok wanita tua dalam abaya hitam dan cadarnya yang berwarna senada. Di tangannya yang berkeriput berada sebuah nampan berkilau yang di atasnya terletak sebuah cawan perak berisi cairan merah yang harum, air sorbet. Leila mengulurkan tangannya dan meminta air minumnya, membuat wanita itu menekuk lutut dan menyerahkan cawan sorbet ke tangan sang Nyonya. "Terima kasih, Sayyidah Ruminah." Wanita bernama Ruminah itu tersenyum melalui cadarnya dan sepasang mata hitamnya tampak menatap tajam pada Leila. "Anda bersedih karena suami anda akan membawa isteri lainnya di samping anda, Putri?" Leila terdiam dan menyesap sorbetnya dan dia membalas tatapan mata Ruminah dengan sama tajamnya. Dia menatap wanita tua itu dengan tidak senang. "Kau tak berhak berkata demikian padaku! Pergilah!" dia berkata ketus dan memalingkan wajahnya. "Terima kasih atas sorbetnya." Ruminah masih bersimpuh di samping Leila dan berkata lirih. "Saya bersedia berada di samping anda dan memantau semua apa yang dilakukan isteri kedua pangeran. Saya akan menjadi mata anda untuk menemukan kelemahannya yang membuat anda takkan kehilangan cinta suami anda." Leila meletakkan cawan sorbetnya dengan kasar di lantai dan menatap Ruminah dengan setengah marah dan kaget. "Kau! Beraninya kau berkata demikian!" Ruminah memegang lengan Leila dengan penuh hormat, dia memiringkan kepalanya dan menatap wajah Leila yang memerah dengan bola matanya yang hitam tajam. "Saya merasa kasihan pada anda. Andai anda memiliki anak, kedudukan anda akan terjamin. Oleh karena itu saya akan berada di samping anda." Dia melepaskan tangannya dari lengan sang putri, beringsut menjauh dan mengangkat tubuhnya. "Anda bisa menghubungi saya kapan saja." Ruminah mengucapkan salam dan membalikkan tubuhnya tanpa menanti salam balasan dari Leila. Leila mengucapkan salam balasan bagi Ruminah dan dia terpekur akan kalimat wanita tua itu. Dia dapat memastikan bahwa di kediamannya maupun di kalangan bangsawan akan terpecah menjadi dua kubu. Akan ada barisan yang mendukungnya dan barisan lainnya yang mendukung sang isteri kedua. Leila tak pernah khawatir akan kedudukannya, pendukung terkuat berada di sampingnya, Ummu Salma tak pernah menyetujui pernikahan kedua Abdul, meski ayah mertuanya mendukung sepenuhnya. Tapi Leila membutuhkan dukungan yang lebih banyak dan tampaknya Ruminah mempunyai kemampuan untuk hal itu. Leila bangkit dari duduknya, menatap pemandangan sore yang indah dari jendela terbuka ruangan itu. Tatapan matanya mengeras dan dia sudah memutuskan akan menyambut kedatangan madunya dengan tangan terbuka. ***** Sebuah pernikahan Islam besar-besaran akan dilaksanakan di Masjid Qusharif menarik perhatian masyarakat Kazan pagi itu. Tampak deretan mobil mewah terparkir di halaman luas masjid tersebut berikut para pria Arab yang terlihat berdiri di sekeliling masjid. Para wanitanya berada di dalam masjid menanti sang pengantin wanita tiba bersama Bahir sementara sang pengantin pria masih berada di hotel. Beberapa wanita yang menjadi penata rias pengantian wanita tampak puas menatap hasil riasannya yang sempurna pada pengantin wanita yang amat cantik dalam gaun pengantinnya yang indah. Gaun pengantin khas Arabia yang berwarna putih bersih yang dihiasi batu-batu mulia di sekelilingnya tampak sempurna di tubuh ramping sang pengantin. Seluruh permukaan tangan dan jemari langsing sang pengantin terlihat indah dengan lukisan henna begitu juga sepasang kaki yang berkulit putih itu. Kain tipis berenda tersemat anggun di atas puncak kepala yang berambut pirang keemasan yang saat itu sengaja digerai membentang di punggung ramping sang pengantin. Sepasang mata hijau turkois itu terlihat semakin berbinar akibat riasan mata khas Arab serta seluruh tubuh itu harum semerbak. Fateeyah menatap kagum pada kecantikan Margo yang demikian memukau. Adik iparnya itu tampak menunduk dan memejamkan matanya. Gadis itu berdoa tak henti sejak dimulainya dirinya dipersiapkan para wanita tersebut. Fateeyah menyerahkan Salman pada wanita pengasuh dan berjalan mendekati Margo. "Kau cantik sekali." Dia memegang bahu Margo dan merasakan getaran kecil di sana. "Apakah Mom datang?" Margo berkata nyaris berbisik. Dia menangkupkan tangannya di atas pangkuannya, merasakan betapa lembutnya permukaan gaunnya. Anastasia Ivanov belum datang bahkan setelah suaminya menjemputnya dan kembali dengan gelengan kepala. Fateeyah tak ingin membuat Margo menjadi bimbang dan dia mengelus kedua bahu sang adik ipar dengan penuh kasih sayang. "Ibumu akan menyusul. Jadi tenangkanlah dirimu, sayang." Fateeyah tak ingin menangis di hari bahagia Margo dan memilih menjadi penguat gadis itu dengan ketegarannya. Dia tak bisa menyalahkan rasa kecewa yang mendera ibu mertuanya. Dia sendiri tahu bagaimana situasi yang akan dihadapi Margo kelak. Meski Ibunya adalah istri utama ayahnya, tidak mudah bagi Ibunya menerima para isteri ayahnya yang lain. Dan satu-satunya yang bertahan di sisi ayah dan mampu menghadapi Ibunya hanyalah Ibu dari Fatimah. Namun dia juga tahu bagaimana perjuangan Ibu tirinya tersebut agar diterima oleh Ibunya serta lingkungan yang ada di sekitarnya. Margo menatap wajah Fateeyah dan dia tersenyum tipis. Dia memegang tangan kakak iparnya yang terletak di bahunya. "Terimakasih atas dukunganmu, Fateeyah." "Nona, Tuan Bahir sudah menjemput anda." Margo dan Fateeyah saling berpandangan. Margo menghembuskan napasnya dan bangkit berdiri. Seorang wanita membantu Margo melangkah bersama gaun pengantinnya yang berat dan menuntunnya menuju keluar kamar bersama Fateeyah yang berada di belakangnya. Margo melihat sosok Bahir yang besar tinggi bersama kakaknya dan para pria lainnya yang bertugas mengawal Margo. Dia bisa melihat tarikan napas Bahir dan juga para pria lainnya yang segera menundukkan pandangan ketika Margo muncul. "Kami menjemput anda, Putri." Terdengar napas Fateeyah yang tercekat bahkan Margo merasa jantungnya berdegup tegang. Dia sudah menjadi seorang putri bahkan sebelum menjadi isteri sang pangeran. Dan para pria di hadapannya menunduk hormat padanya dan tiba-tiba rasa gentar melanda Margo. Sebuah tangan hangat menggenggam Margo, meremasnya lembut. Suara Fateeyah terdengar halus. "Ayo. Tarik napasmu dan berjalanlah dengan pasti. Masa depan sudah terbentang di depanmu, Margo. Tak ada lagi kata mundur dan yang kau lakukan adalah menjalaninya." Margo menghembuskan napasnya, menegakkan punggungnya dan melangkah perlahan menuju pintu keluar rumah kakaknya. "Terimakasih, Tuan Bahir." ***** Abdul memakai pakaian pernikahannnya di kamar hotel dan menatap wajahnya di cermin. Di punggungnya yang lebar tampak beberapa garis memanjang bekas cambukan yang diterimanya setahun yang lalu oleh Ibunya. Hingga kini kadang dia masih merasakan denyutan nyeri dari bekas luka tersebut dan Abdul tak pernah mau untuk menghapusnya meski dunia kedokteran sudah amat maju. Abdul akan membiarkan bekas luka itu selamanya tertinggal di punggungnya, itulah bukti cintanya pada Margo. Dia mengancingkan pakaiannya yang berupa kondura panjang berwarna putih. Seorang pria Arab tampak memasangkan jubah hitam bersulam emas di tubuh tegap Abdul sementara yang lain mengatur dengan rapi serban yang melilit di atas kepala sang pangeran, melindungi rambut hitam pekat itu. "Pengantin sudah tiba di Qulsharif, Pangeran." Abdul membalikkan tubuhnya dan wajahnya yang amat tampan itu terlihat begitu bersih dan tenang. Dia tersenyum dan melangkah tegap menuju pintu keluar. ***** Sheikh Mohammed Abdul Jabbar berserta beberapa petinggi istana tampak duduk tenang di lantai masjid sebagai saksi pernikahan puteranya. Dia menatap Pangeran Mahkota yang duduk sama tenangnya di sampingnya dan memberikan seluruh waktunya demi menghadiri pernikahan sepupunya. Masjid yang besar dan luas itu tampak dipenuhi para kerabat dan sahabat Pangeran Abdul dan keluarga Ivanov. Zhek Ivanov terlihat duduk tegang di barisan depan dan menatap Dimitri yang sangat tenang di dekat penghulu sebagai wali Margo. Dia berharap isterinya mengubah pikirannya di detik-detik terakhir sebelum pernikahan dimulai. Terdengar suara doa menyambut kedatangan pengantin pria di undakan masjid, memancing semua mata memandang dan terdengar seruan para wanita ketika Pangeran Abdul memasuki masjid dengan parasnya yang tampan dan tubuhnya yang gagah. Bahkan Zhek sendiri terpukau dengan calon menantunya itu dan saat itulah dia mengenali sosok wanita berambut pirang yang duduk di antara tamu wanita. Zhek tersenyum penuh syukur saat tatapannya bertemu dengan tatapan isterinya. Anastasia mengusap ujung matanya dengan saputangan dan mengangguk menenangkan. Zhek menggerakkan bibirnya tampak suara. "Terimakasih, sayang." ***** Ketika Abdul duduk di depan penghulu, wali dan para saksi, segalanya yang ada di masjid itu sunyi senyap. Tak ada lagi suara-suara yang terdengar selain suara seorang wanita yang membaca lantunan ayat Al Quran yang merdu dan syahdu. Ketika bacaan berakhir, sang penghulu menatap Abdul dengan senyum dan memulai acara akad nikah yang sakral. Setelah membaca doa sebagai pembukaan, tangan sang penghulu yang kokoh menggenggam erat tangan Abdul yang sama kokohnya. Tatapan tajam pria tua itu tertuju lekat pada sepasang mata pekat yang tenang dan penuh keyakinan tersebut. Pria itu tersenyum dan mengalihkan pandangannya pada sosok pria berambut pirang yang duduk di dekatnya, yang memiliki sikap tenang yang sama seperti sang Pangeran. "Bismillahirrahmanirrahim...."pria tua itu memulai ucapannya. **** Keberangkatan ke Dubai direncanakan keesokan harinya. Setelah acara pernikahan tersebut, hampir seluruh keluarga Al Jabbar menikmati wisata singkat di Kazan dan memutuskan akan kembali ke Dubai bersama pangeran dan puteri Azarine. Sheikh Mohammed Abdul Jabbar dan putera Mahkota memilih kembali ke Dubai setelah shalat Isya. Kini, malam itu hanya ada Margo dan Abdul di kamar pengantin mereka yang telah disiapkan di hotel mewah di Kazan. Suasana kamar itu dihias layaknya kamar pengantin Arab seharusnya dan Margo mendapati bahwa pesta pernikahan mereka akan digelar kembali secara besar-besaran di Dubai. Menyadari bahwa kini hanya ada mereka berdua, Margo duduk di tepi ranjang dengan jantung berdebar, menatap seputar kamar dan mendengar suara air mengalir di kamar mandi. Dia meremas tangannya dan tak sanggup membayangkan malam pertama yang akan dilaluinya bersama Abdul. apa yang harus kulakukan? Suara pintu kamar mandi dibuka nyaris membuat Margo terlonjak kaget dan berseru. "Ya Allah!" dia terpaku saat melihat sosok yang berdiri di depannya. Abdul tampak hanya melilitkan handuk di seputar pinggangnya dan tubuhnya yang lebar dan berotot terpampang jelas. Titik-titik air membasahi ujung ramput pekat itu serta bulu-bulu mengikal di seputar d**a yang padat dan keras itu. otot-otot d**a dan perut Abdul tercetak sempurna yang membuat sepasang pipi Margo merona. Dia tak pernah melihat Abdul dalam keadaan demikian dan baru menyadari bahwa pria itu memiliki bentuk tubuh yang amat indah. Abdul menyadari bahwa ini adalah yang pertama bagi Margo. Dia berjalan mendekati Margo dan berlutut di tepi ranjang. Dia menyentuh dagu isterinya dan meminta agar menatapnya. sepasang mata hijau turkois itu tampak menatapnya dengan berbagai makna yang tak sanggup dimaknai Abdul. Dia tersenyum saat menemukan tatapan cinta di sana. "Jangan takut. Aku dan kau kini bersama," bisik Abdul lirih, menarik wajah Margo mendekati wajahnya. Dia bisa menghirup aroma harum tubuh Margo yang dirindukannya. Abdul menempelkan bibirnya di atas bibir Margo yang bergetar, mengusapnya lambat agar isterinya merasa rileks. Tangannya yang berada di dagu Margo, bergerak perlahan mengusap tengkuk jenjang itu. Dia menyesap bibir Margo dan mendesah mendengar suara lirih isterinya ketika membuka separuh bibirnya. Perlahan dan pasti, Abdul membuka bibirnya dan menyusupkan lidahnya ke dalam rongga mulut Margo. Dia merasakan ketegangan melanda tubuh isterinya dan Abdul menggerakkan tangannya yang lain memegang lengan Margo dan melumat bibir tipis itu dengan mesra. Dia mengangkat tubuhnya dan tangannya yang semula di tengkuk Margo bergerak cepat melepas handuknya. Dia mendorong tubuh Margo tanpa melepas ciumannya dan menuntun tangan wanita itu menekan dadanya. Meski canggung, dia merasakan bahwa Margo menyambut ciumannya. Abdul melepas ciumannya dan menuduk menatap wajah Margo di bawahnya. Keduanya terdiam dan dia menyadari bahwa isteri telah melihat tubuh polosnya. Perlahan Abdul menarik lepas gaun tidur tipis Margo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN