bc

Abim

book_age12+
508
IKUTI
2.4K
BACA
city
childhood crush
like
intro-logo
Uraian

Abim itu fanboy ganteng yang pengin taubat, nggak mau dijuluki homo lagi dan mau punya pacar setara dengan Lisa blackpink.

Udah itu aja.

chap-preview
Pratinjau gratis
Chapter 1 | Abimana Prayoga
Kenyamanan berpendar saat empuknya bantal guling terasa menjamahi bawah lutut. Sang tubuh merebah dengan santai di sela dekapan kasur. Jemari lentik pun terlihat lihai menjamahi permukaan benda pipih di genggaman. Keheningan mendekap seiring dengan aroma petrichor yang menelusup di indera penciuman melalui jendela samping. Remaja tadi bernama Abim. Laki-laki berperawakan kurus tinggi dengan hiasan alis tak terlalu tebal juga lesung di kedua pipi. Bukan hanya itu, Abim juga memiliki aset hidung mancung juga bibir lumayan tebal berisi yang selalu ia jaga sekuat tenaga. Tak dapat Abim pungkiri, Tuhan cukup banyak memberinya kelebihan dari segi fisik. Terlebih, dengan predikat anak tunggal yang ia sandang, remaja itu tumbuh dengan rasa bebas akan melakukan apapun yang ia mau. Termasuk menjadi remaja penggemar Bangtan Boys. Yah, Abim adalah seorang Fanboy, julukan bagi segelintir laki-laki penyuka boyband ataupun girlband dari negeri tetangga. Kesukaan yang harusnya hanya menempel pada kaum hawa itu nyatanya juga melekat dalam diri Abim. Di mulai dari keisengannya membuka salah satu video di sosial media yang terlihat menarik hingga fokusnya ditarik untuk menjamahi video-video sejenisnya. Remaja itu akhirnya terperangkap dalam pesona ke tujuh laki-laki yang sering disapa ... BTS. Abim sendiri bukan tipikal anak yang suka berteriak heboh kala mendapat notif live dari sang idola atau bahkan berhayal guna memiliki idolanya sebagai kekasih seperti yang banyak orang asumsikan. Remaja itu justru sering frustasi kala banyaknya fitnah yang datang dan menyebutnya sebagai laki-laki tidak normal atau kasarnya, suka sesama jenis. Abim tentu masih normal. Ia jelas suka pada lawan jenis. Terbukti dengan kecintaannya pada Lisa Blackpink, salah satu girlband Korea berbadan jangkung, berbibir tebal dan juga seksi. Skill rap yang selalu keluar dengan lancarnya melalui bibir tebal gadis itu mampu membuat Abim berdecak kagum, mengembangkan benih cinta yang semakin menggila. Tak jarang laki-laki itu berkhayal bahkan memasang wajah Lisa sebagai lockscrren ponselnya, benar-benar remaja yang suka berhalusinasi. Awalnya remaja itu menyangkal pernyataan yang mengatakan bahwa dirinya adalah seorang fanboy. Bagi Abim, ia hanya seorang penikmat drama Korea ber-genre kerajaan juga penikmat karya-karya hebat BTS. Tapi nyatanya, makin hari candunya makin menggila, waktu bermainnya di luar mulai berkurang, banyak waktu yang sering ia habiskan hanya untuk berdiam diri di kamar sembari menatap layar benda pipih kepunyaannya. Sejak saat itu, Abim sadar, ia sudah masuk cukup jauh dalam dunia k-pop. Dan agaknya, predikat fanboy memang pantas ia sandang. "Astaghfirullah, Abim! Masih pagi! Belum mandi, belum apa-apa, kamu enggak salat subuh lagi 'kan?" Remaja yang masih mengenakan kaos oblong hitam lengkap dengan celana boxer pendek itu nyaris saja mengumpat kala sang ponsel jatuh dengan tak elitnya mengenai wajah. Sentakan dari suara cempreng wanita berhijab yang tiba-tiba masuk tanpa permisi itu seolah menjadi alat kejut dahsyat baginya. "Astaghfirullah, ketuk pintu dulu, Ma. Kebiasaan mama mah buat anaknya kaget," ucapnya dengan sarat kekesalan yang kentara. "Halah, diketuk pun pasti kamu nggak bakal sadar. Lama-lama 'kan mata kamu rusak pagi-pagi udah mantengin ponsel gitu. Gak subuhan 'kan kamu?" Remaja itu menoleh, menggeleng sembari mengulas senyum bodoh. "Hehe, ketiduran, Ma. Ini aja baru bangun." "Kamu tuh ya, Korea mulu, ponsel mulu, rebahan mulu, kapan hidup normalnya 'sih! Mama takut kamu gila karena si Tae-Tae itu, Tae apa juga mama lupa." Tak ada jawaban. Ujaran jengah wanita berhijab panjang itu mengudara diiringi suara derap langkah Abim menuju sudut ruangan. Abim itu tipikal anak yang malas banyak bicara, apalagi melawan pada orangtua. Selagi bisa ia alihkan pembicaraan dengan candaan, pasti tak pernah ada tanggapan serius yang keluar dari mulutnya guna memangkas kemarahan sang orang tua. Abim hanya sabar, menelan omelan rutin Tyas di pagi hari seperti ini. Jemari panjang Abim terulur mengambil handuk di gantungan dekat kamar mandi lalu mengalungkannya di sisi leher. "Mama nggak capek omelin Abim mulu dengan topik yang sama? Abim aja capek dengernya." "Kalo capek ya berhenti, berhenti buat suka begituan biar mama nggak ngomel lagi. Lagian siapa yang nyuruh kamu suka begituan? Kamu itu cowok, Bim. Gak malu apa sama temen-temen kamu yang suka balapan atau nge-basket? Suka kok kayak cewek aja." Sembari mendumel, Tyas mulai membersihkan kasur yang masih mengeluarkan harum tubuh sang buah hati lalu beranjak membuka tirai jendela dan memberesi segala yang perlu ditata. Abim hanya menghela napas kasar sambil memilah baju yang hendak ia kenakan. Tak ada gunanya melawan wonder women seperti ibunya, karena lelaki itu selalu salah, itu kodratnya. "Kenapa diem?" "Nggak apa-apa." "Nggak apa-apa gimana?" Sekali lagi, Abim mendengkus kecil. "Emang mama mau Abim balapan trus mati tabrakan, main basket trus mati ketimpuk bola? Harusnya mama tuh bangga punya anak yang hobinya cuma rebahan modal kuota doa--" "Udah sana mandi habis itu sarapan bareng di bawah. Bosen mama denger alibi kamu itu-itu mulu." "Astaghfirullah, apa salah dan dosa Abim ya Allah." -  A B I M - Sarapan tersuguh di atas meja. Abim, remaja berumur enam belas tahun itu terlihat anteng dengan mulut penuhnya. Bibirnya bergerak santai guna melumatkan sehelai roti racikan sang ibu. Di sisi kanan, sang ayah terlihat melirik di sela kunyahannya. Mata pria dewasa itu memancarkan ketidaksukaan yang sangat kentara. Ia benci melihat polesan kemerahan yang yang membuat bibir berisi Abim bak bibir seorang gadis. Rambut berponi ala sang idola juga style baju serba kedodoran membuatnya selaku orang tua merasa risih. "Berapa kali papa bilang, jangan pakai gincu kayak gitu, Bim?" Remaja itu terdiam lalu menoleh. "Bukan gincu, Pa. Gincu itu kayak punya mama. Ini namanya lipbalm. Biar bibir Abim nggak kering aja." "Sama aja kayak cewek." "Dih. Tapi ganteng 'kan, Pa? Kayak hyung-hyung Korea, hehe." "Bim, papa serius." Wisnu menatap obsidian Abim lekat, membuat si empunya ciut seketika. Entah mengapa, Wisnu sangat tidak suka lelucon Abim yang menjurus ke idolanya. Bagi Wisnu, itu sangat tidak masuk akal. Tyas selaku satu-satunya wanita yang berada di sana lantas buka suara guna menengahi suasana yang mulai panas. "Udah, ayo sarapan. Nanti pada telat." Baru saja hendak menyuap roti, suara sang ayah kembali terdengar menikam. Abim hanya bisa menunduk menikmati siraman qolbu-nya pagi ini. "Perlu papa copotin poster cewek aneh sama cowok separuh cewek yang menuhin dinding kamar kamu itu? Mau potong uang jajan? Mau sita ponsel atau papa kirim ke Pesantren sekalian?" Abim mendongak, matanya menatap gerak bibir Wisnu saat untaian kata tegas keluar dari sana. Mengapa semua orang begitu tak memahaminya? "Pa, jangan hina ciptaan Tu--" "Abim, papa serius!" Remaja itu tersentak lalu perlahan mulai kembali merunduk menatap makanannya. Matanya enggan membalas tatapan sangar sang ayah sebab ia takut akan kelepasan dan memicu pertengkaran, karena setiap orang juga memiliki opini sendiri untuk dikedepankan. "Bertingkah seolah cewek sampek pajang foto aneh-aneh di kamar, kamu homo?" Lagi-lagi, kata yang sama keluar entah yang keberapa kalinya dari mulut orang disekitar, terlebih lagi kali ini ... ayahnya. Mulut Abim sudah geram ingin memangkas ucapan pria itu, tapi ia cukup tahu akan batasan dirinya. "Pa! Ngomong apa 'sih? Pengin anaknya begitu beneran?" "Ini demi dia, Ma." Ada jeda sejenak sampai pria paruh baya itu kembali membuka suara setelah menghela napas berat. "Papa harap kamu bisa berubah. Kamu udah besar, Bim, papa nggak mau kalau sampai anak semata wayang papa jadi bahan olokan orang karena suka sama hal-hal aneh," tutur Wisnu lebih lembut lalu menyeruput kopinya untuk mengenyahkan emosi. "Mereka nggak aneh, papa aja yang nganggepnya gitu." "Abim, udah, Nak." Tyas sedikit melotot sembari menggeleng. "Terserah kamu." Pria paruh baya berdiri lalu mengambil jas beserta tas yang berada di kursi samping. "Ma, papa berangkat." Tyas berdiri, menyambut tangan sang suami lalu mengecupnya penuh rasa hormat. "Hati-hati, Mas." Suara pintu yang tertutup menjadi penutup kata Tyas dan Abim. Keduanya bungkam dengan kegiatan masing-masing. Tyas dengan beberapa piring kotornya di atas meja sedang Abim dengan segumpal rasa yang membelenggu d**a memikirkan hubungannya dengan sang ayah. Entah sang ayah yang berlebihan, entah ia yang keterlaluan, Abim benar-benar tidak paham. "Jangan suka nge-jawab apalagi nyela ucapan papa, kamu tahu 'kan, papa gimana?" Akhirnya Abim mendongak, menatap raut teduh yang menguar dari wanita yang telah melahirkannya enam belas tahun lalu. "Maafin Abim, Ma." "Nggak papa, mama ngerti. Mama juga nggak masalah kamu milih buat suka itu, cuma mama mohon, jangan terlena dengan dunia itu sampai melupakan kewajiban kamu sebagai ummat muslim. Papa begitu karena beliau sayang kamu, kamu itu anak tunggalnya mama papa, kami ingin yang terbaik buat kamu." "Iya, Ma." Seulas senyum kembali Tyas paparkan. Batinnya sejenak berbangga kala melihat betapa penurutnya sang anak. Tyas bersyukur, ia belum terlalu jauh melepas Abim. Anak itu masih berada dalam jangkauannya. Tyas juga tak mau mengekang si buah hati demi keegoisan semata, ia tahu Abim bukan anak pembangkang yang melakukan hal-hal di luar nalar. "Bantu cuci piring, yuk. Mau?" Abim mendongak lalu memberikan sebuah senyum tipis beserta anggukan kecil. Tyas yang gemas lantas mendekat, menangkup pipi anak itu lalu mengecup dahinya berkali-kali. "Lesungnya ini loh, Bim. Gemess."

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Jodoh Terbaik

read
183.1K
bc

Saklawase (Selamanya)

read
69.6K
bc

You're Still the One

read
119.4K
bc

Rewind Our Time

read
168.6K
bc

Sak Wijining Dino

read
161.9K
bc

The Perfect You

read
297.6K
bc

Daddy Next Door

read
232.3K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook