chapter 11 I Rasa yang tak terbalas

1102 Kata
"Kau tak salah, tapi aku. Aku salah karena membiarkan rasa ini semakin merebak padahal sudah jelas, rasaku takkan pernah terbalas." ••••••• April refleks mengusap hidung bangirnya saat merasakan udara yang ia hirup semakin dingin hingga menusuk tulang bagian dalam hidung. Wanita itu langsung mempercepat langkah kaki kecilnya menyusuri jalan lengang yang berhias kesunyian dan remang lampu kuning di dekat trotoar. Tak ada sekelebat pun rasa takut yang menghampirinya saat berada sendiri di tengah malam yang sangat larut seperti ini. Toh ini sudah menjadi kegiatan rutinnya, alah bisa karna terbiasa, 'kan? Sejenak bibir ranumnya tersenyum sendu, ia naikkan hodie yang ia kenakan guna menutupi kepala dan rambut pendeknya lalu memasukkan tangan ke saku jaket. Tatapannya lurus dengan bunyi tapakan kaki yang menggema santai, pikirnya melayang, kembali mengulang kejadian sore tadi yang entah mengapa mampu menghancurkan mood-nya sampai saat ini. Singkat saja, April tak suka Abim tersenyum untuk orang lain, memberikan gerak tubuh seakan menyukai orang lain dan menatap orang lain dengan tatapan berbeda. Kasarnya, April ingin Abim tak menyukai siapapun. Terlalu egois memang, tapi ia terlalu cinta, ingin memiliki tapi tak bisa. Hanya bisa diam karna kodrat wanita memang menunggu, menunggu kepastian dari para kaum adam. Tak ayal, secantik apapun parasnya, tetap, kodrat wanita itu adalah menunggu. Sebenarnya, gadis bermata hazel itu sudah lama tertarik pada Abim. Semua berawal dari mata indah pria penggila K-pop itu yang tak sengaja bersitatap dengan mata bulatnya saat masa orientasi, lalu perlahan segala tingkahnya mulai menyita perhatian April. Pesona gaya rambut dan style Abim yang meniru para bias-nya itu menjadi sumber semangat April untuk bersekolah. Semua tentang Abim, April tahu, dan semua itu tak lepas dari bakat stalker yang ia miliki. April akan menjadi salah satu dari ribuan followers Abim yang paling antusias jika fanboy ganteng itu mem-posting sesuatu, walau hanya sebatas pameran barang perihal k-pop, April sudah bahagia. April itu sebenarnya juga fangirl, tapi fangirl jadi-jadian. Ia hanya sekedar suka, tak terlalu fanatik karna aktivitas padat yang ia miliki. Lain dengan para fangirl lain yang suka menghabiskan waktu di rumah hanya untuk menonton perihal idolanya atau bahkan mengoleksi barang kecil maupun besar tentang bias, April malah disibukkan dengan sekolah, dance dan kerja malamnya. Mana ada waktu yang tersisa untuk itu, makanya, April cukup tau diri untuk tak terlalu membeberkan bahwa dirinya seorang fangirl. Kembali pada Abim, rasa sukanya yang menggila pada Abim tak luput dari kesukaan mereka yang sama. Belum lagi ketampanan fanboy itu yang mampu menghipnotis mata hazel April, dua lubang yang tersemat di pipinya membuat gadis itu terhanyut, menimbulkan hasrat April untuk masuk ke dalam lubang itu, menyelaminya sedalam mungkin hingga masuk ke hati, menyampaikan bahwa ada rasa yang membuncah tengah menggila di hatinya. Bolehkah April berharap pada Tuhan agar Abim bisa dekat dengannya dan mereka bisa menyandang status pacaran? Gadis itu buru-buru menggeplak kepalanya dengan kuat lalu terkekeh pelan. Lagipula mana mungkin Abim tertarik pada wanita miskin beda kepercayaan sepertinya, pikirnya. April suka saat fanboy ganteng itu tersenyum hingga matanya sedikit menyipit juga lubang kecil yang tersemat indah di kedua pipinya, April suka saat pria yang sudah lama ia stalking itu menatap matanya dengan dalam, April suka semua yang ada dalam diri Abim, semuanya, tanpa terkecuali. Tapi satu salahnya, wanita itu terlalu menarik diri, jadi ia tak punya keberanian yang cukup untuk menunjukkan rasanya. Semua ia tutupi dengan kebungkamannya, ia mensugestikan dirinya untuk berusaha membuat Abim tak sadar bahwa ada rasa yang sudah ia pendam bahkan sebelum lelaki itu sadar akan keberadannya. "Gue cinta banget sama lo, Bim. Tolong, kasih tau gue gimana caranya buat dapetin lo. Gue pengin, walau cuma sekedar senderan di bahu kokoh lo. Pengin banget." ••••••• "Gimana, nyaman sama habitat barunya?" "Mayanlah, pelatihnya cakep." "Wuuiiihh." Gio berseru heboh yang membuat Abim kesal lalu dengan refleks menyumpalkan snack yang tengah ia pegang ke dalam mulut lelaki berotot itu. "Apasih, lebay." "Bukan lebay, gue cuma takjub, ternyata sahabat unyu gue kaga homo beneran," ujar Gio santai lalu kembali sandaran di sofa dengan kaki yang bertengger di meja seperti Abim, tak lupa mulutnya yang bergerak mengunyah snack tadi. "Sorry deh kalo lo marah karna gue keluarin dari tim basket. Lo tau sendiri kan, gue nggak bisa nolak permintaan nyokap lo." Gio membuka suara saat Abim memilih bungkam dengan mata terfokus pada televisi di depan. "Santai. Nggak usah sok nggak enakan gitu." Gio terkekeh lalu kembali mencomot snack dalam toples yang Abim pegang. Mengucap syukur, ternyata mood Abim sedang baik hingga malam ini tak mereka lalui dengan pertengkaran-pertengkaran kecil seperti biasanya. "Gimana tadi, pelatih cakepnya ngajarin lo apa aja? Balet?" "Balet matamui." "Lah, jadi?" "Ngajarin cipokan." "Astaghfirullah akhi." Gio langsung mengusap dadanya lalu beralih mengusap d**a Abim yang terbalut kaos tipis. "Istighfar coba, besok ajakin gue aja lah kalo gitu. Enak aja belajar bedua doang." Abim menghempaskan tangan Gio lalu meletakkan toples snack itu ke atas meja. Menurunkan kakinya lalu menyandarkan diri penuh pada sandaran sofa. Menatap langit-langit ruangan dengan tatapan kosong, tak berniat menanggapi candaan sang sahabat. "Kenapa lo? Ayan?" tanya Gio sembari mengambil alih toples tadi lalu memeluknya dengan posisi bersila. "Jatuh cinta itu gimana sih?" Gio melirik dengan ekor matanya, menghentikan kunyahan lalu menjawab, "Nggak tau. Setiap orang punya cara yang beda buat sadar dia lagi jatuh cinta." Abim masih menatap langit-langit dengan tatapan tak terbaca. Bunyi suara yang keluar dari televisi seakan menjadi pengisi angannya yang kosong. Ia mencoba berpikir keras, apa benar ia sedang jatuh cinta? Setelah putus dari cinta monyetnya saat SMP dulu, kini ia kembali jatuh cinta? "Kenapa emang? Lo lagi suka sama orang?" Abim tak menjawab, masih berusaha bertanya pada dirinya sendiri. Apa benar ia sedang menyukai seseorang? Cinta atau sekedar kagum? "Wey kambeng! Malah ngacangin." Gio yang kesal lantas mengambil remot dan mengganti channel sesuka hati. Untung kedua orang tua Abim sudah tidur dan untungnya lagi Abim itu anak tunggal. Jadi menginap di rumah sebagus ini seakan menjadi sebuah kenikmatan tersendiri bagi lelaki yang memiliki roti sobek di bagian perut seperti Gio. "Gue suka liat noona Lia senyum. Walau tua, tapi buat deg-degan. Mana sholeha, idaman mama pasti." Gio terdiam lalu mengubah atensi, menatap penuh wajah tirus Abim yang menonjolkan rahangnya itu. "Jangan bilang, lo ...." Abim tersenyum lebar lalu menampar pipi Gio yang tengah memasang raut intimidasi. Beranjak bangkit lalu menaiki tangga dengan santai. "Lima menit nggak sampe kamar, pintu gue kunci. Soal tadi jangan bocor!" Gio mengulum senyum, mematikan televisi melalui remot lalu ikut bangkit menuju kamar Abim yang berada di lantai atas. Selama mengenal Abim, ia rasa kesabarannya terlalu banyak diuji. Walau demikian, Gio tak menyangkal bahwa dekat dengan fanboy itu membuat kedewasaan kerap menghampirinya, menjadikannya sosok kakak dan sahabat secara bersamaan. Tbc ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN