chapter 8 | Pembersih vs Penjorok

954 Kata
"Gue nggak nyangka, cinta ini makin berkembang biak sedemikian rupa meski hanya gue yang ngerasa. Lo? Lo diem aja, pura-pura nggak tau sampek cinta gue melebur dan hancur. Karna gue paham, ada kata 'gak mungkin' di antara kita." •••• Kelopaknya bergerak. Perlahan, iris hitam indah itu mulai terlihat, menimbulkan kernyitan tertahan hingga kedua alisnya tegasnya nyaris menyatu. Bak kamera yang kehilangan titik fokus, jemari panjang Abim lantas terangkat mengucek sang mata guna mengembalikan penglihatannya. Kepalanya tertoleh, mendapati seorang wanita tengah tertidur dengan wajah yang hampir tertutup penuh oleh rambut pendek milik wanita itu. Seketika, seulas senyum terbit di bibir Abim, membuat lubang indah tersemat apik di kedua pipinya. Abim akui, wanita yang tertidur dengan posisi menggenggam tangan kanannya itu cukup berlebihan dalam memberikan kode cinta padanya. Sejenak, Abim termenung dengan tatapan yang masih fokus pada wajah damai wanita itu. Sekali lagi Abim akui, April cukup cantik untuk masuk dalam kategori tipenya. Hidung bangir, bibir tebal berisi, pipi mulus chubby, tubuh imut yang terkesan pendek, semua masuk dalam daftar idaman sederhana seorang Abimana Prayoga. Tapi satu salahnya, beda keyakinan. Siapapun pasti bisa mengerti, salah satu rintangan dalam suatu hubungan adalah beda kepercayaan. Memang, Abim ini tipikal anak yang tidak pedulian dengan sekitar, tapi jika sudah menyangkut Tuhan, baginya itu sudah terlalu jauh. Motto Abim itu sebenarnya simple, kalau suka, ya perjuangin sampai dapat, apalagi jika sudah jelas begini bahwa April itu menyukainya. Tapi masalahnya, Abim tak memiliki rasa apapun pada wanita itu. Apalagi saat melihat suasana rumah wanita berambut pendek itu yang dapat menggambarkan dengan gamblang kepribadian seorang Sisil Aprilia. Cukup, Abim langsung menarik tangannya dengan paksa saat mengingat betapa jorok rumah wanita itu. Akibat gerakan tiba-tiba dari Abim, April lantas terbangun sembari mengerjab pelan. Tangannya terulur menggaruk rambut acak-acakan miliknya sembari menguap kecil, membuat Abim lantas memalingkan wajah tak suka. "Pegel semua astaga," gerutu April lalu mulai berdiri, mengambil handuk yang terendam dalam baskom stainless yang berisi air dingin, memerasnya lalu hendak meletakkannya di dahi Abim. Lelaki yang masih memalingkan wajah itu refleks menoleh saat mendengar gerakan ribut April, sedikit mengernyit heran, mungkin wanita itu tak sadar ia sudah siuman. "Mau ngapain lo?" "Eh setan!" Puk! Abim lantas memejamkan mata paksa dengan gurat mengkerut saat merasakan dinginnya handuk jatuh cukup keras tepat di bagian hidung dan matanya. Basah dari air yang tak terserap penuh oleh handuk itu mulai mengalir mengenai kuping lelaki jangkung itu. Dengan gigi bergemelatuk, Abim lantas mengambil benda basah itu, menggenggamnya erat lalu menatap April dengan nyalang. Wanita yang tengah menatap ngeri wajah masam Abim lantas menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, menggigit bibir bawah guna melampiaskan rasa takut. "M-maaf, Bim." Puk! Impas sudah, April meringis saat handuk basah itu terasa menghantam wajahnya dengan keras. Ia buru-buru mengambil handuk itu lalu meletakkannya ke dalam wadah berisi air tadi. Mengambil handuk kering, lalu menyodorkannya pada lelaki yang masih menatapnya tajam, menghiraukan wajahnya yang masih basah kuyup. Srek! Wanita itu tersentak saat Abim menepis uluran tangannya dengan kasar. "Jorok banget sih lo jadi cewek. Keluar sana!" "Iya maaf, Bim. Tadi refleks, kaget karna lo ngomong tiba-tiba. Kirain belum sadar." "Nggak penting, keluar sekarang." April mengangguk lalu mengusap singkat wajahnya menggunakan lengan baju, berbalik badan lalu mulai melangkah menuju luar ruangan. Entahlah, ia rasa pertemuannya dengan Abim tak pernah berjalan mulus. Kini ia paham, Abim terlalu bersih untuk dirinya yang penjorok. Selepas kepergian wanita itu, Abim langsung mengelap wajahnya menggunakan selimut yang tersedia di dekat bantal. Bibirnya asik menggerutu lalu mencampakkan selimut itu dengan kasar. Tangannya mulai meraba pinggiran brankar guna menopang sang tubuh sampai sepenuhnya duduk. Seketika sensasi berputar mulai menyapa, membuat matanya enggan lama-lama terbuka. Tangannya terulur memijit pelipis masih dengan mata yang terpejam. "Minggu ini sering banget gue sakit," monolognya. Ceklek~ "Wess, gue kira sakitnya drama demi lolos hukuman buk Nita." Mata Abim lantas terbuka, menatap malas ke arah Gio yang sedang meletakkan bungkusan ke atas nakas. Kadang Abim heran, sahabat berototnya ini selalu datang tepat di saat ia membutuhkan bantuan. Benar-benar kebetulan yang sangat menguntungkan. "Lo apain si April?" "Gue apain emang?" "Lah nggak tau, tadi jumpa di depan keknya abis nangis. Basah gitu mukanya." Abim hanya menggaruk telinga lalu mulai mengambil posisi hendak menuruni brankar, malas membahas perihal gadis penjorok itu lagi. Gio sendiri hanya acuh, hidup bertahun-tahun dengan Abim cukup membuatnya hapal atas gelagat lelaki itu. "Mau ke mana?" "Kencing." "Kuat nggak?" "Ya enggaklah, dari tadi gue kebelet. Lo di tungguin lama banget. Mana pala gue rasanya mo pecah." Gio terkekeh lalu berdiri, mengapit lengan kurus Abim yang terekspos sebab tak mengenakan jaket seperti biasanya. Menggiring dengan perlahan langkah terseok laki-laki itu, sesekali menatap wajah pias Abim dari arah samping. "Pucet banget, lo sakit dari rumah apa gara-gara dihukum tadi aja?" Abim menoleh di sela kegiatannya. "Nggak tau, belakangan ini suka sakit dadakan." "Udah periksa ke dokter? Tante sama om tau?" "Halah, nggak penting. Demam biasa juga," jawab Abim lalu menunduk, menyingkap baju depan guna menaikkan resleting sang celana. Tapi alisnya langsung mengernyit saat pandangannya menangkap bintik kemerahan tampak timbul di area perutnya. Gio yang merasa aneh lantas ikut menatap fokus anak itu. "Kenapa itu?" "Nggak tau, mungkin cacar makanya gue demam mulu," jawab Abim lalu menutup kembali sang perut. "g****k, mana ada cacar modelan gitu." "Udahlah, nggak penting. Buru bantuin, lemes banget asuuu," gerutu Abim seraya merangkul bahu Gio. "Udah nyusahin, ngegas, manusia macem apa lo." Abim hanya diam, fokus berjalan dengan tubuh tertopang penuh pada Gio. Entahlah, ia rasa badannya benar-benar butuh istirahat penuh. "Nggak usah ke kelas, Yo. Temenin gue, pulang anterin juga." "Jadi babu lu aja dah gue, Bim. Ini udah capek, nggak ada imbalannya," gerutu Gio sembari membantu Abim berbaring. "Bacot ah. Jangan ribut, gue mau tidur." "Berasa pangeran ya lo bajink." Tbc ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN