Ara turun dari motor Gama. matanya berusaha untuk tidak melirik cowok itu. benteng yang sudah ia buat susah-payah, jangan sampai runtuh hanya karena kejadian hari ini. Ia sudah memutuskan untuk berhenti memerhatikan, maka seharusnya itulah yang ia lakukan. “Sekali lagi, makasih. Gue masuk dulu, ya.” “Tunggu!” Ara menghentikan langkahnya. Tangannya ditarik, hingga tubuhnya berbalik lalu kini jaraknya dan Gama hanya dipisahkan beberapa senti saja. Rasanya jantung Ara seperti akan meledak. Wajahnya memerah. “Jangan menjauh, Ra,” kata Gama yang terdengar memohon. “Gue malu mengakuinya, tapi … gue enggak tahan. Gue enggak bisa lihat sosok lo yang sejak awal ada di depan gue, kini mulai menghilang.” Ara melepaskna tangan Gama dari tangannya, lalu gadis itu tersenyum simpul. “Enggak enak, y

