Rewrite — Astraphobia

1550 Kata
Hari ini, Ayah dan Mamanya sedang pergi ke luar kota. Arden … mungkin anak itu sedang berada di rumah Feri seperti biasanya. Hari ini sekolah pulang lebih awal. Ia hanya berdua dengan Bi Asih di rumah. Jika sudah begini, ia tidak tahu lagi harus melakukan apa. Ia sudah menelepon Sena, namun ternyata gadis itu sakit karena kelelahan menjadi panitia acara kemarin. Sedangkan Marcela? Ah, jangan ditanya. Gadis pintar itu pasti sedang melakukan les piano seperti biasanya. Hanya Ara yang pengangguran, tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan menonton tv saja rasanya tidak antusias. Ara menggeledah kulkasnya, mencari makanan yang bisa ia makan. Hanya tersisa satu cup yogurt dan beberapa apel. Ara mendesah. Ia mencari Bi Asih yang tengah menyiram tanaman di belakang rumah. “Bi … Ara lapar,” teriaknya dengan wajah merungut menghampiri Bi Asih. “Eh, Non Ara belum makan?” tanya Bi Asih. “Udah tadi pagi, tapi lapar lagi. Enggak ada lauk, ya, Bi?” “Aduh, hari ini Ibu enggak kasih Bibi uang belanja. Katanya kalo Non Alya mau makan, suruh beli sendiri di luar.” “Tapi uang Ara sama Arden, Bi,” rengek Ara. “Duh, iya, ya. Bibi lupa kalo Mas Arden yang pegang uang jajannya. Gini aja. Bibi belikan nasi bungkus di depan komplek, ya? Non Ara mau?” Ara mengangguk. “Tapi Ara aja yang beli, Bi. Ara bosan di rumah, mau keluar.” “Oke, deh. Nih, pakai uang Bibi dulu.” Ara meraih uang itu lalu tersenyum. Ia langsung kembali ke kamarnya dan meraih sweaternya. Setelahnya ia langsung pergi ke luar, tepatnya ke rumah makan yang ada di depan komplek. Ara berjalan sambil bersenandung. Ia sebenarnya tidak terlalu suka ke luar rumah. Biasanya ia hanya akan berdiam diri di kamar. Tapi hari ini ia sudah berada di tingkat paling tinggi dari kebosanannya. Ara sampai di rumah makan itu. bukan sebuah rumah makan yang besar, tapi cukup untuk menampung banyak pelanggan. Bahkan ada yang duduk di halaman depan. Ara mengantre untuk membeli sebungkus nasi. Setelahnya, ia hendak kembali ke rumah. Namun matanya menangkap sosok Gama yang baru turun dari motornya. Ara tersenyum lebar. “Gama!” panggil Ara. Gama mendongak. “Lo mau beli nasi juga?” “Iya,” katanya. “Lo sendiri? Arden mana?” Ara merungut. “Memangnya gue harus selalu sama Arden? Kita itu beda dunia, ya.” Gama tersenyum simpul. “Mau bareng? Gue beli dulu. Tunggu di sini.” Ara mengangguk penuh semangat. Sepeninggal Gama, Ara langsung melompat-lompat kegirangan. Ternayat ada berkahnya juga ia memilih untuk keluar hari ini. Melihat Gama, seketika rasa bosannya langsung hilang begitu saja. Apakah efek kehadiran Gama sebesar itu? Ara tersenyum, lalu mengusap motor Gama. “Kali ini, gue akan sering naikin lo,” katanya dengan bangga. Beberapa menit kemudian Gama kembali. Cowok itu membeli dua bungkus nasi. “Untuk lo?” Gama mengangguk. “Makan lo banyak, ya.” Gama tidak menjawabnya. Keduanya langsung pulang dengan motor Gama. Di dekat posko, mereka berhenti. Awalnya Ara ingin bertanya kenapa mereka berhenti, namun ia urungkan ketika melihat seorang pria tua yang tengah duduk di sana sambil merapikan barang-barangnya di karung. Gama mendekati pria itu lalu memberikan sebungkus nasi yang ia beli. Ara benar-benar terpana melihatnya. Ia tidak menyangka Gama punya sisi seperti itu. Ia jadi makin menyukainya. Gama kembali ke motor lalu menatap Ara yang kini tengah menatapnya tanpa berkedip. “Kenapa?” “Lo tahu, gak, kalo gue suka lo?” tanya Ara dengan berterus terang. Gama cukup kaget. Ia tidak tahu Ara akan sefrontal ini jika bicara? Apakah dia tidak merasakan gugup atau malu? Kenapa tiba-tiba bilang seperti itu? “Tahu, gak, Gam?” tanya Ara lagi. “Enggak.” “Nah, kalo gitu sekarang tahu, kan?” “Terus, kalo gue tahu kenapa?” Ara tersenyum. “Itu artinya, lo harus lebih memperhatikan gue.” “Kenapa harus gue?” “Karena lo Gama.” Gama terkekeh pelan, kemudian menoyor dahi Ara pelan. “Lo aneh.” *** Hari mulai gelap. Hujan lebat datang beberapa menit lalu. Petir menggelegar, membuat Ara ketakutan. Ia memiliki astraphobia—yang mana ia phobia dengan petir. Setiap kali ada petir, tubuhnya langsung bergetar hebat. Biasanya Ara akan menyalakan tv dengan volume kencang. Namun, baru beberapa menit ia menyalakan tv, tiba-tiba lampu padam. Ara terdiam mematung di tempat tidurnya. Ia mencari ponselnya, untuk menyalakan senter. “Bi Asih,” panggil Ara dengan wajah ketakutan. “Bibi,” panggil Ara lagi. Tubunya bergetar hebat. Padahal ia sudah memakai headset tapi petir itu tetap terdengar. “Bi Asih,” panggil Ara sambil berjalan ke bawah dengan senternya. “Bibi di mana?” Ara berjongkok di dekat tangga. Ia menutupi wajahnya dengan telapak tangan. “Ara takut,” katanya disela isak tangis. Ara mencoba menelepon Arden, namun anak itu tidak mengangkat panggilannya. Ara juga sudah menghubungi orang tuanya, namun tidak ada juga yang mengangkatnya. Kenapa disaat seperti ini semua jadi susah dihubungi? Ara ketakutan setengah mati. Jarinya menekan nomor ponsel Gama. ia berharap Gama mengangkat panggilannya. Ini kali pertamanya ia menelepon Gama. sebelumnya ia hanya mengirim pesan saja. Ia begitu gugup, takut Gama tidak mengangkatnya. Ia tidak tahu lagi harus menghubungi siapa. Teman-temannya tinggal jauh dari rumahnya. Tidak ada teman yang sedekat Gama. Disisi lain, Gama tengah menyelimuti dirinya dengan selimut. Ia menutup kedua telinganya, sambil meringkuk di sofa. Ia ketakutan setengah mati. Ia juga memiliki astraphobia. Biasanya, bibinya yang selalu menemaninya. Tapi kali ini, ia sendiria di rumah. Ponselnya berdering. Ia bisa melihat nama Ara terpampang di sana. awalnya Gama enggan mengangkatnya. Rasanya seperti tidak bisa menggerakkan tangannya yang bergetar hebat sejak tadi. Namun, entah apa yang membuatnya begitu ingin mengangkat panggilan itu, akhirnya tangan itu meraih ponselnya yang ada di atas meja. “Halo?” ucapnya berusaha menghilangkan suara gemetarnya. Terdengar suara tangisan yang begitu kencang. Gama langsung kebingungan. “Kenapa, Ra?” “Gama! Gue takut. A-ada pet-petir,” isaknya. “Lo di mana?” “Di-di rumah,” katanya terbata-bata. Gama mencoba menghilangkan rasa takutnya. Ia memejamkan matanya sebentar, lalu mengambil napas mencoba tenang. “Tunggu. Gue ke sana.” Gama mematikan ponsel. Ia berlari ke luar, mencoba melawan rasa takut itu. ia punya firasat burung tentang Ara jika ia tidak datang ke sana. Dengan payung, ia berjalan menuju rumah Ara. Rumah itu gelap gulita. Tidak ada lampu yang menyala. Kakinya melangkah masuk ke teras. Ia mengetuk pintu, memanggil Ara. “Ra! Ini gue! Buka pintunya!” teriak Gama dari luar. Suara petir membuatnya berjongkok lalu menutup telinga sambil memejamkan mata dengan erat. Namun, Gama terus mencoba melawannya. “Ara!” Ia mendorong pintu itu. Ternyata pintunya tidak dikunci. Buru-buru Gama masuk dan kemudian menutup pintu agar suara petir sedikit mengecil, meskipun masih bisa ia dengar dengan jelas. Kakinya melangkah masuk, kemudian menemukan Ara tengah meringkuk di dekat tangga sambil menangis. Gama berlari, lalu memeluk Ara dan membiarkannya menangis di pelukannya. “Tenang, ada gue,” katanya mencoba membuat Ara tenang, meskipun ia sendiri ketakutan. Bahkan tangannya masih gemetar. “Gu-gue, ta-takut pe-petir.” Gama terdiam. Ternyata Ara sama sepertinya. Mereka berdua sama-sama memiliki astraphobia. Gama menutup telinga Ara dengan kedua telapak tangannya. Ia ikut memejamkan mata ketika suara petir itu datang lagi. “Jangan takut,” kata Gama dengan gemetar. Hujan masih lebat, namun suara petir itu sudah semakin menghilang. Gama membawa Ara ke sofa. Gadis itu masih memeluk Gama dengan erat. Gama bisa merasakan apa yang Ara rasakan. Ketakutan. Ia juga bisa merasakan tubuh Ara yang gemetar. Jika dilihat, sepertinya phobia Ara lebih parah darinya. Pintu terbuka. Seseorang masuk ke dalam. Gama tidak bisa melihat orang itu karena tidak adanya cahaya. Namun ketika orang itu semakin dekat, senter Gama mampu menerangi pandangannya, dan kemudian bisa mengetahui siapa orang itu. “Gama?” tanya Arden dengan baju yang basah kuyup. Pandangan Arden kini beralih menatap sang adik yang tengah memeluk Gama. Baru saja Gama akan bertanya, namun perkataannya terhenti ketika Gama bertanya, “Astraphobia. Dia punya astraphobia, kan?” tanya Gama. Arden langsung menepuk dahinya. Ia lupa bahwa Ara phobia petir. Pasti Ara sangat ketakutan, dan bodohnya ia tidak ada di rumah. Harusnya tadi ia pulang lebih dulu. Namun karena hujan deras, ia tidak bisa pulang. Untung saja, Feri meminjamkan jas hujan. Meskipun akhirnya ia basah kuyup juga karena tersiram cipratan dari mobil yang melewatinya. “Tunggu! Gue gantu baju dulu,” kata Arden lalu pergi dari sana. Baru saja cowok itu pergi, sebuah suara terdengar dari arah tangga. “Aduh, sakit, elah,” pekik Arden yang terpeleset karena air yang menetes dari celananya. Setelah sekitar 10 menit, Arden kembali ke bawah dengan sebuah selimut. Ia menarik Sara dari pelukan Gama, kemudian menggantikan posisi Gama untuk memeluknya. Arden menutupi Ara dengan selimut yang ia bawa. “Jangan takut lagi. Gue udah di sini. Maaf, ya, terlambat pulang. Gue beneran lupa kalo lo sendirian di rumah.” Arden mengusap kepala Ara, mencoba menenangkan. “Eh, tapi, harusnya, kan, ada Bi Asih. Bi Asih mana?” tanya Arden pada Gama yang terlihat kebingungan karena tidak tahu siapa Bi Asih. “Gue enggak tahu. Tadi Ara sendiri di sini.” Melihat Arden memperlakukan Ara seperti itu membuatnya kagum dengan persaudaraan mereka. Mungkin ia hanya melihat pertengkaran keduanya saja. Tapi sebenarnya keduanya saling menyayangi. Andai Kakaknya tidak sesibuk sekarang. Ia rindu ketika Kakaknya masih berada di rumah tanpa tuntutan pekerjaan. -bersambung-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN