Rewrite — Know You Better

1565 Kata
“Jadi, lo punya astraphobia juga?” tanya Arden menatap Gama. Kini keduanya duduk di sofa dengan sebuah lilin yang ada di atas meja sebagai pencahayaan seadanya. Ara tertidur di sofa satunya. Mungkin karena lelah menangis. Bahkan hidung dan matanya masih memerah. Gama mengangguk. “Tapi, enggak separah Ara. Gue masih bisa tahan, meskipun kadang, enggak bisa juga.” Arden mengangguk. Ia menghela napas pelan. “Makasih, ya, udah ada buat Ara tadi. Gue enggak tahu kalo lo enggak ada, Ara pasti pingsan kaya dulu.” “Ara pingsan?” Arden mengangguk. “Dulu, di rumah cuma ada gue dan dia. Gue marah dan ninggalin Ara sendiri pas lagi hujan petir. Dan saat gue pulang, dia udah dalam keadaan pingsan. Bahkan sampai dirawat di rumah sakit beberapa hari karena phobianya itu.” Gama bisa membayangkan apa yang terjadi, karena dia dulu juga pernah seperti itu. “Gue tahu rasanya takut petir. Itu sebabnya gue datang, meskipun gue ketakutan juga.” “Gue bener-bener berterima kasih sama lo. Dan … maaf soal di kantin kemarin. Gue enggak ada niatan untuk mengancam lo. Tapi, gue benar-benar enggak bisa biarin Ara dekat dengan sembarang cowok. Dia pernah patah hati. Gue enggak mau kejadian itu terulang lagi. Gue cuma mau bilang sama lo, kalo lo enggak ada rasa sama dia, lebih baik perhatikan sikap lo. Jangan sampai sikap lo bikin dia salah paham. Lo ngerti, kan, maksud gue?” Keduanya terdiam beberapa sata. Hujan masih belum reda. Arden juga tidak tahu ke mana Bi Asih pergi, padahal harusnya ada di rumah. Waktu terus berlalu dan Arden mulai terlelap karena kelelahan, sedangkan Gama masih diam, duduk menyandar sofa sambil memerhatikan wajah tenang Ara. Ia mengingat apa yang Arden katakan tadi. Apa sikapnya selama ini salah? apa ia terlalu menspesialkan Ara? Tapi kenapa ia merasa yang ia lakukan tidak seperti itu? ketika Ara memintanya, rasanya aneh sekali karena tidak bisa menolak. Ia bahkan lebih sering tersenyum ketika melihat tingkah Ara. Apakah ia menyukai Ara? Gama melihat selimut Ara yang tidak menutupi seluruh tubuh gadis itu. Kakinya berdiri, kemudian melangkah mendekatinya. Tangannya manerik selimut Ara, lalu membenarkan sampai menutupi bahunya. Gama tersenyum simpul. “Lo cewek tercantik yang gue temui sepanjang 18 tahun gue hidup,” jujurnya. Memang benar, Ara lah yang tercantik di antara semua wanita yang ia temui. Mungkin karena Gama juga jarang bergaul dan lebih sering di rumah dengan bibinya. Itu sebabnya, gadis-gadis yang ia temui tidak sebanyak itu. “Tapi gue enggak boleh suka sama lo, Ra,” gumamnya sambil menyesipkan beberapa helai rambut yang menutupi mata Ara ke belakang telinga. “Lagipula … hidup lo masih panjang. Setelah ini, lo akan menemukan lebih banyak hal, bahkan lebih banyak orang-orang yang bisa lo sukai, melebihi suka lo ke gue. Dan lo enggak tahu, mungkin disaat itu, perasaan lo ke gue akan berubah.” Gama menghela napas. Ia menaruh kepalanya di atas meja, lalu menatap Ara selama beberapa saat sebelum akhirnya ikut terlelap. Beberapa menit setelahnya, lampu rumah menyala. Bi Asih datang dengan payung. Ia masuk ke dalam, lalu terkejut melihat Arden, Ara, dan Gama tertidur di ruang tamu. Ia baru kembali setelah meminta satpam komplek untuk memperbaiki listrik rumah yang korslet. Ia bahkan lupa bilang pada Nona mudanya. “Udah pada tidur, toh?” gumam Bi Asih. Ia mengambil selimut dari kamar tamu, kemudian menyelimuti Arden dan Gama. Ketika menyelimuti Gama, Bi Asih sempat terpana dengan wajah anak itu. Begitu tenang dan sangat tampan. “Duh, iyeu b u d a k, teh, kasep pisan. Pangling Bibi.” *** Gama mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia merasakan embusan angin samar disekitar wajahnya. Hingga matanya terbuka sempurna. Yang pertama kali ia lihat adalah wajah Ara dengan senyumnya. “Udah bangun? Ayo, sarapan! Bibi udah masak,” ajak Ara menarik tangan Gama. Ketiganya duduk di meja makan, dengan tiga piring nasi goreng spesial buatan Bi Asih yang ada depan mereka. Arden sudah mulai memakannya disusul Ara. Namun Gama masih terdiam. Ia melirik ke arah wanita paru baya yang tengah mencuci piring. Jadi, itu yang bernama Bi Asih? “Gama, ayo makan,” suruh Ara yang membuyarkan lamunannya. Gama mengangguk, lalu iku makan setelahnya. Ara mengantar Gama sampai teras rumah. Gadis itu menyesipkan rambutnya ke belakang telinga. “Makasih, ya, karena semalam lo udah mau datang.” Gama mengangguk. “Ini, ada puding, buat camilan di rumah.” Ara menyodorkan paper bag ke arah Gama. cowok itu meraihnya tanpa ragu. Ia tersenyum simpul. “Gue pulang, ya.” Ara melambaikan tangannya hingga akhirnya punggung Gama menghilang dari balik gerbang. Ara menghela napas pelan. Senyum di wajahnya langsung menghilang. Ia mendengar semalam samar-samar Gama mengatakan bahwa cowok itu tidak boleh menyukainya. Ia tidak tahu itu hanya mimpi atau Gama benar-benar mengatakannya. Tapi yang jelas, itu membuat Ara sedikit … kecewa. “Kenapa gak boleh suka gue? Memangnya lo di ancam seseorang? Siapa orangnya? Atau lo sebenernya udah punya pacar?” Ara menghentakkan kakinya lalu memasang wajah cemberut. “Kenapa gue tahunya pas udah sesuka ini sama lo, huh? Memang lo mau tanggung jawab sama perasaan gue ini? Jahat banget, sih,” Ara terdiam sebentar, sebelum akhirnya menangis dan masuk ke dalam. Gama baru saja datang, kemudian mendapati sang Ayah yang duduk di ruang tamu sambil melamun. Gama menghampiri Ayahnya itu. Dilihat dari pakaiannya, sepertinya Ayahnya baru saja pulang dari kantoor. “Ayah,” panggil Gama lalu mendekati Ayahnya. Ayahnya mendongak, kemudian tersenyum simpul, kemudian menyodorkan sebuah undangan pada Gama. Gama meraih undangan itu dan melihat nama Ibunya tertera di sana. “Ibumu akan menikah.” Gama menghela napas. “Lalu? Ayah enggak terima? Ayah mau datang ke sana dan rebut Ibu?” tanya Gama yang sedikit emosi. Ia selalu saja begitu jika membicarakan perihal sang Ibu. “Gama. Kamu jangan benci Ibu kamu. Dia …” “Kenapa, sih? Kenapa Ayah selalu bela dia? Kalo Ayah secinta itu, kenapa enggak samperin wanita itu dan bawa dia pulang? Bawa dia ke sini, lalu semua yang terjadi saat itu terulang lagi. Itu mau Ayah?” Ayahnya menggelengkan kepala pelan. Ia tahu Gama membenci Ibunya. Tapi ia tidak tahu jika sebenci itu padahal Gama tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Harusnya ia memberitahukan Gama lebih awal, tapi ia pikir putranya itu belum mampu memahaminya. Ia pikir, Gama butuh waktu agar kebencian itu menghilang, barulah ia akan menceritakan semuanya. Namun ia salah, karena semakin waktu berjalan, semakin kebencian itu menguasainya. “Gama. Dengar! Semua yang kamu tahu, enggak seperti itu kenyataannya. Ayah sama Ibu …” “Udah, Yah. Aku capek berdebat sama Ayah karena Ibu. Kalau Ayah memang mau bersama dia, silakan pergi. Aku bisa tinggal sendiri. Dan aku udah enggak mau lagi menutupi kebiasaan Ayah yang suka minum-minum dari Kakak. Biar dia tahu, kalau selama ini, Ayah berubah jadi orang yang menyedihkan. Biar Kakak juga tahu, alasan kenapa aku benci sama Ibu.” Gama pergi ke kamarnya, meninggalkan sang Ayah yang hanya bisa menangis dalam diam. Ia mengusap matanya yang basah, kemudian menatap undangan yang ada di meja. “Maaf, Andini. Aku membuat Gama membenci kamu. Maaf.” *** Ara menatap lolipop yang diberikan Gama malam itu. Ia bahkan belum membukanya sama sekali. Ia terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas berat. Ia terus terganggu dengan kalimat itu. Ia mungkin tidak bisa memastikan bahwa itu nyata atau hanya bagian dari mimpinya. Tapi entah kenapa rasanya ia benar-benar gelisah. “Ya terus, gue harus apa, dong?” tanya Ara pada lolipop yang dia pegang. Setidaknya hanya lolipop itu yang bisa dijadikan lawan bicara. “Masa gue harus mundur? Enggak bisa gitu. Gue udah telanjur suka banget sama Gama. Setidaknya gue harus tahu alasan kenapa dia enggak boleh suka sama gue. kalo alasannya masuk akal, gue baru akan mundur.” “Ta-tapi, gue enggak bisa mundur,” rengek Ara. Ara mengambil ponselnya, kemudian menelepon Sena. Tidak butuh waktu lama bagi gadis itu mengangkat panggilan dari Ara. “Kenapa, sayang?” “Sena! Gue patah hati!” renegek Ara. “Kenapa lagi? Gama?” “Ga-Gama enggak mau suka gue.” “Ya terus? Emang dia bilang gitu ke lo? Dia bilang enggak mau suka lo?” Ara terdiam sebentar, sebelum akhirnya mengatakan, “Ya pokoknya gitu, deh. Gimana, dong, Na? Gue udah suka banget sama Gama. enggak tahu kenapa rasanya gue enggak bisa lepas dia. Rasanya … sakit. Enggak kaya apa yang gue rasain ke Calvin. Beda.” Terdengar helaan napas dari seberang sana. “Gimana bisa perasaan lo sebesar itu dalam waktu sebulan ini? Gue aja butuh waktu lama untuk bener-bener suka seseorang.” “Gue juga enggak ngerti. Pokoknya, rasanya sakit, Na. Gimana, dong?” “Sesakit itu, ya? Kayaknya lo emang benar-benar suka dia.” Ara menangis sesenggukan, menceritakan apa yang ada di hatinya pada Sena. Setidaknya itu bisa membuat hatinya lebih lega dibandingkan sebelumnya. Bahkan saking kerasnya tangisan Ara, Gama bisa mendengar dari kamarnya. Meskipun agak samar, tapi dia tahu itu tangisan Ara. Untuk memastikan cowok itu berjalan ke balkon. Di sana suaranya lebih jelas karena Ara juga tidak menutup jendela. “Tapi gue suka banget sama Gama.” Itulah yang Gama dengar ketika berada di balkon. Ia memang tidak terkejut mendengarnya karena sudah mengetahui itu. Ia hanya bisa menghela napas kemudian kembali masuk ek dalam kamar. Baginya, ia tidak punya hak untuk mendengar lebih banyak. Itu juga termasuk privasi yang tidak boleh Gama tahu. Dan ia juga tidak terlalu penasaran apa yang dikatakan Ara setelahnya, karena ia sudah bisa menebaknya. -bersambung-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN