Rewrite — Find Out

1584 Kata
Ara menatap bukunya dalam diam. Sejak tadi ia tidak bicara sama sekali. Pikirannya terus saja penuh dengan perkataan Gama itu. Anggap saja Gama benar-benar mengatakannya. Lalu Ara harus mencari tahu apa penyebabnya. Setidaknya ia harus tahu agar punya alasan untuk berhenti. Meskipun ia tidak janji bisa melakukannya. “Ra! Lo masih mikirin itu?” tanya Sena yang lama-lama frustrasi melihat Ara melamun sejak tadi pagi. Bukannya apa. Aneh saja melihat Ara seperti itu. padahal biasanya gadis itu akan jadi yang paling berisik. “Udahlah, Ra. Lagian, cowok bukan Gama doang,” kata Marcela yang baru saja mendengar ceritanya dari Sena. “Menurut gue, ada dua alasan, sih, yang bikin dia enggak boleh suka lo, Ra. Pertama, dia punya pacar, yang kedua, Arden gak bolehin Gama suka lo.” Ara mendongak. “Iya juga. Kalo opsi kedua benar, gue harus tanya dia sekarang.” Ara langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kantin. Meskipun di sana ada Gama, Ara bersikap seolah-olah tidak melihat cowok itu. Ia menarik tangan Arden yang kala itu tengah memakan makan siangnya. “Ayo ikut!” “Eh, bentar! Gue lagi makan ini!” omel Arden. Feri, Andi, dan Gama menoleh. “Buruan!” “Ngomong aja di sini, ra,” kata Feri. “Diam lo! Gue lagi kesal!” omel Ara dengan wajah galaknya. Feri langsung bergidik ngeri. Jika Ara sudah mengeluarkan ekspresi itu sebaiknya ia diam dan tidak ikut campur. Ia tidak ingin menjadin korban kemarahan Ara. Arden juga ikut ketakutan jika melihat wajah marah Ara. “Iya udah, iya.” Keduanya pergi meninggalkan kantin menuju koridor. “Lo yang nyuruh Gama buat enggak suka gue, kan?” tanya Ara langsung pada intinya. Arden agak terkejut mendengarnya. Jika memang itu alasan kemarahan Ara, tentu saja ia akan menyangkalnya, karena ia merasa tidak mengatakan hal itu. Ia hanya berkata agar Gama tidak berlebihan jika tidak menyukai Ara. “Gue enggak bilang apapun ke dia. Lagian, buat apa gue ngelarang dia uska sama lo? Dia memang enggak suka sama lo. Gue cuma bilang supaya dia enggak berlebihan bersikap supaya lo enggak salah paham sama perasaannya.” Ara mendengkus. Jika bukan karena Arden, lalu apakah kemungkinan terakhir adalah opsi pertama? Jika benar Gama punya pacar, siapa pacarnya? Apa dari Aeris? Kenapa ia tidak tahu. Iangsung mendekati Arden dengan tatapan mengintimidasi. “Gama punya pacar, ya?” tanya Ara. “Lah, enggak tahu.” “Kenapa bisa lo enggak tahu padahal lo sekelas sama dia, temenan pula. Masa enggak tahu?” omel Ara. “Gunanya gue tahu itu buat apa? Lagian kenapa enggak lo tanya dia langsung? lo akan dapat jawaban yang sejelas-jelasnya. Lo kenapa, sih? Tiba-tiba emosian gini? Gama ngomong apa sama lo?” “Gama bilang dia enggak boleh suka sama gue!” Arden terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya tertawa keras. Ia bahkan memukul lengan Ara sangkit gelinya. “Fix! Dia udah punya pacar. Udah, lo enggak usah berharap lagi.” “Ngeselin, lo!” Ara pergi meninggalkan Arden yang masih tertawa. Ia bahkan sampai menyeka air matanya. Benar-benar Ara sangat mengejutkan. Ia tidak tahu Ara akan marah hanya karena itu. padahal, punya hak marah saja dia tidak. “Wajar, sih, Gama punya pacar. Dia ganteng. Emang lo, cantik doang, ditembak cowok malah ngilang.” Arden tertawa dan memutuskan kembali ke kantin. Setidaknya ia bersyukur kemarahan Ara tidak ada hubungan dengannya. Jika ada, hidupnya bisa dalam bahaya. Marahnya Ara itu seperti peringatan perang dunia. Ara akan mengamuk habis-habisan. Ara menggigit bibir bawahnya. Ia duduk di kursi yang ada di taman sambil berpikir bagaimana caranya memastikan Gama punya pacar atau tidak. Dari informasi yang ia dapat, semuanya menjawab tidak tahu. Jika begini terus bagaimana ia bisa memastikan? “Masa gue tanya langsung? Nanti kalo dia tersinggung gimana? Terus, kalo dia mikirnya gue mau merebut dia dari pacarnya gimana? Pelakor, dong? Ah, enggak bisa!” Ara menghela napas. “Tapi, kalo bukan dia yang ngasih tahu, siapa lagi?” “Ngasih tahu apa?” tanya Andi yang tiba-tiba saja datang menghampirinya. Ara tersenyum ketika melihat Andi membawa s**u kotak cokelat kesukaannya. “Buat gue?’ tanya Ara menunjuk s**u kotak itu. Andi terkekeh, lalu menyodorkan s**u kotak itu yang langsung di raih oleh Ara. Cowok itu duduk di sebelah Ara. “Gue ke sini karena lihat tadi lo marah. Kali ini apa lagi? Arden?” Ara menggelengkan kepalanya. “Gama.” Andi mengernyit. “Kalo marah sama Gama kenapa narik Arden?” “Ya masa gue narik Gama? Enggak lihat tadi mukanya datar gitu kaya enggak peduli gue marah atau enggak?” tanya Ara yang tiba-tiba menjadi sewot. “Iya, sih. Tapi bukan berarti Gama enggak peduli, kan? Dia mukanya memang datar gitu. Lo enggak bisa menyimpulkan kalo dia enggak peduli. Buktinya tadi dia ngelihatin lo nari Arden keluar kantin.” “Ngelihat juga bukan berarti peduli, kan?” Andi menghela napas. “Kali ini, Gama kenapa?” Ara mendesah pelan. “Kayaknya Gama punya pacar. Dia bilang dia gak boleh suka gue. Kalo gak boleh, pasti ada yang ngelarang. Siapa lagi yang ngelarang kalau bukan pacar dia. Masa ia bokapnya? Gue aja jarang bahkan cuma sekali lihat bokapnya di rumah. Gimana bokapnya bisa tahu gue suka sama Gama?” “Jadi itu alasan lo marah?” “Sebenernya gue enggak marah. Gue cuma … gelisah karena, kalau emang benar Gama punya pacar, itu artinya gue harus mundur. Gue enggak bisa jadikan perasaan gue sabagai alasan untuk menghancurkan hubungan dia.” Andi mengusap bahu Ara, lalu tersenyum. Menyedihkan sekali melihat Ara menyukai Gama sebegitu besarnya. Tidakkah Ara tahu bahwa ia menyukai gadis itu? Rasanya sakit, ketika melihat lo berjuang untuk dia. Kadang gue berharap bisa ada di posisi itu, di mana lo menyukai gue sebesar lo menyukainya. *** Gama melajukan motornya hendak pulang. Matanya menangkap sosok Ara yang tengah berdiri di halte. Harusnya gadis itu pulang bersama Gama dan bukan berdiri di sana. setahunya, tidak ada bus yang mengarah ke komplek mereka. Gama mendekati Ara, kemudian berhenti tepat di depannya. Ia membuka kaca helm nya. “Arden mana?” tanya Gama langsung pada intinya. Ia bukan tipe cowok yang suka berbasa-basi. “Latihan basket,” jawab Ara singkat. Ia lupa jika hari ini ada latihan. Gama agak bingung karena tidak bisa melihat senyum cerah Ara yang biasa gadis itu tunjukkan. Ara hanya menjawabnya dengan ekspresi biasa, seperti ketika gadis itu menjawb pertanyaan dari orang lain. “Mau naik bus?” “Enggak, nunggu taksi.” “Mau bareng?” tawar Gama. Mau! Andai, Ara bisa mengatakannya. Tapi ia tidak bisa melakukan itu. Ia harus mencaritahu lebih dulu apakah Gama memiliki pacar atau tidak, baru bisa mengatakan bahwa ia amat-amat menyukai Gama. “Enggak. Udah telanjur pesan taksi.” “Ya udah.” Setelah mengatakannya Gama langsung melajukan kembali motornya. Ara melong, lalu cemberut. “Bujuk gue, kek, apa, kek. Jangan langsung pergi gitu,” rengek Ara. “Itu malah bikin kemungkinan lo pacaran semakin besar tahu!” Ara menghentakkan kakinya. Rasanya ia ingin menangis saja, tapi tahu diri karena itu di tempat umum. Meskipun ia sangat patah hati, tapi harga dirinya lebih penting. “Lagian, ini taksi enggak ada yang lewat apa?! Hp pakai mati segala lagi. Gue, kan, gak bisa pesan taksi online,” rengek Ara. Ia terpaksa mengatakan bahwa ia sudah memsan taksi pada Gama. Padahal ponselnya saja mati. Jika begini, ia barulah menyesal tidak ikut cowok itu. Gama sampai di rumah. Ia memarkirkan motornya di teras, lalu masuk ke dalam. Ayahnya tentu saja tidak ada di rumah. Ia juga masih kesal dengan pria itu. Mungkin mereka akan perang dingin selama beberapa hari. Bibi yang bekerja di rumahnya sedang merapikan ruang tamu. Ia tersenyum ketika melihat Gama datang. “Eh, Mas Gama. mau makan siang? Biar Bibi buatkan.” “Enggak usah, Bi. Gama mau ke kamar dulu, ya.” Gama menaiki tangga ke lantai dua lalu membuka pintu bercat cokelat yang ada di hadapannya. Ia menaruh tasnya di sofa, lalu merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata. Ponselnya berdering sejak tadi. Ia tahu bahwa Feri meneleponnya untuk latihan basket. Tapi hari ini ia begitu tidak ingin melakukan apapun. Rasanya mood nya sedang tidak baik karena berdebat dengan ayahnya kemarin. Gama membuka seragamnya, menyisakan kaos hitam polos. Ia berjalan menuju balkon. Angin begitu kencang, membuatnya tersenyum. Satu hal yang paling ia sukai dari rumah ini adalah balkon kamarnya. Komplek ini begitu rindang dan banyak pohon-pohon besar. Bahkan di tiap rumah. Itu sebabnya, anginnya begitu sejuk meskipun cuacanya panas. Ia menoleh ke balkon Ara. Pintunya tertutup, itu menandakan Ara belum pulang ke rumah. Jika dipikir, taksi yang lewat di sana sangatlah jarang. Ia tahu karena Bibi yang memberitahu sewaktu ia baru pertama kali datang. “Taksi online,” gumamnya. Ponsel Gama kembali berdering. Kali ini bukan Feri melainkan Arden. Gama meraih ponselnya kemudian mengangkat panggilan itu. “Gam, lo udah pulang atau masih di sekolah?” “Kenapa?” “Kalo masih di sekolah, boleh minta antar Ara? Hp nya mati. Gue enggak yakin ada taksi lewat di jam segini. Gue enggak boleh pergi sama Pak Bahrun. Tolong, ya. Kalo dia nolak, tarik aja, iket anaknya, sumpel mulutnya. Oke?” Gama bahkan belum sempat menjawab, tapi Arden sudah memutus telepon. Padahal ia baru mau bilang jika ia ada di rumah. Jika seperti ini, lebih seperti dipaksa dibandingkan meminta tolong. Padahal Ara tadi bilang sudah memesan taksi. Kenapa dia berbohong? Bukankah harusnya dia senang jika di ajak pulang bersama olehnya? Bukannya sombong, tapi harusnya itu reaksi yang ditunjukkan jika di ajak pulang oleh orang yang disuka. Gama mengambil kunci motornya lalu pergi menjemput Ara. -bersambung-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN