Part 3

3122 Kata
Disha terus menerus tersenyum. Gadis itu lebih ramah pagi ini, seolah jika ia tidak tersenyum maka akan terjadi kiamat esok hari. Semua orang tau, Disha sedang semangat-semangatnya. Gadis itu tengah bahagia. Reda menyadarinya pertama kali, ketika melihat Disha memasuki kelas dengan ceria yang tak tertahankan. “Kenapa lo?” Reda penasaran sekali dengan apa yang terjadi pada temnnya itu. Disha belum pernah terlihat begitu semangat selama beberapa bulan terakhir. “Gue jadi keyboardisnya band Tristan!” Disha tampak antusias sekali saat mengatakan hal itu pada Reda, wajah gadis itu tampak berseri-seri. “Sumpah?!” “Si Anto lagi di opname, jadinya mereka kelabakan nyari penggantinya, gue kemarin abis seleksi” terangnya dengan senyum yang tak bisa lepas dari wajah Disha yang manis. Meskipun tidak secantik Tanaya, semua orang tau, Disha memiliki kecantikan sendiri yang bisa membuat orang lain berpaling padanya. “Lo serius mau deketin Tristan sekarang?” Tanpa ragu lagi, Disha mengangguk. Ini adalah satu tekadnya sebelum menyelesaikan masa sma mereka. Mendekati Tristan, setidaknya membiarkan Tristan tau bahwa Disha memiliki perasaan pada pemuda itu. Dia tidak ingin masa smanya berakhir dengan begitu saja. Ditambah lagi, saat mereka masuk ke universitas nanti, dia tidak tau Tristan akan mengambil jurusan dan universitas apa. Disha tidak mungkin kan mengikuti Tristan sampai ke universitas? Disha memiliki mimpi sendiri, dan cowok bukan alasan yang bisa menghalangi mimpi itu. “Disha!” Rangga tampak memekik ketika melihat gadis itu ada di kelas mereka. Buru-buru, Cowok itu segera mendekati Disha dengan setengah berlari. “Deva beneran babak belur?” Disha menghela nafas dalam ketika mendengar nama Deva. Berat gadis itu menganggukkan kepalanya. “Nggak tau, katanya kemarin lagi blank” jawabnya sejujurnya, Disha memang menemani Deva hingga malam hari, sebelum akhirnya salah satu teman Deva mengantarnya pulang. “Lo masih nempel-nempel aja sama Deva? Bukannya udah putus?” Disha mengangguk pelan. “Iya. Trus kenapa?” Gadis itu mengalihkan pandangannya pada teman-teman yang baru memasuki kelas. Reda menghela nafas. “Sekarang jelasin ke gue, hubungan lo sama Deva itu sekarang gimana? Seluruh sekolah juga tau Dis, Deva Cuma sayang sama lo” Disha tak mampu membalas kata-kata Reda. Dia tau, dia begitu tau perasaan Deva padanya. Hanya saja, semuanya akan lebih rumit ketika dia terjebak dengan Deva. Terkadang, memang Hati tak akan pernah bisa dipaksakan. Baginya, seburuk apapun pemuda itu dimata orang-orang, dia tetap terlalu baik untuk Disha. Ketulusan Deva tak akan bisa ditandingi oleh siapapun. Disha tau dan dia mencoba untuk mengerti. Hanya saja...  “Gue sama Deva udah mutusin buat sahabatan lagi, Da. Nggak ada lagi yang lain" “Ini semua gara-gara obsesi lo sama Tristan?" Disha menggeleng cepat, “Ini nggak ada hubungannya sama Tristan" yang langsung membuat Reda mendengus kesal. “Gue tau, lo putus sama Deva seminggu setelah Tristan balik dari exchangenya kan?" Disha mengangguk. Hanya mengangguk. Karena semua itu benar, Disha memang memutuskan Deva setelah satu minggu kepulangan Tristan dan Tanaya. Tidak ada yang bisa menampik fakta itu. Disha tau dan Deva mengerti saat itu. * Disha tak pernah menyadari arti penting kehadiran Deva setelah dia melewati perdebatan panjang dengan Reda sepanjang mereka belajar tadi. Akibatnya, Disha memilih untuk menunggu band Tristan di ruang musik setelah pulang sekolah. Gadis itu tak berniat untuk membeli makanan, pikirannya melayang pada beberapa bulan yang lalu.   Ladisha Amoura: Dev, lagi ngumpul ya? Boleh minta jemput di Joy Futsal nggak nanti jam 8?   Disha mengamati teman-temannya yang sudah pulang satu persatu. Reda meminum air mineral disampingnya dan menoleh ke arah Disha. Sampai saat ini Deva hanya membaca pesannya. Sepertinya cowok itu tengah sibuk dengan teman-temannya. Disha menggerutu pelan, dia melihat ke luar gedung futsal ini dan hujan masih turun dengan derasnya. Dari awal mereka sampai disini, hujan belum juga mereda, malahan semakin malam hujan semakin deras. “Gimana? Belum dibales Deva juga?" Reda tampak sudah siap untuk pulang, gadis utu tak mengganti baju olahraganya. Disha hanya menggeleng cepat. Dimana sih Deva? Tumben-tumbennya cowok itu tak membalas pesannya. Disha bukannya kehilangan tapi dia tak ingin ketika dia pulang nanti Deva malah datang dan membuatnya semakin tidak enak hati. Bagaimanapun dia tetap harus menjaga perasaannya pacarnya. Agak canggung ketika Disha mengingat status mereka saat ini. Pacar. Seseorang yang berada di hati. Atau seseorang yang bisa membuatmu jatuh cinta. Apa definisi pacar yang sesungguhnya? Karena Disha tak menemukan itu di dalam diri Deva. Meskipun pemuda itu terus meyakinkan bahwa suatu hari Disha akan memiliki rasa padanya. Disha bahkan belum bisa menemukan rasa itu di dalam diri Deva. Dia belum memiliki rasa apapun. Setelah satu bulan mereka menjalani status ini. Bagi Disha, bersahabat dengan Deva sudah cukup baginya. Tidak perlu hubungan spesial yang pada akhirnya membelenggu mereka. Setelah pacaran, hanya kecanggungan yang terjadi diantara mereka. Tidak ada kasih dan hanya cowok itu yang menyayanginya. “Lo pulang bareng gue aja sini. Si Deva nggak akan jemput lo" Reda meyakinkan Disha lagi dan membuat gadis itu berat hati untuk beranjak. “Bokap gue udah jemput nih di depan" ucap Reda lagi. Ladisha Amoura : Dev, gue pulang sama Reda aja ya. Hujannya nggak berenti2. Kasian lo kalau harus jemput gue.   Baru saja Disha mengirim pesan itu, pesan baru masuk ke hpnya. Anggie LS : Dis, Deva ada diluar nih jemput lo. Katanya kuotanya habis sama nggak ada pulsa. “Deva udah di depan" Reda mengangguk dan tersenyum. Mereka keluar dari gedung futsal itu dan segera berpisah karena orangtua Reda sudah menunggu tepat di pintu keluar. “Dah dis" Disha membalas lambaian tangan Reda dan mulai mencari Deva. Pemuda itu tampak bersandar di tiang dekat pintu masuk. Menyesap rokok yang ada di tangannya. Disha langsung menghampiri Deva. Membuat Deva segera mematikan rokoknya. Disha tak pernah suka Deva merokok di depannya. Meskipun Deva bukan perokok berat, Disha tetap tidak menyukai aktivitasnya itu. “Hai, cantik" Disha meringis mendapatkan gombalan Deva. Sudah biasa menerima ucapan-ucapan Deva yang memang perayu ulung. Untung saja Disha mengenal Deva dari kecil, hingga dia sudah tak heran dengan kelakukan cowok itu. “Baju lo basah? Kenapa sih nggak bales pesan gue pake hp orang? Kalau tau gini gue nggak jadi minta jemput" Disha mulai mengomel karena merasa tidak enak. Demi dirinya, Deva rela hujan-hujanan. “Gue nggak mau cewek gue pulang sama orang lain, sayang" Hati Disha tergetar mendengar panggilan yang diucapkan Deva. Ini bukan pertama kali tapi Disha tetap merasa tidak pantas mendapatkan panggilan itu. Menyembunyikan wajahnya yang mulai terasa aneh, Disha memandang rintik hujan yang turun di depan mereka, masih jelas meskipun malam sudah datang. “Lo nggak perlu ngerepotin diri lo demi gue, Dev" Deva menarik Disha kedekapannya dan tersenyum cerah. “Ini nggak ngerepotin. Gue ngelakuin ini karena ini yang hati gue mau" Disha semakin murung mendengar ucapan itu. Tapi gue sedang nggak mau elo, dev. Bagaimana? Lamunan Disha tersentak ketika mendengar pintu ruang musik terbuka. Gadis itu langsung tersenyum ceria ke arah Aldo, Tristan dan Lendra Setelah mendapatkan balasan senyuman dari Tristan, Disha langsung menghampiri tiga orang itu. “Udah lama nunggu kita? Kita baru selesai makan?" Disha mengangguk memaklumi. “Nggak apa-apa kok" Tristan berdiri disamping Disha. “Lo udah makan?" Disha tersentak mendengar pertanyaan Tristan. Wajahnya bersemu merah saking kagetnya. Inget Dis, dia cuma nanya buat basa-basi. Ujarnya pada dirinya sendiri. “Nanti deh" “Lo nggak lagi diet kan?" Disha tertawa, “Lagi nggak nafsu makan aja Tristan. Perhatian banget lo sama gue" Disha tertawa lagi yang mengundang tawa dari Aldo dan Lendra. Tapi satu hal yang langsung membuat Disha tersentak, astaga! Wajah Tristan memerah karena dia! Sebuah kemajuan yang benar-benar bagus. * Disha tersenyum memandangi jajaran bangunan dari balik busway tersebut. Dia tak bisa menghindari perasaan bahagianya hari ini. Mungkin ini dikarenakan jadwal latihannya bersama band Tristan tadi. Lagi-lagi Tristan. Dia tersenyum lagi. Benar-benar sudah menjadi gila. Membayangkan bagaimana ekspresi pemuda itu ketika memainkan gitarnya. Harus Disha akui bahwa cowok itu benar-benar keren. Pantas saja Tanaya tergila-gila padanya. Disha tersentak ketika menyadari bahwa shelter bus yang dia tuju sebentar lagi sampai. Sudah ada pemberitahuan dari speaker yang ada di busway tersebut. Disha segera mengenakan sweaternya dan berjalan menuju pintu. Bersamaan dengan orang-orang yang mempunyai tujuan yang sama dengannya. Disha melirik jam tangannya, masih ada setengah jam tersisa. Akhir-akhir ini Disha memang tidak mempunyai waktu untuk sekedar pergi seperti ini. Hampir setiap hari dia latihan futsal karena pertandingan semakin dekat. Tim futsal putri Flamboyan tidak akan mengecewakan untuk pertandingan kali ini. Ini adalah pertandingan terakhir mereka. Disha berjalan memasuki ruangan itu dan menyebutkan nama pada seorang petugas. Gadis itu kemudian duduk di bangku yang memang sudah disediakan. Beberapa menit kemudian orang yang ingin ditemuinya datang dan duduk di hadapannya. “Ayah!" ujar Disha ceria, gadis itu langsung membuka kantong plastik yang dia bawa daritadi, membukanya dan menyodorkannya pada Ayahnya. “Disha cuma sempat beli Sirloin steak kesukaan Ayah, nggak sempet masak yah" ujar Disha menjelaskan dengan nada yang begitu semangat, seolah tidak ada beban yang dipikulnya saat ini. “Uang jajanmu cukup?" Ayahnya yang semakin kurus dan semakin tua, Disha mengangguk cepat. Dia tidak ingin melewatkan sedetikpun kebersamaannya bersama Ayah. Mekipun dia harus mengabaikan palu tajam yang menyesakkan dadanya saat ini. “Disha tadi abis latihan band, bantuin temen Disha yang lagi nyari keyboardis" Disha mulai menceritakan hari-harinya, mencoba untuk selalu tampak bahagia meskipun dia tau keterpurukan diwajah Ayahnya belum juga sirna. Mata Ayahnya masih segelap malam, kehilangan mataharinya yang membuat Ayahnya hidup. Disha tau betul rasanya. “Ayah kenapa makin kurus? Disha aja makin gemuk" Disha terkekeh pelan meskipun tau hanya dijawab oleh senyuman kecil oleh Ayahnya. “Kenapa kamu mau main keyboard dis?" “Disha kangen" Sekelebat banyangan Bunda mengajarkan piano menerjang kesadarannya. Disha tersentak dan segera mengumpulkan tenaganya yang tersisa untuk menatap Ayahnya. Setitik air matanya sudah tak dapat dihalanginya. “Udah lebih dari setahun" Mengenang Bunda adalah salah satu kesedihan terdalamnya. Wajah Ayahnya berubah drastis mengingat kejadian itu. Kejadian yang tidak akan pernah mereka lupakan seumur hidup. Kejadian dimana hidup mereka berubah menjadi begitu gelap, tanpa cahaya. Dan Disha sedang berusaha membangkitkan cahayanya sendiri. “Maafkan Ayah Disha" Palu itu kembali menghantamnya kuat. Disha terperangah, kepalan tangannya semakin kuat menelan emosi yang membludak karena permintaan maaf Ayahnya. Bukan Ayah yang membuat pergi Bunda dari mereka. Bukan Ayah. “Bukan salah Ayah" Hanya itu yang bisa diucapkannya, keduanya masih berkabung duka, duka yang amat dalam. Meskipun Disha mencoba untuk baik-baik saja. Tidak ada yang bisa menyalahkan takdir, atau kematian seseorang. * “Disha” “Dis” “Disha?” Ketika suara berat itu mengepung pendengarannya, dirinya masih terpaku jauh dari kesadaran. Kemudian suara itu kembali menggema melalui gendang telinganya, membuatnya kembali dia tersadar. Hujan masih bergerak turun dari langit, hanya perubahan waktu yang dia rasakan karena dari setengah jam yang lalu, dirinya masih berdiri di tempat yang sama dan posisi yang sama. Disha melengah dan mendapati Tristan sedang menatapnya dengan pandangan bingung, membuat gadis itu mengerutkan kening. Apa yang terjadi? Ketika Disha berusaha mencari jawaban lain, dia malah terperangkap pada mata hitam milik cassanova Flamboyan itu. Mata yang menjadi magnet yang mampu membawa teman-temannya tenggelam. Disha menghela nafas kemudian mengalihkan pandangannya. “Lo ngelamun?" suaranya terdengar khawatir. Disha menoleh lagi kemudian menggeleng. “Kenapa belum pulang?” Disha tertegun, kembali masuk ke dalam lautan samudera di dalam mata Tristan yang hitam pekat itu. “Lo nggak liat ini hujan?” Musim hujan, dan sudah kebiasaan Disha bahwa dia lupa membawa payung. Seandainya masih ada Deva disampingnya, seandainya dia tidak membuang cowok itu begitu saja. Mungkin Deva akan menjadi ksatrianya untuk saat ini. Tristan di sebelahnya terkekeh pelan ketika sadar bahwa Disha sekarang tengah gugup. Dengan gemas dan spontan, pemuda itu terdorong untuk melakukan hal yang sebelumnya tak pernah dia duga, mengacak gemas rambut panjang Disha. “Gue tau sekarang lagi hujan” Tristan menoleh kedepan. “Lo nggak di jemput?” Tanyanya lagi. Tak merasa terganggu dengan sikap gugup Disha. Disha menoleh dan menyadari betul bahwa kegugupannya sekarang bertambah, dengan susah payah Disha menelan ludah cepat. “Nggak” jawabnya singkat. Tristan menoleh dan menatap Disha setengah berpikir. “Mau pulang bareng gue?” Mata Disha spontan terbelalak dan menatap mata Tristan sekali lagi. “Nggak nggak, nanti gue ngerepotin elo” tolak Disha segan. Dia sedang tidak ingin mendekati Tristan dengan suasana hati yang begitu kacau ini. Tristan tersenyum, lagi. Disha benar-benar akan pingsan rasanya. Ternyata Tristan tidak sependiam itu, pikirnya, Tristan tak sekaku anak-anak lain di kelasnya, buktinya dia cukup humble dan friendly sekarang, hal itu malah semakin membuat jantung Disha semakin berdegup kencang.  “Gue nggak merasa di repotin kok. Gimana? Tawaran gue cuman sekali loh” ucap cowok itu kembali meneliti wajah Disha. Disha mencibir. “Yaudah. Mumpung dapet tumpangan gratis” Disha tersenyum dan hampir tertawa mendengar tawa Tristan mulai meledak. Tris menggaruk bagian belakang kepalanya. “Tapi gue bawa motor. Gimana kalau sambil hujan Reda kita makan dulu di depan? Lo belum makan malam kan?” Ujar Tristan lagi. Mereka berada di salah satu studio musik milik teman Aldo, Lomba Band itu sebentar lagi diadakan dan sekolah melarang keras menggunakan ruang manapun untuk segala macam bentuk kegiatan Disha mengangguk malas, entah apa yang terjadi dengan dirinya saat ini. Bisa-bisanya memalukan di depan Tristan. “Lo bawa payung?” “Nggak” Tris menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. “Duh.. Yaudah pake ini aja buat nutup kepala lo” Tris melepas jaket jeans yang dipakainya kemudian meletakkan jaket itu tepat berada di atas kepala Disha. Disha hanya diam dan langsung menoleh ke arah Tris. Pandangan mereka bertemu dan Disha dapat merasakan nafasnya dengan cepat tercekat seketika. Dunianya seolah berhenti saat itu juga. Walaupun sesaat, Disha bisa merasakan dirinya sudah kembali sadar dan meraih kedua ujung jaket Tris. Kalau Disha tidak tau kenyataan bahwa Tristan menyukai Tanaya, mungkin Disha menganggap ini adalah modus Tristan. Tidak pernah ada cowok sebaik ini padanya selama ini, selain Deva. Namun Disha masih bisa sadar, mereka baru dekat beberapa hari dan itu tak akan membua Tristan suka padanya. Pemuda itu tersenyum kemudian memakai helmnya. “Nanti lo ke depan kafenya langsung ya, tiba-tiba gue pengen martabak itu” Tristan menunjuk warung martabak kaki lima yang ada tepat di depan Studio musik itu. “Lo suka martabak manis?” Tristan terkekeh pelan dan mengangguk. “Ya. Lo boleh beranggapan apa aja setelah ini” Disha tertawa mendengar hal tersebut. Dia mengangguk. Tris menarik tangannya dan mereka berlari di tengah hujan yang mulai mereda. Disha menatap punggung di depannya lama. Seharusnya dia harus merayakan kemenangannya mendapat secuil perhatian Tristan saat ini. Tapi kenapa? Sesaat gadis itu sadar akan sesuatu. * Tristan terkekeh saat dia dan Disha sudah memasuki kafe tersebut. Mereka membicarakan beberapa hal menyangkul Aldo dan teman-teman band sementara Disha. Membuat gadis itu benar-benar terkekeh. Harus Tristan akui, Disha begitu manis saat tertawa. Gadis itu memang tidak mempunyai lesung pipit seperti Tanaya, tapi Disha sangat menggemaskan dan manis. Ditambah dengan sikap kecanggungannya di depan Tristan. Membuat itu begitu gemas. Tristan tidak menyukai Disha, tentu saja. Dia menyukai Tanaya. Seluruh duniapun tau. Tapi ada sesuatu dalam diri Disha yang mendorongnya untuk lebih dekat dengan gadis itu. Ditambah fakta bahwa Disha merupakan mantan Deva yang merupakan tinta hitam prestasi sekolah. Mereka langsung duduk di kursi yang tepat di sebelah jendela. Mata pemuda itu menelusuri wajah Disha lekat-lekat. Wajah Disha yang basah karena guyuran hujan tadi dan bagaimana gadis itu merapikan rambutnya, benar-benar menggemaskan. Tristan kembali terkekeh ringan. “Lo kenapa ketawa mulu?” Ujar Disha mulai jengah mendengar tawa Tristan. Tristan menggeleng dan meletakkan kresek hitam martabaknya di depan mereka. “Gue baru sadar ini malam minggu. Gue malam minggu sama elo dong” ujar cowok itu tertawa. Disha tersenyum miring seraya mencibir. “Emangnya ada apa sama malam minggu?" balasnya tanpa sadar. "Ya siapa tau lo mau jalan sama cowok lo" “Gue nggak punya pacar. Nggak ada yang marah juga gue makan berdua gini sama lo. Lo gimana?" Tristan langsung terdiam, baru saja dia akan membuka mulut untuk menjawab pertanyaannya ketika seorang pelayan menghampiri mereka. Disha menatap daftar menu yang ada di depannya tanpa menoleh lagi ke arah Tris. Meskipun gadis itu sadar bahwa dia sedang di perhatikan oleh Tris. Disha masih pura-pura tidak tau. Dia tidak igin terlihat bodoh seperti biasa saat mengobrol dengan Tristan. Pelayan itu menghilang dari depan mereka menyertai daftar menu yang dari  tadi di pandang Disha.  Setelah beberapa detik berada dalam diam, Disha mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Tristan. Disha tak bisa menahan dirinya untuk tak lebih mengagumi Tristan mulai dari malam ini. Tristan sedang melamun dengan memandang ke arah hujan yang masih belum berhenti. Disha turut menoleh juga. Ada sorot menyakitkan disana. Dan Disha tak ingin tahu. Dia baru saja mengenal Tristan dan dia tak ingin merecoki kehidupan pemuda itu. “Dis" Disha menjawab pelan, masih memandang wajah Tristan. “Hm?” Tristan menoleh ke arah Disha. “Kok lo bisa pacaran sih sama Deva?” Ucap Tris, kembali mencari dari ekspresi yang ditampilkan Disha. Cowok itu tau, karena seluruh sekolah tau hubungan keduanya masih lengket meskipun mereka sudah putus. “Emang kenapa sama Deva?" balas Disha enteng, bukan pertanyaan awam yang ditujukan padanya. “Maaf ya" “Kenapa lo minta maaf?" “Siapa tau lo risih sama pertanyaan gue" Tristan tersenyum lagi, membuat Disha yakin bahwa mendekati Tristan hanya beberapa langkah lagi. “Nggak lah. Bukan pertanyaan pertama. Kenapa ya?" gadis itu benar-benar terdiam, mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Tristan. “Hm.. Karena Deva sangat baik sama gue dan dia sangat buruk ke kalian semua kali ya?" Disha terkekeh ringan, membayangkan betapa buruk tabiat Deva diantara teman-temannya namun bisa begitu manis saat bersama Disha. “Lo cinta banget ya sama dia ya?" Disha menggeleng pelan. “Deva itu sahabat dari kecil" Tristan mendengus. “Lo nggak jawab bertanyaan gue" “Gue nggak suka Deva buat jadi pacar gue. Lo belum dengar kalau gue suka sama lo?" Disha menatap lurus ke arah mata Tristan yang membuat pemuda itu memerah. Astaga, dia akan suka sekali menggoda Tristan. Tidak mungkin Tristan tidak mendengar kabar itu, semuanya sudah tau bahwa Disha secret admirer Tristan. Aldo saja sudah sadar dari awal. Namun reaksi yang ditampilkan Tristan benar-benar membuatnya ingin tertawa. “Hahahaha becanda! Astaga, muka lo" Disha tertawa renyah, seperti tidak terganggu dengan kecanggungan yang sempat terjadi diantara mereka. Membuat Tristan lagi-lagi malu untuk melihat wajahnya. “Gue pikir serius” Tris tertawa miris. Disha menggeleng. “Gue tadi serius kok” Tris menyipitkan mata tak percaya. “Disha!” Ujarnya memberi penekanan, tidak suka dengan candaan Disha. Disha tertawa. “Pede banget sih lo. Wajar ya, orang ganteng gini" Tristan benar-benar membuat mukanya dari hadapan Disha. Baru kali ini dia merasa dipermainkan oleh seseorang, baru kali ini dia merasa begitu malu. “Selera humor lo payah!" Disha tersenyum. Tidak ingin menambah kecanggungan dalam diri Tristan dia mulai mencari topik baru. “Band kalian udah dari kapan sih?" Dan percakapan sepanjang malam itu dimulai dari pertanyaan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN