Tidak ada yang lebih membingungkan dari keakraban yang terjadi diantara Tristan dan Disha. Semua orang bahkan sempat terheran-heran. Karena sikap Disha yang memang selalu hangat di depan teman-temannya bisa meluluhkan sikap kaku Tristan.
Bagaimana bisa?
Mungkin inilah yang disebut takdir, atau ini adalah kemampuan Disha yang bisa membuat Tristan berpaling padanya. Setidaknya, pemuda itu sudah menerimanya sebagai teman. Tempat dia bercanda meskipun Tristan belum menemukan alasan lain diantara kedekatan mereka.
Mereka hanya cocok. Itulah yang Tristan tau. Mereka cukup nyambung dalam berbicara. Disha dengan sikapnya yang easy going melengkapi sifat Tristan yang canggung.
Baru kali ini Tristan menemukan orang seramah dan seasik Disha. Bahkan sebelumnya mereka belum pernah berinteraksi sedikitpun.
Hanya butuh seminggu dan semuanya menjadi benar-benar berbeda.
“Jadi lo mulai ngasih harapan ke Disha?" Tristan tersentak mendengar penuturan Aldo yang tidak masuk akal. Bagian mana yang dia memberi harapan pada Disha?
Dia menyukai gadis itu bercerita, menceritakan apapun dan memancing dirinya menceritakan sesuatu. Tristan menyukai fakta itu.
Dan dia sempat terfikir bahwa dia dan Disha mungkin akan saling melengkapi jika menjadi pasangan. Itu hanya jika. Jika merupakan konotatif untuk menunjukkan sesuatu yang tidak akan terjadi.
Tristan menatap Disha yang dengan semangat bercerita dengan Anggie. Akhir-akhir ini gadis itu sering mengunjungi Anggie. Meskipun tak pernah terfikir bahwa Disha melakukan itu karena mendekatinya, Tristan sadar ini satu kejanggalan yang menariknya untuk tahu.
Tristan ingin tau segala sesuatu tentang Disha. Itulah yang diinginkannya saat ini.
“Tris" suara lembut Tanaya menyadarkannya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Tanaya bisa membangkitkan sisi itu dalam dirinya. Dan Tristan menyukainya.
"Ya Nay?" cowok itu memalingkan wajahnya dari memandangi Disha ke arah Tanaya yang baru datang karena mengurus sesuatu di ruang guru. Wajah cantik Tanaya tersenyum kearahnyadan sempat membuat Tristan kesusahan bernafas beberapa detik.
“Temenin aku ke toilet ya" Tanaya menarik tangannya dengan cepat, membuat Tristan mau tak mau mengikuti gadis itu. Saat melewati Disha, pemuda itu tersenyum ke arahnya.
Dan ada sebuah perasaan lega. Ketika Disha juga membalas senyumnya dengan teramat manis.
*
Ini gila. Tristan bukan tak menyadari perubahan dalam hatinya. Fakta bahwa dia juga menyukai Disha berada di sekitarnya. Gadis itu unik dan mampu membawa suasana baik bagi dirinya. Disha mampu membuatnya lebih ceria.
“Ladisha ya?" Tanaya langsung menebak ketika mendapati Tristan lagi-lagi termenenung. Pemuda itu lebih murung bersamanya akhir-akhir ini dan bisa mendadak berubah ceria saat gadis bernama Ladisha itu ada di sekitarnya.
Ancaman itu telah datang.
“Bu.. Bukan kok" Tristan mencoba meyakinkan, tapi Tristan bukan pembohong handal. Cowok itu tengah mengedarkan pandangannya ke arah kelas yang mereka lewati bukan ke mata Tanaya.
“Ohh"
Mendapati hal itu Tristan tak bisa lagi berbohong. “Tertarik Nay, hanya tertarik" ujarnya lagi, dia tidak akan bisa menutupi kenyataan yang sekarang sudah disadarinya. “Disha itu friendly banget, sekali kamu ngomong kamu bakalan nyambung banget sama dia. Aku nggak pernah seopen itu sama orang lain kecuali kamu dan Aldo" Tristan menghela nafas dalam ketika mekihat raut wajah Tanaya yang tiba-tiba berubah menjadi sedih.
“Kamu paling tau siapa orang yang aku suka, Nay" Tristan semakin resah dengan ucapannya. Jika Tanaya membalas maka mereka akan terlibat perdebatan yang sangat panjang. Ini bukan topik baru lagi.
Tristan sedang tak ingin berdebat.
Untungnya, Tanaya memilih diam. Gadis itu menghentikan jalannya cepat membuat Tristan turut mengikuti. Matanya mencari penyebab gadisnya seperti itu.
Dan Tristan kembali menemukan jawabannya.
Feya dan gengnya sedang berada di depan kamar mandi cewek.
“Mau kemana lo, princess?" Tanaya baru saja akan balik melangkah namun intrupsi itu menghentikan langkah mereka.
Tristan tau Tanaya sudah mulai ketakutan, gadis itu tak memiliki daya apapun untuk melawan Feya dan gengnya. Selama ini Tanaya hanya pura-pura kuat melawan cewek-cewek berandal itu.
Tristan berdiri selangkah lebih maju dari Tanaya, berusaha melindungi cewek itu. Sampai saat ini mereka tidak pernah tau kenapa Feya tak berhenti mengganggu Tanaya.
“Mau ngapain lagi lo?" Tristan terlihat tidak suka dengan cara Feya memanggil Tanaya. Jelas itu intimidasi secara vokal.
“Gue nggak ada urusan sama lo, ya, ganteng!" Feya mengalihkan pandangannya kearah Tanaya yang masih diam ditempatnya.
“Sini lo princess. Kenapa lo nggak jadi ke toilet. Karena ada gue?" Feya mulai mendekati Tanaya yang masih menegang.
“Fey, udah lah. Ngapain lo terus-terusan ganggu Naya"
“Bacot" Feya meringis menatap Tristan. “Gue nggak ada urusan sama cowok"
“Tapi Tanaya urusan gue!"
Feya langsung mencengkram kerah baju Tristan membuat pemuda itu tersentak.
“Fey!"
Teriakan itu membuat Feya langsung spontan melepaskan cengkramannya di kerah baju Tristan. “Gue nggak takut sama lo Tris. Tapi karena lo cowok yang disuka Disha. Gue lepasin lo kali ini" gadis itu dengan cepat menarik tangan Tanaya yang membatu di tempatnya.
Tanaya langsung menahan tangan Feya. “Gue bakal lapor ke kepsek"
“Silahkan!" Feya tergelak. “Lo pikir catatan hitam gue cuma giniin lo doang? Pengecut" Feya menepuk-nepuk pipi Tanaya sebelum akhirnya pergi.
Tanaya sudah tidak tahan. Sepeninggalan Feya dan gengnya di hadapan mereka. Gadis itu langsung terduduk. Menangis. Dan Tristan benar-benar benci, dirinya tidak bisa melindungi orang yang disayanginya meskipun sudah di depan matanya.
Apa yang harus dia lakukan?
*
“Tumben banget lo telat" Aldo langsung mengintrupsi kedatangan Tristan yang terlambat tiga puluh menit. Aldo paling tidak suka ada member band yang terlambat. Apalagi dengan alasan yang sangat pribadi.
“Sorry do. Gue udah bilang mobil Tanaya bannya dikempesin sama Feya. Jadi gue anter dia dulu ke rumah" Tristan tampak tidak merasa bersalah sama sekali menjelaskan hal itu membuat Disha yang hanya diam bersama Lendra spontan saling pandang.
Sebelum Aldo semakin panas, Lendra mengambil alih percakapan, "yaudah ini udah h-3 lo mau ngeributin hal nggak penting gini?" Lendra tersenyum tipis ke arah Aldo, mengingatkan agar cowok ini tidak mempermasalahkan ini berlarut-larut.
“Masih dikerjain juga cewek lu sama Feya?" Aldo tampak sudah tidak marah dengan Tristan, membuat Disha yang mengamati terkagum-kagum dengan perubahan mood spontan dari cowok itu.
Tristan hanya mengangguk, “Hampir tiap hari. Tanaya udah merasa nggak aman juga"
“Masalah mereka sebenarnya apa sih?"
Tris mengangkat bahu. “Gue juga nggak ngerti"
Mendengar hal itu Disha tersenyum tipis ke arah Tristan yang langsung dibalas Tristan dengan senyuman hangat, cowok itu tampak manis sekali. Membuat jantung Disha berlompatan di dalam dadanya.
Lendra memukul drumnya agar mereka segera latihan.
“Oh ya, besok gue ijin nggak latihan ya" ujar Disha. Aldo dan Tristan langsung menoleh ke arahnya.
“Anak kelas 11 ngajak tanding futsal, biasa minta pengakuan"
Sudah tidak rahasia lagi dengan kesenioritasan di sekolah mereka. Kelas sebelas yang belum sekalipun selama semester ini diakui oleh senior mereka, berupaya memantaskan diri dengan meminta pertandingan sepihak kepada seniornya.
“Lu main?" Aldo penasaran.
Disha mengangguk, “Habis pulang sekolah. Futsal cowok dulu baru abis itu cewek. Sekalian latihan tambahan buat pertandingan akhir tahun nanti"
“Lo segala macem bisa ya Dis. Musik bisa olahraga bisa" puji Tristan mengambil gitarnya.
Disha tertawa renyah, geli dengan pujian Tristan yang bukan pertama kali dia dengar. “Gue lemah di akademik, nggak sepinter elo Tris"
*
Disha menelurusi lorong sekolah dengan tergesa-gesa. Hari ini guru rapat mendadak dan membuat kelas dua belas langsung heboh dan berlarian ke kantin. Namun bagi Disha, rasa rindunya sudah tidak bisa ditahan. Dia harus bertemu Deva, dia harus memastikan keadaan pemuda itu.
Sudah seminggu ini Deva tidak masuk sekolah, atau entahlah Disha juga tidak tau apakah dia sudah kembali sekolah atau belum, kesibukan dan ambisinya mengalihkan perhatiaannya.
Dia sampai ke kelas Deva yang hanya tinggal beberapa orang, Disha mengamati wajah mereka satu persatu ketika mendapati Feya di sudut ruangan gadis itu langsung menuju ke arahnya.
“Fey, Deva dimana?" Disha menanya tanpa basa basi membuat gadis itu yang tadinya tidak menyadari kehadirannya langsung tersentak.
Feya mengangkat bahu, “Mana gue tau. Di ruang sidang kali"
Disha mendengus. Ruang sidang adalah ruang gelap di dekat gudang yang selalu digunakan anak-anak seperti Deva dan Feya untuk mempermainkan adik kelas atau orang-orang yang tak mereka suka.
Ruangan itu gelap dan jauh dari kantor guru, sudut sekolah itu juga biasa dipakai anak-anak untuk merokok sehingga berada disana tak ubahnya berada di pinggir kali yang luar biasa bersampah. Disha tak pernah suka menemui Deva disana. Tapi.. Mau bagaimana lagi?
Disha sudah akrab dengan ruangan itu. Terlebih saat ingin mencari Deva yang sudah bisa dipastikan kemana saat cowok itu menghilang. Dulu.
Sekarang dia tak pernah datang ke sudut sekolah itu.
“Iya gue denger ada anak kelas sepuluh yang sengaja jatohin tong sampah pas si redho lewat. Dia langsung lapor ke Deva. Paling anak-anak itu lagi ngeksekusi"
“Dia mau langsung mau nonjok orang setelah babak belur?" tanya Disha tak percaya.
“Who knows?" timpal Feya ogah-ogahan. Gadis itu tampak tak tertarik sama sekali. “Lo ngapain nyari Deva? Kangen mantan?"
Disha pura-pura meringis. “Enggak. Gue mau makan di kantin?"
“Kenapa nyari Deva?"
“Gue belum ambil duit, lo tau Deva banyak hutang sama gue" jawaban Disha yang asal-asalan mengundang tawa Feya dan teman-temannya. Gadis itu hanya tersenyum.
“Gue mau nanya ke elo fey?"
“Deva lagi?"
Disha tersenyum miring. “Bukan. Lo udah bawa Tanaya ke ruang sidang?"
Pertanyaan yang langsung mengundang wajah serius sekaligus jail di wajah Feya. Gadis itu benar-benar dendam pada Tanaya tampaknya.
“Kenapa lo penasaran?"
Disha tak menjawab.
“Minggu kemaren" jawab Feya puas. “Langsung kicep. Dasar barbie"
Astaga. Pantas saja Tanaya langsung ketakutan bertemu Feya. Tidak ada yang mau masuk ruang sidang, apalagi bersama Feya da gengnya. Bahkan Disha pun tidak akan pernah menginginkannya.
“Lo belum puas ngerjain dia?" Disha makin penasaran.
“Tenang aja gue nggak akan sentuh pangeran lo. Well, walaupun dia selalu ikut campur" Feya tersenyum geli menatap Disha membuat gadis itu mengerti akan pertanyaannya yang dijawab secara tersirat oleh Feya.
Disha hanya menimpalinya dengan senyuman.
*
Tristan : semangat futsalnya, Dis. Gue tau lo bakalan menang.
Ladisha : ofcourse. Gue nggak pernah mengecewakan :p
Disha langsung bersemangat mendapati pesan dari Tristan. Seperti ada energi positif yang disampaikan dari pesan itu. Membuat Disha semakin bersemangat dan wajahnya yang mulai memerah. Seperti mimpi Tristan memperhatikannya.
Tristan: well, kalau lo cetak gol paling banyak itu baru nggak mengecewakan.
Ladisha : apa yang bakal gue dapat kalau gue cetak gol paling banyak?
“Ngapain lo senyum-senyum?" Reda mendapati temannya yang sangat aneh hari ini.
“Tristan will ask me to date" ujarnya yakin.
“Mimpi!"
Tristan : Sirloin steak?
Yes! Benar kan? Hanya segampang itu mendapatkan perhatian Tristan.
Ladisha : deal. Kalau gue cetak gol paling banyak, you will treat me.
Tristan : deal, my lady.
Ladisha : gue jadi GR bacanya. Lo kesini dong, semangatin gue yang mau dapat traktiran
Tristan : lah? Nama lo Ladisha. Lady.
Lo tanding dimana sih?
Ladisha : Palbis. (Paling bisa)
Eh seriusan?
Tristan : i'm free.
Ladisha : Joy Futsal jam 15.00 gue bakalan tanding.
Tristan : see you there.
Benar-benar mimpi. Disha benar-benar tidak menyangka bahwa Tristan akan berlaku seperti ini padanya.
Apa Tristan akan mulai menyukainya?
Deva G : 15 menit lagi gue otw kesana. See you there.
Disha hanya terdiam membaca pesan Deva. Apa yang terjadi jika Deva tau Tristan akan ada disini juga?
*
“Ngapain lo ngajak-ngajak dia segala tadi?" Deva meninggikan suaranya saat mengatakan hal itu kepada Disha. Emosi yang dia tahan dari awal melihat Tristan di Joy Futsal akhirnya meledak, membuat gadis itu meringis tapi tidak takut.
Ia sudah terlalu terbiasa menghadapi kemarahan cowok itu. Hingga saat dia ingin pergi, semuanya terasa masih begitu mengikatnya.
Disha menyerahkan helmnya kepada Deva, mereka sekarang sudah berada di depan rumah Budhe Disha, “Bagus dong. Berarti acara pedekate gue mulus. Lo harusnya bangga sama gue karena Tristan nggak sesusah itu buat dideketin"
“Lo tau kan siapa yang lo deketin sekarang?"
Disha hanya mengangguk pasti. “Tristan"
“Bukan itu maksud gue dis!"
Disha menghela nafas lelah. Seharusnya tadi dia pulang bersama Tristan saja kalau Deva tidak langsung menghampiri dan hampir menonjok wajah tampan Tristan. Dia tidak ingin direbutkan dan menjalani drama-drama yang memuakkan.
“Gue nggak mau ribut sama lo ya dev. Tristan treat me like queen. Pantes Tanaya nggak bisa lepas dari dia"
Deva tak tertarik sama sekali dengan pembicaraan mengenai Tristan dan Tanaya. Baginya, Disha adalah segala ketertarikannya.
“Disha, dia nggak sebaik itu Dis. Lo cuma bakalan sakit hati suka sama dia"
Disha tersenyum pahit. “Gue nggak mau ribut sama lo. Lo pulang aja sekarang. Budhe udah pulang, gue nggak mau Budhe denger kita ribut di depan rumahnya, lagian juga lagi ada tamu" Disha meninggalkan Deva begitu saja, tidak peduli lagi dengan sikap Deva yang semakin overprotective kepadanya.
Seharusnya, Deva yang paling mengerti dirinya masalah ini, karena dari dulu, Devalah yang paling mengerti dirinya setelah dirinya sendiri. Sayangnya Deva selalu kalah dengan emosinya, pemuda itu menempatkan emosi diposisi paling utama dibandingkan realita. Membuat Disha sulit mengerti Deva yang ini, yang sekarang.
Disha masuk ke dalam rumahnya dengan mengucapkan salam. Budhe dan Pakdhe ada di ruang tamu bersama seorang tamu yang belum dikenalnya.
“Malam pakdhe Budhe, om" Disha menyalami satu persatu orang yang ada di ruang tamu tersebut. Meskipun dia merasa tidak pantas berhadapan dengan tamu penting Budhe karena badannya bau keringat dan belum mandi.
Budhe tersenyum hangat kearahnya, “Disha, ini om David, om David ini akan jadi pengacara Ayah kamu mulai sekarang"
Kaki Disha yang tadi terasa begitu kuat kini langsung melemah, perlahan gadis itu duduk di salah satu kursi kosong yang ada di ruang tamu. Pandangannya mengabur, namun Disha berusaha menahan diri. “Maksud Budhe? Om Gafa?" dia tak pernah dilibatkan diskusi masalah ini dan tiba-tiba saja dia mendapati bahwa ada perubahan pengacara. Apa yang terjadi sebenarnya.
Pakdhe menepuk pelan pundak Disha, “Om gafa udah nggak bisa diandalkan lagi, dis"
“Dan om ini?" Disha langsung memotong.
“Istri om David ini sahabat lama Bunda. Waktu Budhe bertemu dan menceritakan hal ini... Percayalah Dis, om David ini adalah pilihan terbaik untuk saat ini"
Untuk saat ini. Rasanya d**a Disha dihantam ribuan palu yang terasa begitu menyakitkan. Ini bukan pertama kali, namun rasanya tetap sama. Disha menghela nafas dalam mengendalikan dirinya. Dia harus tetap kuat.
“Sekaligus jadi pengacara pakdhe dan Budhe untuk beberapa bulan kedepan"
Telinga Disha langsung berdengung nyaring. Terasa menyakitkan mendengar hal ini. Semuanya? Apa maksud Budhe?
“Mak..sud Budhe?" dia tak bisa lagi bertanya.
Budhe menghela nafas dan mendekati Disha, memeluk keponakan satu-satunya itu dengan erat. “Maafkan Budhe Dis, kami dicurigai. Firm Pakdhe, KPK sudah mengeluarkan suratnya. Akan ada beberapa penggeledahan satu bulan kedepan, termasuk rumah ini. Mas Jati dan Vivian terpaksa harus bertahan di amerika dulu sampai kasus ini selesai"
“Disha nggak ngerti"
“Kamu harus pindah Dis. Penggeledahan ini ataupun yang akan terjadi pada pakdhe dan Budhe, nggak baik untuk kamu"
Apa ini? Apa yang baru saja terjadi pada dirinya? Pada keluarganya.
“Kenapa Budhe nggak bilang dari awal!" Disha menahan isakan yang akan keluar. Walaupun rasanya berbeda tetap saja saat ini dia tak bisa menghilangkan rasa shocknya.
“Apa-apaan ini Budhe? Kenapa.. Kenapa semua yang Disha punya.... Jadi seperti ini?" Disha tak menitikkan air matanya, dia sama sekali tidak menangis. Wajahnya terlihat sangat pias.
“Disha nggak akan bisa kuat seperti ini, Budhe”
Pada akhirnya, tapi pertanyaan itu begitu menyakitkan didengar oleh orang-orang di ruang tamu itu.
*
Hari itu terasa begitu panas, lapangan bola yang biasanya dipenuhi oleh murid-murid tak menampakkan batang hidungnya. Semua lebih memilih untuk tetap berada di dalam kelas.
Hanya Disha yang mendung.
Wajah gadis itu tampak tidak menampilkan ekspresi apa-apa ketika dia digoda oleh Reda perihal hubungannya dengan Tristan. Seharian ini gadis itu hanya duduk di dalam kelas, memperhatikan pelajaran dan tidur di dalam kelas.
Ini bukan pertama kalinya Disha seperti ini.
“Lo lagi pms ya?" Reda akhirnya berkomentar atas sikap Disha yang begitu dingin.
Disha mengangguk perlahan, “Sakit banget perut gue sampe nggak bisa ngomong"
Bohong. Tentu saja Disha adalah pembohong yang cukup pandai menutupi semuanya hingga orang seperti Redapun akhirnya mengangguk menyerah.
“Gue anter lo ke uks ya?"
Disha menggeleng pelan. “Masih ada nenek lampir gila aja gue bolos" nenek lampir adalah panggilan bu Nuri dari anak-anak Flamboyan. Mungkin jika Bu Nuri tau akan panggilan ini, satu Flamboyan bisa dihukum habis-habisan.
“Lo sakit kan, muka lo juga pucat"
Disha menggeleng lagi. Dia tidak ingin berada di tempat sepi ketika suasana hatinya terasa begitu kesepian. Tidak ada yang tau bahwa Disha pemendam kesedihan secara mendalam. Tidak ada yang tau bahwa sebenarnya, kelemahan Disha adalah dia tidak ingin ditinggal lagi.
Disha benar-benar bisa menyembunyikan semuanya dengan baik. Masalah keluarganya, masalah dirinya semuanya. Dia bisa menyembunyikannya dengan benar.
Tidak ada yang pernah tau saat-saat gadis itu melewati masa terberatnya.
Tidak ada, Deva sekalipun.
*
Disha memang sudah gila. Saat semua teman-temannya sudah pulang dari sekolah dia memilih untuk berada di kelas. Menghabiskan waktu. Hanya ini cara yang paling benar di dalam hidupnya.
Dia sudah tak tau lagi harus pulang kemana. Apa definisi rumah sebenarnya? Siapa yang menunggunya? Apa yang dia tunggu?
Tidak ada yang bisa menjelaskan hal itu padanya.
Dia benci bersikap dramatis seperti ini namun inilah hati, yang memiliki seribu satu macam drama di dalamnya.
Ketika dia akan berjalan ke toilet ketika sebuah suara mengintrupsinya.
“Disha!"
Disha menoleh dan mendapati Tristan berlari dengan panik ke arahnya, pemuda itu tampak pucat sekali. Ada sirat ketakutan yang tampak diwajahnya. Tak ada lagi getaran yang biasa muncul saat Tristan berada di dekatnya.
Disha sedang tak ingin berpikir, meskipun kehadiran Tristan menambah warna di hidupnya yang kelabu ini.
“Apa Tris?" Disha mencoba tersenyum hangat, mengabaikan raut kecemasan yang dibawa Tristan.
“Tanaya" mata Disha langsung menyipit.
“Lo tau guru-guru udah pada pulang? Tanaya diseret Feya ke ruang sidang!"
Hatinya berkecamuk mendengar hal itu. Bukan. Lebih tepatnya dia tidak menyukai ekspresi kekalutan yang ada di wajah Tristan demi Tanaya.
Apa maksudnya?
Disha sedang tidak berada di dalam mood yang baik untuk menolong seseorang. Perasaannya makin tak karuan.
“Please Dis, gue nggak bisa ngehalangin mereka. Deva ngehalangin jalan gue!" Tristan tampak lebih memohon kepadanya. Membuat Disha terperangah hanya beberapa detik.
“Trus mau lo apa?" tanya Disha sinis, sebuah senyuman simpul terlukis dibibirnya.
“Tanaya udah masuk ruang itu sekali, terakhir dia masuk dia nggak bisa jalan saking takutnya Dis. Please, lo bantu gue. Gue nggak bisa liat Tanaya digituin"
Emosi yang ada di dalam diri Disha langsung meledak seketika. Dia benar-benar tidak tahan untuk memaki Tristan.
Ia siap meledak.
“Trus hubungannya apa sama gue?! Apa untungnya buat gue nolongin Tanaya lo itu. Lagian gue nggak bisa menghentikan Feya, nggak ada yang berani ikut campur urusannya!" Disha segera pergi dari hadapan Tristan menuju toilet. Menolong Tanaya? Mati saja, sekalipun dia bisa menghentikannya dia tidak akan melakukannya.
Tristan tampak tidak bisa berpikir lebih lama lagi, dia terkejut melihat apa yang dia dapati barusan. Disha membentaknya dan Disha yang tadi di depannya bukanlah Disha yang dia kenal seminggu ini.
Gadis itu berubah.
Pikirannya buntu karena memikirkan nasib Tanaya. Tidak ada lagi yang bisa menolongnya, tidak ada satupun yang bisa dia lakukan selain menunggu.
Menunggu Tanayanya.
Belum sempat dia menyerah sepenuhnya. Disha kembali kehadapannya. Gadis itu menatapnya begitu tajam, tidak ada lagi Disha yang ceria dihadapannya.
Disha menatap Tristan dengan pandangan tidak mengerti. Sudah jelas-jelas Tanaya adalah saingan Disha, harus dia meminta tolong Disha? Disha tidak akan melakukan itu untuk Tanaya. Tidak akan. Tidak sekalipun.
“Kita bisa coba cara yang lain Disha”
Disha tersentak. “Gue bisa bantuin Tanaya"
Secercah harapan itu datang.
“Thanks dis"
Disha melipat tangannya di depan d**a. “Lo pikir ini gratis? Jadi pacar gue"
Tristan spontan menganga. Apa yang baru saja dia dengar barusan? Dia dan Disha pacaran? Gadis ini benar-benar gila.
“Lo gila?"
Disha menggeleng. “Gue suka elo udah dari lama Tris. Dan kita udah deket akhir-akhir ini" Disha mengatakannya begitu datar. “Kalau kita pacaran semua orang juga pasti nggak akan kaget-kaget banget"
Apa ini?
“Apa-apaan ini dis?"
“Tawar menawar. Kita pacaran dan Tanaya aman sampai lulus"
Tristan benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dapatkan. Disha yang hampir dia sukai ternyata bukan gadis seperti itu, dia bahkan mampu memanfaatkan keadaan dengan baik.
“Gue nggak akan setuju"
“Terserah elo" Disha tersenyum sinis kearahnya. “Keputusan ada ditangan elo. Gue cuma menawarkan"
Tristan menggeleng cepat dan segera membalikkan badan. Ini gila. Dia tidak akan menyetujui hal ini, Tristan pernah berjanji pada Tanaya untuk selalu menjaga hati gadis itu. Tristan begitu menyukai Tanaya, hingga dia tidak akan mengkhianati gadis itu.
“Lo tau kan track record Feya? Lo tau alasan Tanaya sial beberapa bulan terakhir karena apa? Feya. Lo juga tau kan Feya pentolan sekolah ini dan udah beberapa orang yang hampir mati karena dia?"
Tristan mengepal tangannya. Sial. Harga dirinya terasa dijatuhkan.
"Yang membutuhkan disini itu lo Tris. Gue cuma menawarkan. Lo pikir kalau kita nggak pacaran Feya bakalan ngelepasin targetnya begitu aja? Anything need reason, Tristan. Pake otak lo buat cerna ini semua"
Tristan tidak suka. Dia benci dan juga kecewa. Rasa kalut yang dia rasakan semakin menjadi akibat bertemu Disha.
“Kalau gue setuju. Jelasin ke gue gimana cara lo menghentikan Feya"
Disha tersenyum sinis. “Gue punya cara gue, Tristan. Dan ini bukan urusan lo"
“Apa yang bisa membuat gue percaya sama lo?"
“Gue nggak pernah mengecewakan Tristan. Jawabannya?"
“I'm gonna hate you, Dis. Gue kecewa ternyata lo kayak gini"
Dia tak menyangka Disha dan Feya sama saja, sama-sama seperti ular.
“Sure, baby. Lo bisa membuktikannya sekarang. Kalau gue berhasil, besok lo jadi pacar gue”