Part 5

2887 Kata
Disha masih bisa mengingat hari dimana dia kehilangan semuanya. Keluarga yang mencintainya, teman-teman yang menyayanginya, kepopuleran yang menjadikannya ratu, serta jiwanya yang masih menenangkan. Semuanya hanya hilang karena satu hari. Satu hari dan hidupmu akan berubah. Setelah hari itu, Disha terpaksa harus menjadi parasit di keluarga Budhe, tinggal dan dinafkahi dari adik Bunda. Dia terpaksa harus pindah sekolah karena finansial Ayah yang tak mencukupi. “Pulanglah dis" saat itu, Bunda masih ada. Memintanya dengan lemah disaat-saat terakhir hidupnya. Siapa yang menyangka bahwa Bunda tak bisa menahan beban hidup lebih lama. Sejak saat itu, Disha berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan jauh lebih kuat dari hari itu. Dia tidak akan membawa petaka lagi. Dia bukan petaka. Memikirkan masalalunya yang gelap tak akan mencerahkan masa depannya. Disha harus berubah, dia tidak boleh seperti ini lagi. Ini hanya akan menyebabkan orang-orang disekelilingnya berduka. Disha tidak bisa. "Ya, jangan lupa besok jam 11 udah ada di GOR Patriot. Gue nggak mau ya kalian telat. Kita udah latihan keras akhir-akhir ini" Itulah kata terakhir yang bisa didengarnya dengan jelas karena setelah itu gadis itu melanglah meninggalkan dynamic studio itu dengan gontai. Moodnya menghilang setelah bertemu dengan Tristan. Pemuda itu tak henti-hentinya menatapnya dengan dingin sepanjang mereka latihan. Didalam hatinya, Disha tidak menyukai hal itu. “Dis, pulang bareng Tristan kan? Take care ya!" Disha menatap Aldo dan Lendra yang mendahuluinya. Pulang bareng Tristan? Seharusnya dia memang pulang bersama pemuda itu.   Deva G : dev?   Deva belum membalas pesan singkatnya dari tadi siang. Pemuda itu hilang entah kemana, biasanya Deva selalu melapor jika dia ingin kumpul dengan teman-temannya. Namun, setelah mereka putus, Deva seperti pelan-pelan menjauhinya. Mungkin ini hanya trik pemuda itu untuk menghindari Disha. Disha menggerutu pelan, sudah malam sekali. Dan Tristan belum keluar dari Dynamic. Gadis itu menghela nafasnya dalam dan membalikkan langkahnya, kembali masuk ke dalam studio itu. Dia hanya perlu menebalkan wajah dan menulikan telinga, juga mengabaikan rasa sakit saat Tristan menatapnya sinis. “Ayo pulang" gadis itu menyandar di dekat pintu, memandangi punggung Tristan yang memandangi gitarnya. Disha mengerti ini bukan situasi yang Tristan inginkan, namun cowok itu harus menjalani ini. Jika memang perasaan sayangnya begitu besar pada Tanaya. Dan Disha akan memanfaatkan kesempatan ini utuk merebut perhatian Tristan. “Mau ngapain lo?" Disha mengerutkan alis. Dia tak menyangka bahwa semesta akan berpihak kepadanya setelah mengambil banyak hal di hidupnya. “Mau ngajak cowok gue pulang"  ujar Disha enteng, seolah tidak terbebani dengan suasana mencekam yang ditampilkan Tristan. “Lo benar-benar ngejebak gue ya dis" Disha tertawa, setelah beberapa hari, ini kali pertama dia bisa tertawa lagi. “Kenapa lo terbebani banget Tris? Lo cuma jadi pacar gue, berlaku normal sebagai pacar. Lo nggak gue minta nikahin gue. Anggap aja ini pacaran main-main sampe kita lulus, setelah itu lo bisa buang gue. Ini sama-sama menguntungkan kita" Tristan mengepalkan tangannya dan membuat Disha tersenyum tipis lagi. Ini benar-benar lucu, Tristan akan semakin emosi padanya. “Buat apa lo pacaran sama gue, dis? Apa untungnya?" Disha masuk ke dalam ruangan dan duduk dihadapan Tristan. “Karena gue suka lo" jawabnya tegas, melayangkan tatapan tajamnya pada Tristan yang seketika membuat pemuda itu tersentak. “Teori lo soal pacaran ternyata ribet ya, Tris. Apasih yang lo takutin jadi pacar gue?" tanya Disha sarkatis, dia bisa melihat raut emosi kembali ditampilkan Tristan. “Lo cuma jadi pacar gue Tris. Oke biar gue perjelas. Lo cuma jadi pacar gue agar Tanaya nggak diganggu Feya lagi. Seharusnya yang sakit hati disini itu gue, karena lo masih suka banget sama si Tanaya ketika lo jadi cowok gue!" “Gue nggak mau jadi pacar lo!" harga diri Tristan terasa tercabik-cabik. “Oke. Pembicaraan selesai" Disha tak mau membuang waktu lebih lama untuk berdebat dengan Tristan. Jiwa Tristan masih labil saat ini dan kalau memang Tristan tidak mau, dia tidak akan memaksa pemuda. “Sh*t you!" “Lo takut nyakitin Tanaya ya? Gue lupa kalaukalian taken soon to be. Hem.. Berarti udah tau perasaan masing-masing" Disha berjalan menuju pintu dan berbalik lagi ke arah Tristan. “Atau... Lo takut jatuh cinta beneran sama gue" “Gue nggak akan suka lo, Dis. Nggak akan" Disha tersenyum tipis dan meninggalkan Tristan, tidak ada gunanya menggunakan Tristan demi semua ini. Tristan tidak akan berpaling. “We will see, setelah lo jadi pacar gue. Jangan jadi pengecut lo!" Disha tersenyum lagi dan kali ini benar-benar pergi, lebih baik dia memesan taksi sekarang. Tidak ada gunanya terus-terusan memaksa Tristan. Pemuda itu tak akan mengubah pikirannya. “Lo pikir gue takut?" Disha menghentikan langkahnya dan berbalik, mendapati Tristan sudah ada di depannya. “Ketika lo jadi pacar gue, bertingkah normal di depan orang-orang Tris. Gue nggak mau lo deket-deket sama Tanaya lagi. Dan terakhir.. Belajar suka sama gue" Disha mengulurkan tangannya dan disambut dingin oleh Tristan. “Gue nggak mau orang lain tau masalah internal kita" Tristan bukan hanya ingin melindungi Tanaya. Disha tau betul akan hal itu. Pemuda itu mungkin penasaran padanya. Disha tak pernah sejahat ini sebelumnya, namun inilah cara dia untuk memulai semuanya kembali juga sekaligus mematahkan keinginan Deva yang terus berusaha menghentikannya. * Tristan benar-benar berat menunggu disini. Pemuda itu menatap rumah Disha yang hampir seluas rumahnya itu dengan malas. Tristan tak bisa menampik dulu dia bahkan sempat atau mungkin akan menyukai Disha. Gadis itu gadis luar biasa yang bisa membuatnya menjadi lebih hangat. Disha yang ceria dan Disha yang suka bercerita. Seolah tanpa ada beban. Tanaya tak pernah seperti itu padanya, meskipun Tanaya suka bercerita, gadis itu kadang lebih memilih untuk membaca buku daripada melihatnya. Dimanapun, dan kapanpun. Tristan bahkan sempat berpikir bahwa Disha adalah pelengkap hidupnya. “Lo pikir ini gratis? Jadi pacar gue” Tristan menggeram pelan. Sialan. Sial! Sial! Sial! Hanya mengingat kata-kata itu, hati Tristan bisa berbalik menjadi lebih buas membenci Disha. Kalau ada gadis itu Tristan serasa ingin menonjoknya, memukulnya, namun tetap saja Tristan tidak tega membiarkan wajah manis itu terluka. Sial. Sempat-sempatnya gue muji dia! Rutuk Tristan dalam hati. Harga dirinya tercabik dan dia benar-benar merasa dipermainkan. Bagi Tristan, pacaran itu adalah sebuah komitmen yang harus dipertanggungjawabkan. Tidak ada yang namanya pacaran main-main. Sekali kamu jatuh kamu harus meneruskannya. Namun Disha? Tristan mengepal tangannya, demi Tanaya. Semua ini harus ia lakukan demi Tanaya. Jujur saja, ia sudah kehabisan akal menghentikan Feya. Dan ketika Feya membawa-bawa nama Disha, Tristan tau malaikat bagi Tanaya adalah Disha. Namun tidak dirinya. Tristan sempat heran, kenapa orang-orang bisa begitu menyukai Disha? Gadis yang sudah menginjak-injak harga dirinya. Tidak ada seorang lelaki di dunia ini dipermainkan, dan Disha berhasil mempermainkannya. Bagi Tristan, Disha hanya segumpal awan hitam yang begitu mengganggu hari-harinya. Disha adalah sosok hitam yang datang m*****i warna cerahnya. Disha seperti itu, sehingga Tristan bertanya-tanya, apa yang bisa mereka lihat dari Disha? Tidak ada satupun bagi Disha yang bisa dilihat kecuali keburukannya. Disha berjalan pelan ke arahnya, gadis itu mengucir rambutnya dan mengenakan dress tanpa lengan berwarna biru muda. Untuk sesaat Tristan terdiam. “Lama banget lo” Disha meringis, “ya namanya juga cewek! Ayo.. Sebelum kita telat” Tristan segera saja masuk ke dalam mobilnya tanpa mengatakan apapun lagi. Ketika dia melirik ke arah Disha, Disha sedang menatapnya dengan senyuman simpul. Mereka menghabiskan perjalanan dengan diam. Tristan bahkan tidak mau menolehkan kepalanya lagi pada Disha, seolah Disha adalah sesuatu yang tabu untuk dilihat. “Segitu bencinya lo sama gue ya?” Tanya Disha. Tristan bergeming. “Jangan terlalu benci gue Tris. Jarak cinta dan benci itu tipis" Tristan menolak menyadari apa yang semua orang lihat dan hanya menghela nafas dalam. Tidak mau jatuh kedua kalinya di depan Disha. Ini terakhir kalinya Tristan dan Disha bertemu secara intens. Pikir Tristan. Setelah lomba band ini dia akan menghindari Disha habis-habisan. Membuat gadis itu menyesal dengan keputusannya mempermainkan Tristan. Tristan berjanji. Dan Lomba itupun akhirnya selesai, dengan mereka hanya memenangkan juara favorit. * Ladisha tak pernah setegang ini sebelumnya. Setelah dia mendapati Deva dan Feya tengah berduaan di ruang sidang dan tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, Disha merasakan ada sesak di dalam dadanya. Namun , dia harus menepati janjinya, kepada dirinya sendiri dan kepada Tristan. Dia tidak ingin Tristan menambah pikiran buruk kepadanya. Yang sebenarnya dia ingin membuat Tristan berbalik menyukainya. “Fey, gue mau ngomong sama lo" Disha melirik Deva sebentar, mengode agar segera meninggalkannya dengan Feya hanya berdua. “Ngapain?" Feya menanggapi begitu santai. Deva tak banyak bicara dan langsung meninggalkan ruang sidang. Tanpa membuang waktu lagi, Disha mengungkapkan maksudnya “Kasih Tanaya buat gue" ujarnya serius. Wajah Feya langsung mengeras. “Apa maksud lo?" Feya paling tidak suka ada orang yang mengganggu targetnya. Tanaya adalah target dari dia kelas 10 dan hanya ada beberapa bulan lagi sebelum mereka lulus untuk Feya mengerjai gadis cantik itu. “Kasih Tanaya buat gue" ujar Disha sekali lagi. “Buat apa?" Disha menghela nafas dalam, “Karena tujuan kita sama. Lo mau liat hidup dia makin drama kan? Sama" jelas Disha yang membuat gelak tawa Feya. “Lo pikir gue b**o? Ini ada hubungannya sama Tristan kan? Apa dia memperbudak elo buat ngomong gini" Disha mengangguk, “Dia udah jadi pacar gue fey. Buat apa dia ngelindungin Tanaya lagi" “Wow, gerak cepat juga ya lo dis" Feya pura-pura terkagum. “Tapi gue nggak tertarik. Lo bisa pulang sekarang" Disha tersenyum miring. “Gimana kalau lo kasih Tanaya buat gue dan gue kasih tau lo dimana Fernando sekarang" Tidak ada yang tau kelemahan Feya zahara. Hanya dua orang yang mengetahuinya, Deva dan Disha. Mereka berdua terus-terusan berusaha menutupi semua, namun Disha terpaksa harus menggunakan cara ini. Feya tak akan berkhianat dengan pilihannya. “Apa maksud lo?" wajah Feya langsung memerah karena nama fernando disebut. Terlihat begitu jelas guratan emosi yang dibuat oleh nama itu. Namun ada satu yang menarik, mata Feya berkaca-kaca. Semua ini dimulai dari trip yang diadakan Budhe ke luar kota oleh Budhe. Dan disana, Disha kembali bertemu dengan teman lamanya itu. Sebenarnya bukan hanya Deva cowok paling nakal disekolah, pentolan Flamboyan sebenarnya adalah fernando, yang sayangnya sudah dikeluarkan sekolah karena hobinya yang mengganggu ketenangan orang lain itu. Dan dia adalah pacar Feya. Disha sempat dekat dengan fernando karena pemuda itu teman baik Deva dan juga Feya. Mereka pernah pergi beberapa kali sebelum fernando dikeluarkan oleh sekolah karena kenakalannya. Fernando adalah cacatan hitam sekolah yang lain yang sayangnya adalah orang yang paling disayangi Feya. Tidak ada yang mengetahui keberadaan fernando seolah cowok itu melarikan diri atau malu sampai Disha menemukannya kembali. Disha tak sempat lagi berpikir karena tiba-tiba kepalan tangan Feya sudah berjarak beberapa senti di wajahnya. Dengan tanggap Disha menahan tangan itu dan membelitkannya langsung ke punggung Feya, membuat gadis itu meringis kesakitan. Disha mendorong tubuh Feya yang membuat gadis itu tersungkur di depannya. Apa yang baru saja dia lakukan? “Karateka huh?" ujar Feya menantangnya. Disha tersenyum tipis. “Dari awal gue ketemu lo Dis, gue udah tau lo itu sama dengan gue maupun Deva. Cuma karena lo terlihat lebih putih aja dis" “Gue nggak butuh ceramah lo sekarang" “Apa yang akan lo lakukan ke Tanaya" "Yang pasti bukan dengan cara lo" “Apa yang lo rencanain dis" Disha tersenyum, “Bikin Tristan jatuh cinta ke gue" Feya meringis. “Kenapa lo nggak suka Tanaya?" “Karena dia punya segalanya. Gue anggap ini jawaban lo, fey. Gue akan sms alamat fernando sekarang gue harap lo nggak akan mengganggu Tanaya mulai hari ini" Feya meringis. “b******k lo dis" “Am i?" Disha segera keluar dari ruang sidang dan sempat bertemu Deva yang menjaga tak jauh dari ruangan itu. Deva tersenyum tipis, “Lo bener Dis, gue nggak akan bisa menghentikan lo" * Tristan tak pernah memperhatikan Tanaya begitu dalam, seperti sekarang. Dia hanya berusaha mengamati gadis yang sudah menghuni hatinya selama dua tahun terakhir itu dengan lembut. Memperhatikan tiap Tanaya makan dengan anggunnya, bahkan saat Tanaya makan gadis itu tampak begitu cantik. “Kenapa sih liatin aku kayak gitu banget?" Tanaya terkekeh geli mendapati sikap Tristan. Gadis itu tampak tidak risih sedikitpun, malah dia merasa senang karena wajahnya bersemu merah. Tristan langsung gemas dengan wajah Tanaya dan langsung mencubit pipi ranum Tanaya. Tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. Sebelum Disha datang. Ini seperti selingkuh, karena Disha pasti akan mengekangnya dan tak akan membiarkan Tanaya dekat-dekat dengannya. Disha selalu memperingati Tristan untuk tidak lagi terlalu dekat. Wajah Tanaya yang bersemu merah tadi berubah menjadi tegang, dia tak lagi menyendok nasi gorengnya, gadis itu hanya menatap kedepan dengan ketakutan. Tanpa menolehpun Tristan sudah tau jawabannya. Dia hanya akhirnya menenangkan Tanaya dengan mengusap lengan gadis itu berusaha menenangkannya. Siapa yang tidak risih di teror setiap hari dan diseret ke ruang sidang dengan paksa? Feya sebenarnya sudah keterlaluan mengganggu Tanaya. Tristan menoleh ke arah Feya dan mendapati senyum sinis dari gadis itu. Feya melewati mereka dan menatap Tanaya yang menegang beberapa detik, “Gue lagi nggak ada mood ngerjain lo hari ini" ucapnya melihat ketegangan di wajah Tanaya. Semua itu mengundang rasa heran dari orang-orang yang ada di kantin dan teman-teman Feya sendiri. Setelah Feya masuk ke dalam salah satu court, Tanaya sudah tidak lagi setegang tadi. Disha benar. Gadis itu mampu menghentikan tananya. Tristan menoleh ke arah lapangan dan mendapati Disha dan Deva sedang berjalan dan membicarakan sesuatu. Mereka tiba-tiba membelok ke arah kantin, membuat Tristan terus mengamati mereka. “Mereka nggak akan ganggu kamu lagi" Tristan masih mengusap tangan Tanaya dan membuat gadis itu menyandarkan kepalanya kebahu Tristan, mencari sandaran. Biasanya Tristan akan dengan senang hati menerimanya. Namun melihat Disha dan Deva yang sudah menuju ke kantin, Tristan tidak ingin gadis itu melihat ini semua. Dengan perlahan Tristan menegakkan kepala Tanaya dan tersenyum lembut, “Tenang aja Naya. Sekarang kamu lanjutin makan kamu lagi" Tanaya mengangguk dan mereka melanjutkan makan mereka. Tristan tersentak saat Disha menghampiri mereka dengan ceria, senyumnya tiba-tiba membuat Tristan menjadi muak.  “Kok kamu nggak bilang kalau udah di kantin?" Apa-apaan ini? Tristan tak menjawab dan Disha dengan santainya melanjutkan lagi. “Aku pesen makan dulu ya, ehm.. Tanaya gue boleh duduk disini kan?" Tanaya hanya mengangguk. Ketika Tristan menegakkan kepala satu-satu ya yang dia dapatkan adalah senyuman cibiran yang ditampilkan Deva. Seolah pemuda itu tau apa yang terjadi dan seolah dia mencaci Tristan saat itu juga. “Tristan?" "Ya?" “Kamu udah deket banget sama Disha?" Tristan tidak bisa menjawab pertanyaan ini, Tanaya juga sempat tahu bahwa dia suka Disha walaupun hanya beberapa saat sebelum gadis itu menunjukkan dirinya yang sesungguhnya. Dia tidak ingin menyakiti Tanaya namun juga tidak bisa mengingkari janjinya. Dengan berat, cowok itu menganggukkan kepalanya. Tanaya ingin membalas anggukan ini rasanya gadis itu akan marah kepadanya. Namun kedatangan Disha membuat keduanya kembali diam. “Kamu udah ngasih tau, Tanaya?" Disha langsung mengambil tempat disebelah Tristan membuat pemuda itu segera menggeser duduknya hal itu juga dilakukan oleh Tanaya. Tanaya tidak bisa melihat ekspresi yang ditampilkan Disha hingga gadis itu menoleh. “Apa yang aku nggak tau?" Disha tersenyum ke arah Tristan. “Mereka jadian" Deva yang baru saja memesan makanan duduk di depan mereka bertiga, membuat senyuman Disha yang tadi hangat langsung menghilang. Gadis itu menatap tajam ke arah Deva yang hanya diacuhkan. Tristan tak bisa melihat kearah Tanaya, dia takut. Dia takut menyakiti Tanayanya yang selama ini mengisi hatinya. Dia takut menyakiti Tanayanya yang itu. Akhirnya pemuda itu hanya menghela nafas dan terjebak diantara kepura-puraan yang dia buat sendiri. Tristan ingin tenggelam saat ini juga. * Disha tersenyum saat mendapati Tristan sudah berada di depan kelasnya. Pemuda itu memaksa dirinya untuk menjemput Disha dikelasnya, sebagai penjelasan atas hubungan mereka. Meskipun Disha sedikit memaksa pada cowok itu. Ladhisa : Terserah elo kalau nggak mau nganter gue. Gue nggak akan memaksa Tristan. Dan inilah hasil sarkatisme yang dia kirim. Disha tersenyum saja, rasanya kebahagiaan sebentar lagi akan berada di pihaknya. “Seneng banget dijemput pangeran depan kelas" goda redha yang duduk di sebelahnya. Disha semakin malu lagi dan menundukkan wajah. “Jadi nggak ada Deva lagi?" Disha mengangguk yakin. “Nggak ada lagi" ketika bu nuri keluar dari kelas, Disha langsung setengah berlari mengikuti guru tersebut. Membuat seisi kelas langsung ricuh dengan tontonan mereka. "Yuk" Tristan hanya diam saja, mengamati wajah gadis itu dengan wajah yang berseri-seri. Tak ingin berdebat dengan Disha pemuda itu hanya mengikuti langkah Disha yang kearah parkiran lebih dulu darinya. “Dis, itu.. " Tristan tidak tau bagaimana cara mengatakan hal ini. “Tanaya juga bareng kita ya. Mobilnya masih di bengkel" Disha menghentikan langkahnya dan menatap Tristan dengan sinis. “Lo mau selingkuh di depan gue?" “Bukan gitu Dis. Dia.." Yayaya. Disha sudah mulai muak. Seharusnya dia sadar konsekuensi ini dari awal. "Ya boleh, terserah elo. Sekalian nanti gue duduk di belakang kan?" Tristan hanya diam menatap Disha yang dilingkupi emosi didepannya. Perubahan mood gadis itu benar-benar cepat sekali. Benarkah Disha cemburu? “Lo di depan aja. Gue udah bilang Tanaya" Disha kembali mengancam, “Inget ya Tris lo sekarang cowok gue. Mulai biasain diri lo buat nggak deket-deket lagi sama dia" Disha mendengus dan meninggalkan Tristan. “I'm not going to love you, Dis. Gue semakin membenci lo kalau lo kayak gini" “Bagus. Semakin lo benci gue, semakin terbuka kesempatan gue buat lo sukai" Disha menjawabnya dengan enteng. “Apa yang lo mau?" Disha membalikkan badannya dan menatap Tristan penuh emosi. “Seharusnya gue yang tanya elo. Mau lo apa? Kenapa lo selalu nanya apa mau gue sedangkan yang diuntungkan lebih banyak disini itu elo!" Tristan menatap kesekelilingnya dan mencoba bersabar lebih dalam. “Kita diliatin" “Gue nggak peduli"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN