Pertengkarannya dengan Tristan tak membuahkan hasil apapun. Tristan tetap diam sementara di mobil Tanaya mengemis-ngemis minta maaf padanya karena Disha kekeuh duduk di belakang. Setelah Tanaya turun dari mobil Tristan, Disha enggan pindah tempat duduk, membuat Tristan sangat merasa menjadi supir Disha.
Namun Disha menikmati kekesalan Tristan saat itu.
“Pindah nggak gue bilang!" mereka masih berada di depan rumah Tanaya, Disha menggelengkan kepalanya kuat.
“Bodo" gadis itu malah mengeluarkan ponselnya dan memain salah satu game, membuat Tristan menggeram sendiri.
“Emang gue supir lo?" Tristan tidak terima diperlakukan Disha seenaknya, Disha dapat menangkap itu namun kembali Disha menantangnya.
“Iya"
Tristan mengumpat dan membuat Disha tersenyum miring. Gadis itu tetap memainkan game di ponselnya. Tidak peduli bahwa mobil yang tadi terparkir di depan rumah Tanaya sudah berjalan membelah jalanan sekarang, ikut dalam kemacetan kota yang sangat terasa pada sore hari .
Jam pulang kerja.
Disha yang tengah asik memainkan ponselnya berhenti ketika nama Budhe ditampilkan.
“Halo Budhe?" Disha menjawab dengan cepat, membuat Tristan melirik gadis itu dari spion tengah. Mobil Tristan sudah berhenti karena memang jalanan depan rumah Tanaya adalah jalur macet.
“Aku lagi ontheway ke Joy Futsal, ada latihan. Kenapa Budhe?" jawabnya seperti biasa.
“Barang-barangmu yang akan dipindahkan Budhe persiapkan dari sekarang ya?"
Disha hanya termenung menanggapi ucapan Budhe. Here she goes. Dia sudah berada dalam kerumitan kehidupan dan sekarang menjadi lebih rumit lagi karena harus numpang di rumah orang lain. Disha benci merepotkan orang lain, namun hidupnya setahun ini begitu menyusahkan orang-orang.
“Iya" balasnya singkat. Tidak ada lagi nada ceria atau nada mengejek yang terdengar. Disha sudah kembali menjadi dirinya sendiri. Setelah mematikan sambungan, Disha termenung melihat mobil-mobil yang ada di jalanan kota. Matanya kosong dan mulai berkabut. Selalu seperti itu ketika kesedihan datang menyapanya.
Disha tidak pernah tau bagaimana takdir akan membawanya atau bagaimana ia akan menemukan kebahagiaan yang sempat dia punya. Dia hanya merelakan segalanya.
Untuk saat ini hanya ini yang bisa dia lakukan, untuk kembali mendapatkan apa yang seharusnya dia punya.
Disha tak sadar, diam-diam Tristan memperhatikan wajah suramnya dari spion tengah. Begitu lama.
*
Tristan adalah impian semua cewek disekolahnya, tapi Deva memiliki kriteria lain yang akan membuat cewek bertekuk lutut padanya. Sebagai tukang pembuat onar, Deva jauh lebih rapi dibandingkan teman-temannya. Teman-temannya yang urakan akan dengan bangga menyisipkan sebungkus rokok di saku bajunya beserta korek api atau rantai yang akan selalu di ambil guru ketika razia besar-besarnya.
Sayangnya, mereka mempunyai stok rantai yang banyak di rumahnya.
Seperti saat ini, Deva menungguinya latihan futsal di Joy Futsal. Memakai jeans denim dan kaos oblong Juventus di dadanya, tidak kusut sama sekali. Berbeda dengan Tristan -pacarnya- yang mungkin tidak akan pernah melihatnya futsal lagi seperti waktu itu. Itu mungkin pertama dan terakhir kalinya Tristan melihatnya bermain futsal, karena setelah pertandingan sebulan ini. Tim futsal cewek akan resign dan digantikan oleh adik-adik kelas.
Tapi bagi Deva hal itu adalah kewajiban.
Dia selalu mengagumi apa yang dilakukan Disha. Pertemuan mereka pada awalnya dulu di tempat latihan karate Bang Jafar. Saat itu, Disha diantarkan oleh Ayahnya dan menjadi satu-satunya lawan Andina yang sudah memakai sabuk biru.
“Dia ngotot ingin latihan karate" Ayah Disha mengatakan pada bang jafar saat itu yang hanya dihadiahi kekehan oleh calon tentornya itu.
“Lu yakin kembang begini tonjok-tonjokan?" suara bang jafar yang begitu khas betawi mewarnai sore itu. Anak-anak di lapangan pos indonesia itu tertawa keras.
Disha hanya tersenyum manis. Gadis itu sangat manis jauh dibandingkan andina yang sudah kelihatan jagoan dari awal. Disha sangat lemah sekali saat itu.
“Disha kelas berapa?" andina mulai menyapa calon temannya itu.
Disha tersenyum lagi, matanya menyipit seperti bulan sabit yang akan semakin membuat anak laki-laki menggodanya. “Kelas 3 SD" suaranya yang begitu nyaring namun merdua membuat satu persatu anak-anak karate Bang Jafran mengajaknya berkenalan.
Sejak saat itu Disha menjadi anak yang tangguh tapi gadis itu menolak diajak ke pertandingan. Tidak boleh sama Ayah ucapnya halus yang membuat Bang Jafran tidak tega membawanya dipukuli oleh anak-anak yang tidak dikenalnya.
Lulus SD, Disha tak pernah lagi terlihat di tempat karate Bang Jafran. Gadis itu menghilang, setau Deva, keluarga Disha pindah keluar kota.
Kemudian Disha kembali di dalam hidupnya di penghujung kelas sepuluh, membuat semuanya berubah.
Bagi Deva, Disha adalah alarm emosinya. Saat bersama gadis itu, Deva menjadi lebih terkontrol dari emosinya. Saat bersama Disha, Deva ingin menjadi cowok yang baik dan meninggalkan kenakalannya. Saat bersama Disha Deva bersedia mematikan rokoknya. Dishanya akan selalu memikat. Yang pertama kali membuat Deva yakin ingin menembak cewek saat mereka masuk smp.
Cinta pertamanya, disambut dengan begitu baik, walaupun hanya sesaat.
*
Disha berlari-lari kecil menyusul Deva yang sudah menantinya di tepi lapangan. Cowok itu sudah lengkap dengan air mineral dan handuk yang dia ambil di tas diva. Disha terkekeh pelan dan meninum air mineralnya.
“Makan yuk" ajak Deva, berusaha menghilangkan semua kejadian akhir-akhir ini yang bisa langsung membuatnya emosi.
“Boleh. Makan dimana?" Disha menselonjorkan kakinya, jam sudah menunjukkan pukul 7 malam.
“Bakmi. Gue lagi pengen bakmi"
Disha tersenyum lebar, "yuk cusss" Disha tak akan pernah menolak ajakan Deva, karena Deva sudah termasuk deretan orang yang berarti di dalam hidupnya.
Sebagai sahabat.
Terkadang Disha lupa bahwa keinginannya adalah untuk menyingkirkan Deva, membuat cowok itu menjauhinya dan tidak mengganggu apapun yang Disha inginkan.
Namun kadang, Disha lupa. Karena Disha butuh Deva. Sahabat yang selalu ada untuknya, seperti saat dulu saat awal-awal Disha masuk karate Bang Jafar Disha dibanting oleh andina, dia tidak tanggung-tanggung melawan Disha, Deva langsung berlari dan memapahnya langsung.
Dari kelas 3 SD Deva sudah seperti malaikat pelindungnya. Pun hingga saat ini.
“Dev, bagi bakso lo dong!" mereka sudah sampai di tempat bakmi langganan mereka. Satu-satunya orang yang dulu bisa membuat Disha hidup kembali Deva, dengan kekonyolannya.
Hingga saat inipun, Disha berusaha senormal mungkin di depan Deva. Untuk menyenangkan hati malaikatnya itu.
Deva langsung memindahkan baksonya pada Disha. Tanpa perintah.
“Makannya yang bener, cantik"
Disha terdiam beberapa saat.”Gombal receh!" Disha tertawa kemudian.
“Emang lo cantik gimana dong?" orang yang duduk di depan mereka langsung terbatuk membuat Disha malu sendiri.
“Cantik-cantik, disodorin Tanaya juga mau lo!" Disha sudah kebal dengan gombalan-gombalan semacam ini. Dan dia sudah tak pernah risih Deva mengucapkannya.
Deva tertawa kencang, “Lahh. Itu rezeki gue namanya"
Disha merengus. “Mimpi aja lo"
“Mimpi apa? Mimpi basah?"
Deva!!! c***l banget.
Disha gemas dan menoyor kepala Deva membuat orang yang makan di depan mereka hanya pura-pura tidak peduli, padahal Disha tau mereka memperhatikan dari tadi.
“c***l"
Deva tertawa lagi dan mereka memulai lagi pembicaraan yang asik tentang musik. Deva suka sekali membahas musik dengan Disha, Disha seperti lebih hidup saat membahasnya.
Dia menyukai Disha yang seperti ini.
*
“Nggak dijemput Tristan dis?" pagi-pagi sekali Deva sudah nongkrong di depan rumah Budhe. Membuat gadis itu terkejut karena tiba-tiba Deva masuk dan meminta sarapan kepada Budhe dan pakdhe. Keluarga Budhe sudah mengenal baik Deva, yang memang mudah mengakrabkan diri. Namun pakdhe selalu memperingati Disha untuk tidak terbawa ke pergaulan Deva.
Pakdhe tau kenakalan Deva karena sering dibicarakan pihak yayasan.
“Udah kayaknya, lagi otw kali" Disha mengecek hpnya dan tidak ada notifikasi dari Tristan, membuat gadis itu menghela nafas dalam. Dia sudah tidak tahu malu memang, memaksa berpacaran dan memaksa antarjemput setiap hari.
“Udah bareng gue aja" Deva menarik tangan Disha dan keluar dari rumah, menggiringnya ke motor matic Deva. Deva suka sekali memakai motor matic, kata Deva rok Disha akan tersingkap kalau dia ganti motor sejenis ninja, itu nggak baik buat Disha.
“Iya gue nggak pake mobil kayak si Tris. Tapi ini motor selalu setia ngeboncengin lo setahun ini" Deva mulai-mulai menyindir Disha.
“Apaan sih? Emang gue matre"
"Ya nggak gitu juga Dis. Ini udah ada tumpangan gratis lo tolak. Itu cowok nggak tau keberadaannya dimana. Dia nggak akan pernah seperhatian gue dis"
Disha hanya tertegun, dengan berat hati dia menganggukkan kepala dan duduk dibelakang Deva. Mungkin Tristan tak akan pernah menganggapnya pacar. Dia yang terlalu memaksa.
Atau memang Tristan sudah ontheway?
Jawaban di kepala Disha terjawab ketika saat bersamaan, Tristan dan Tanaya keluar dari mobil Tristan dan mereka berjalan bersama menuju kelas mereka.
Disha tidak bisa menjelaskan perasaannya saat ini, yang ingin dia lakukan hanyalah diam.
*
Mood Disha buruk hari itu. Dia kesal, kesal pada dirinya sendiri karena sudah menjebak dirinya ke dalam masalah begitu rumit. Hingga sekarang dia tak bisa mendapat perhatian Tristan, malah Tristan semakin lengket dengan Tanaya. Seolah perjanjian mereka waktu itu hanyalah angin lalu.
Tidak berarti.
Dia hanya kesal karena itu dia memilih duduk di pojok kantin menjauh dari geng futsal ataupun Deva sambil memutar-mutar bakminya dengan sumpit. Tanpa dimakan. Disha memang terkadang mempunyai gangguan nafsu makan yang parah.
Disha jarang sekali mengabaikan makanan apalagi bakmi, kesukaannya dan Deva. Dia kira makan bakmi akan membuat moodnya membaik, tapi sama saja. Tidak ada yang bisa mencerahkan suasana hatinya yang buruk.
Sepertinya dia harus membatalkan perjanjiannya dengan Tristan, tidak ada cara lain selain melepaskan cowok itu sekarang sebelum dia kepalang jatuh.
“Sendirian aja neng? Cowok lo mana?" Feya menggeser duduk Disha dengan pantatnya, membuat Disha mau tak mau menggesernya.
“Mana gue tau!" jawab Disha nyolot, Feya sampai mengaitkan dahi karena jawabannya tidak sesuai ekspektasi.
“Lagi berantem ya bro?"
Disha menghela nafas, “Ngapain lo disini fey, sana.." dia mengusir Feya dengan tangannya.
“Weits. Gue penasaran sama apa yang cowok lo--"
“Ngapain lo nyari-nyari gue?"
Disha dan Feya tersentak mendengar suara itu. Disha memilih tidak menoleh karena saat itu moodnya buruk, dia mungkin bisa membentak siapa saja yang mengganggunya.
Tristan meletakkan piringnya tepat di depan piring Disha dan duduk di depan gadis itu.
“Oh lo diakui dis? Kirain enggak"
Brengsek Feya. Geram Disha di dalam hati, seharusnya dia mematahkan tulang Feya waktu itu. Hingga dia tak berani bersuara seperti ini.
Disha melirik Tanaya yang akan duduk di samping Tristan yang langsung disalak oleh Feya, “Ngapain lo disini? Lo nggak liat mereka lagi pacaran?" bentak Feya langsung, Disha tidak nafsu untuk melerai mereka jadi dia biarkan saja.
“Gue yang ngajak dia, kenapa?" Tristan lagi-lagi menentang Feya.
“Kalau gue jadi lo Dis, sakittttt" Feya pura-pura sakit hati dengan ekspresinya yang membuat Disha ingin muntah. Astaga, Feya tidak cocok sekali dramatis.
“Udah lo duduk sama gue aja" Feya mengedipkan matanya pada Disha yang membuat Disha tersenyum tipis, menyeret Tanaya pada meja disamping mereka.
Thanks Feya, mungkin mood Disha akan lebih hancur jika Tanaya ikut makan di depannya.
Tristan langsung menajamkan pandangannya. “Lo sengaja kan bawa-bawa Feya?"
Disha merasa dituduh. “Maksud lo apa?"
“Lo udah janji kalau kita pacaran, Feya nggak akan ganggu Tanaya"
Disha menggeram. Egois sekali kedengarannya. “Buka mata lo! Tadi itu namanya ngerjain?"
“Iya"
Disha membanting sumpitnya dan menatap Tristan garang. “Hell you, Tristan"
Tristan menantangnya, “Am i?" menirukan gaya Disha yang menbuat Disha semakin marah.
“Gue benci sama lo Dis, egois!"
“Banyak omong ya lo"
Disha pergi dari kantin setelah meminum air mineralnya- bersama Deva, karena Deva langsung menyambut kemarahannya dengan bahagia.
Terhitung detik itu, Disha tidak lagi menghubungi Tristan duluan, tidak lagi minta jemput dan tidak lagi minta antar, tidak lagi ke kelas Tristan, tidak lagi berusaha mendapatkan perhatian Tristan. Dia sudah tidak ingin lagi.
Disha bahkan tak melirik Tristan saat mereka berpapasan.
Egois.
Dua orang itu perang dingin tanpa mereka sadari.
Disha sudah menjerumuskan dirinya pada keadaan yang tidak diinginkannya.
*
Ini sudah seminggu sejak Disha memutuskan menjauhi Tristan. Mungkin Tristan bisa berbangga hati dan bersenang bersama Tanaya. Tapi Disha tidak akan membiarkannya lebih lama.
Ini persis seperti adegan sinetron yang di tonton Budhe. Tapi Disha benar-benar sudah kehabisan akal untuk merebut perhatian Tristan.
Demi apapun, Tristan harus menyukainya.
Disha lelah memutar otak karena itu dia membiarkan. Lagipula masalah dikeluarganya masih belum selesai. Mungkin masalahnya dengan Tristan harus ditunda lebih dahulu.
“Om David akan jemput kamu" pakdhe mengangkat koper Disha ke ruang tamu.
Disha menarik nafas panjang, “Emangnya harus pindah ya pakdhe?"
Budhe tersenyum diantara mereka. “Kamu nggak bisa dihadapkan sama keadaan kayak gini dis"
Disha masih ingat jelas penggeledahan yang dilakukan dirumahnya lebih dari setahun yang lalu, yang membuat semua barangnya hilang dan yang membuat Bunda sakit-sakitan hingga meninggal.
Membuat Disha kehilangan semuanya.
Budhe benar, Disha tidak bisa melihat keadaan seperti itu.
“Percaya sama Budhe Dis. Tuhan itu tidak tidur" Disha selalu percaya akan hal itu, Disha akan selalu percaya. Namun..
“Sebulan.. Setelah itu, kita akan kembali hidup normal"
Disha mengangguk saja. Tidak bisa menbantah, mobil om David sudah berada di pekarangan rumah Budhe. Om David dan tante Hasna langsung disambut hangat oleh pakdhe.
Disha hanya mengamatinya dari dalam.
“Maaf ya vid, merepotkanmu" pakdhe mengucapkan dengan nada sungkan.
“Ini Ladisha, masih ingat tante?"
Astaga!
“Tante Hasna?” Disha tidak bisa menutupi rasa kagetnya.
Disha tak percaya bahwa teman Bunda yang bertemu dengannya di singapura empat tahun lalu adalah istri om David. Dunia benar-benar sempit, dia memang belum pernah bertemu dengan istri om David dan anaknya.
“Makasih sekali lagi lo. Disha, jangan merepotkan om David sama tante Hasna ya" Budhe mengelus rambut Disha beberapa kali. “Dia ikutan turnamen futsal, jadi maklum aja pulang malam hari-hari tertentu, mbak" Budhe menjelaskan pada om David dan tante ratna.
Disha hanya tersenyum simpul. Kemudian Budhe menjelaskan hal-hal penting yang berkaitan dengan dirinya pada tante ratna dan om David.
“Tenang aja. Disha sekolah di Flamboyan kan? Nanti berangkatnya bisa bareng Tristan"
Jantung Disha berdesir.
“Tristan?" wajah kaget Disha tak mampu di hindarinya.
“Loh? Kamu nggak tau Dis, anak om David ini Tristan?" Pakdhe malah menimpali.
Disha menggeleng pelan.
“Iya, Tristan yang juara itu anaknya om David. Jadi matematikamu nggak merah lagi dis"
“Pakdhe!" Disha merengut membuat orang-orang dewasa itu tertawa. Namun gadis itu puas, berarti dia punya kesempatan yang lebih besar dari siapapun.
Apa-apaan ini? Kenapa disaat Disha akan menyerah mendapatkan Tristan, hal-hal tidak terduga seperti ini terjadi? Bagaimana mungkin Tuhan mempermudah rencananya seperti ini?
Disha tersenyum. Tristan akan segera menyukainya.
Dia berjanji