Ini hari sabtu. Tak begitu panas dan tak begitu mendung. Akhir-akhir ini memang hujan lebih sering menyapa bumi namun cuaca hari ini menjadi sangat bersahabat.
Yang tidak bersahabat adalah pandangan Tristan saat mereka bertemu untuk pertama kalinya lagi di ruang makan. Tristan menatap begitu dingin padanya. Mata pemuda itu seakan tak peduli tapi juga menelisik. Begitu mengganggunya. Toh tak apa dia dibenci. Memang lebih baik merasa dibenci daripada disukai karena ketika kamu disukai oleh seseorang, dia akan menjadi beban baru karena kamu harus mempertahankan rasa suka itu.
Ini hanya teori pagi hari Disha.
Disha berdehem untuk menormalkan kerongkongannya, hanya bunyi denting sendok beradu piring yang terdengar dan serta beberapa percakapan singkat art di rumah ini dari belakang. Selebihnya hening. Disha hanya bisa merasakan bahwa keluarga ini kaku sekali.
Om David hanya sesekali melirik anak-anak dan istrinya selebihnya pria itu lebih banyak membaca sesuatu melalui ipadnya.
“Disha, om mau ngasih tau kamu tentang…”
Disha dapat membaca bahwa pembicaraan ini mengarah pada Ayahnya. Disha tersenyum tenang, “Nanti aja om. Kita kan lagi makan” Disha melirik kecil kearah Tristan yang tak peduli.
Namun pemuda itu tak benar-benar tak peduli. Sebelum ucapannya di jawab oleh om David, pemuda itu menyelanya dengan sinis.
“Kenapa bokap gue nggak boleh ngomong sekarang? Ini kan rumahnya. Kenapa lo jadi ngatur-ngatur”
Disha menggeram menahan emosi yang dia tahan dari kemarin. Cukup sudah drama dan sarkatisme mu Tristan karena Disha tidak akan diam lagi.
“Karena ada lo disini, puas?” Disha mendelik marah, tidak peduli lagi dengan suasana di ruang makan semakin tegang.
“Apa urusan lo sama bokap gue” Tristan malah menantangnya.
Disha mendengus. “Bukan urusan lo yang jelas!” Dia menatap bersalah kepada kedua orang tua Tristan. “Maaf om dan tante, kayaknya Disha udah selesai makan”
Om David hanya menganggukkan kepala, menyiratkan bahwa Disha keluar dari ruangan ini sebelum semuanya semakin memanas.
“Ke ruang kerja om ya Disha”
Disha mengangguk dan melenggang pergi. Dia sudah muak dengan antipati Tristan. Kalau Tristan ingin dia membalas ucapan-ucapannya sekarang, Disha tidak keberatan. Disha tidak akan keberatan lagi.
Sudah cukup belas kasihnya pada Tristan.
Belum sampai Disha di ruang kerja David, sebuah suara yang begitu keras terdengar di belakang. “Apa-apaan kamu Tristan!”
*
Gadis itu akhirnya duduk dengan tenang di ruang kerja David. Emosinya kembali stabil dan sudah bisa berpikir jernih. Sial, tidak bisa tidur membuat dirinya gampang terpancing seperti tadi. Disha menyesal. Kenapa dia harus melawan Tristan di depan orang yang telah menyelamatkannya seperti ini?
Beberapa menit kemudian, David masuk dengan Hasna yang ada di belakangnya. Membuat Disha dengan spontan berdiri.
“Maafkan Tristan ya Disha. It’s seems like he feels not comfortable with you that much” Hasna memeluk Disha perlahan, membuat hati Disha pelan-pelang menghangat.
“It’s okay sayang. You’ll not lose anymore” kata-kata itu melintas ditelinganya begitu saja, kata-kata Bunda.
“Apa kamu memang musuhan dengan Tristan dis?” David duduk di meja kerjanya, tanpa tau bahwa Disha kebingungan menjawab pertanyaan ini.
“Hem. Akhir-akhir ini kita emang sering bertengkar di sekolah om. Wajar kalau dia benci Disha” Disha sadar betul bahwa melawan Tristan di rumahnya adalah sebuah kesalahan besar, ini akan berdampak pada semuanya. Yang harus dia lakukan adalah memperbanyak kesabaran menghadapi pemuda itu.
“Ada apa?”
Disha menggeleng. “Disha nggak terlalu ingat om bagaimana awalnya. Ya, cuma kami udah diposisi seperti ini dan mungkin nggak bisa ngomong baik-baik” Disha berbohong namun dia tetap tersenyum.
“Anak itu benar-benar udah nggak ada sopan santunnya” David menggeleng keras, Hasna hanya menundukkan kepalanya.
Disha terperangah, menyadari sesuatu yang janggal.
“Jadi tadi om mau bicara apa?”
“Oh ini..” David mengeluarkan sesuatu dari laci mejanya. Menyerahkan benda berwarna coklat itu kepada Disha. “Ayahmu menitip ini pada kamu”
“Apa ini om?”
“Album foto yang dulu pernah diberikan Bunda kamu kepada Ayahmu sebelum..”
Disha menbuka amplop berwarna coklat itu dengan tidak sabar. Ah ini. Hatinya bergetar kuat. Ini adalah benda yang hilang selama ia pindah ke rumah Budhe.
Selama ini, bersama Ayah?
Hasna tiba-tiba memeluknya dengan erat, mencoba menyalurkan energi pada dirinya yang hampir hilang kendali. Disha merasa pusing. Begitu pusing hingga dia butuh lagi sesuatu itu.
“Disha tante ingin sekali memeluk kamu” Hasna semakin mengeratkan pelukannya membuat Disha tak mengerti. Kesadarannya baru akan terkumpul, namun kesadaran itu malah semakin menamparnya keras.
Disha melepaskan pelukannya dengan Hasna memandang David dan Hasna yang sudah meneteskan airmata kepadanya secara bergantian. Mereka sudah tau.
Mereka sudah tau, apa yang terjadi pada dirinya.
*
“Kak Tristan”
Tristan hampir meloncat kaget mendengar suara itu. Suara adik kecilnya, adiknya yang paling disayanginya. Berdiri dibelakangnya. Tengah mendapatinya mencuri dengar.
“Kak Tristan lagi ngapain di depan ruang kerja Ayah?” Tanya Pelangi lagi, membuat Tristan merasa benar-benar kedapatan mencuri dengar.
Dia penasaran ada apa sebenarnya antara Disha dan Ayahnya.
“Mau bilang sesuatu sama mam”
Pelangi mengernyit tak percaya membuat kakaknya itu kehabisan akal. Tristan memutar kepalanya dan membawa Pelangi menuju lantai dua, menuju kamar mereka.
“Kak Tristan mau denger omongan kak Disha sama papa ya?”
“Nggak” sangkalnya langsung. Tristan menghela nafas.
“Kakak kenapa sih nggak suka sama kak Disha? Kak Disha itu baik banget”
Tristan menarik nafasnya panjang. Kenapa semua orang hanya bisa melihat kebaikan Disha padahal keburukan gadis itu sangat banyak.
“Karena Pelangi.. Dia itu nggak sebaik yang kamu pikir” Pelangi kembali mengernyitkan dahi tidak mengerti. Tentu saja hamya Tristan yang benar-benar mampu melihat sisi gelap dari Disha.
“Nggak usah lo hasut-hasut Pelangi buat benci gue juga” Tristan kali ini benar-benar terperanjat. Gadis yang dia bicarakan kini sudah berada di belakangnya dan Pelangi.
“Apa maksud lo?”
Disha siap mengeluarkan uratnya. “Gue denger ya lo ngomong apa tadi ke Pelangi. Nggak usah pura-pura b**o deh lo”
“Tapi emang bener kan lo nggak sebaik itu?” Tristan benar-benar menantang Disha kali ini membuat gadis itu menggeleng-menggelengkan kepalanya.
Apa maksudnya itu? Prihatin?
“Bertindak seolah lo orang paling suci di dunia ini ya?” Disha mengeratkan pegangannya pada album foto itu.
“Of course” balas Tristan sombong. “Gue selalu bertanya-tanya kenapa lo ngelakuin itu ke gue. Lo bikin perjanjian konyol yang nggak bisa diterima siapapun. Gue tau kenapa Feya suka banget ngerjain Tanaya akhir-akhir ini. Pasti ini lo sama mereka yang ngerencanain kan?” Tristan terlah berpikir keras untuk menyimpulkan ini tapi tetap saja ada yang salah disini.
Disha tak menjawab apapun.
“Bagus juga skenario lo” gadis itu kemudian tertawa dan masuk dalam kamarnya. Tak peduli lagi dengan pertanyaan Tristan yang sebenarnya benar-benar membutuhkan jawaban.
*
Tristan mati penasaran di dalam kamarnya. Seharian dia berpikir. Seharian pula dia tidak mendapatkan jawaban. Ini sudah lewat tengah malam dan pemuda itu tak bisa tidur sama sekali.
Apa-apaan hidupnya ini? Tidak disekolah dan di rumah dia harus terus-terusan melihat wajah Disha, gadis yang dibencinya.
Tristan sadar betul bahwa ini sudah tidak salah lagi, Disha benar-benar menjengkelkan. Gadis itu selalu membuat Tristan berpikir tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi.
Untuk apa Disha terus-terusan mendekatinya?
Pikiran itu terpecah ketika mendengar suara teriakan dari kamar lain. Membuat pemuda itu yang tadinya berbaring langsung berdiri. Dia langsung menuju kamar Pelangi yang terletak benar-benar di sebelah kamarnya. Pikirannya hanya tertuju pada Pelangi.
Pelangi mimpi burukkah?
Saat membuka kamar Pelangi, lampu kamarnya masih mati dan tidak ada tanda-tanda bahwa Pelangi baru saja berteriak.
Disha.
Tristan keluar dan berjalan menuju kamar mandi. Sepertinya otaknya sudah mulai tidak beres. Hingga beberapa langkah dia berada di depan pintu kamar mandi, matanya kembali menoleh ke arah kamar di depannya. Kamar Disha, lampu kamar gadis itu menyala. Tristan yakin teriakan itu berasal dari kamar Disha.
Ada apa dengan Disha?
Disha tiba-tiba membuka pintu kamarnya. Ketika gadis itu akan beranjak ke kamar mandi, langkahnya berhenti karena melihat Tristan.
Tristan tidak tau jenis perasaan apa yang dia punya saat ini kepada Disha. Wajah gadis itu pucat sekali dan matanya memerah, Disha bahkan berdehem beberapa kali untuk membersihkan kerongkongannya.
Dia ingin bertanya namun terlalu gengsi. Dia tidak ingin membuat Disha mengira bahwa Tristan memperhatikannya. Hingga akhirnya, pertanyaan itu hanya sampai dihatinya.
“Maaf gue mimpi buruk. Lo kebangun gara-gara teriakan gue ya?” Ujar Disha serak. Tristan hanya mengangguk meskipun kepalanya penuh tanda tanya.
Kenapa dis?
Kenapa lo teriak?
Kenapa lo tinggal disini? Mana rumah lo? Mana orangtua lo?
Kenapa mam begitu perhatian sama lo? Sampai nangis meluk lo tadi?
Kenapa lo mendekati gue dis?
Kenapa lo tiba merusak hidup gue kayak gini?
Kenapa?
Disha masih menatap Tristan dengan peluh yang bercucuran dari wajahnya. Membuat Tristan tidak tega.
“Bisa nggak lo minggir dari sini?”
Tetap saja gadis ini menyebalkan.
“Mau ngapain lo?”
“Ke kamar mandi!” Jawab Disha acuh. Disha dengan lemah menyingkirkan Tristan dengan lengannya.
Katakan ini bodoh bahkan Tristan tak beranjak sama sekali dari tempatnya tadi, sampai gadis itu kembali keluar.
Disha berhenti di depan pintu kamar mandi tersebut. Menatap Tristan dengan heran.
“Lo nggak balik ke kamar lo?” Tanya Disha kembali jutek.
“Gue mau ke kamar mandi”
Gadis itu terdiam. “Oh” dia kembali melihat ke arah Tristan yang benar-benar membuatnya tidak bisa beranjak sedikitpun. “Lo bisa minggir nggak, gue nggak bisa lewat” jelas Disha lagi.
Tristan mengerinyitkan dahi. “Ini masih cukup buat lewat badan lo yang kurus itu” untuk kali ini, Tristan menyesali kata-katanya.
“Gue nggak bisa Tristan. Gue nggak bisa bersinggungan sama lo. Minggir nggak?”
Disha mulai berkacak pinggang. Tristan masih keras kepala.
“Nggak. Tadi aja lo nyikut perut gue”
“Ck. Lo tau nggak sih yang namanya wudu’?” Disha mengucapkan dengan lantang hingga membuat Tristan mundur beberapa langkah.
Disha melewatinya cepat. “Bagus” gadis itu masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu, terlihat benar-benar kesal dengan tingkah Tristan.
Tristan masih terpaku. Entah berapa lama dia terdiam karena pikirannya sendiri. Niatnya ke kamar mandi diurungkan. Diam-diam diterpaku dengan apa yang dikatakan Disha tadi. Dia melangkah ke kamar Disha dengan sendirinya. Penasaran. Membuka celah pintu kamar itu sedikit dan menyaksikan sendiri.
Disha. Gadis keras kepala yang telah berhasil menginjak harga dirinya. Menangis dalam sholatnya. Tristan benar-benar tidak melihat tapi bahu gadis itu berguncang begitu hebat. d**a Tristan bergetar.
Dia tiba-tiba merasakan sesuatu yang ganjal di dalam hatinya. Sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, sesuatu yang mungkin akan terus membawa pikirannya pada gadis itu.
Entah apa ini sebenarnya.