Part 9

2056 Kata
Tristan mungkin tidak mengerti apa yang sedang dia pikirkan atau lakukan. Tapi pagi ini, di hari minggu, pemuda itu benar-benar membuat kepala Disha pusing. Dari memperhatikannya begitu sering saat makan sampai perdebatan kecil mereka di meja makan, di tengah keluarga Tristan. Lagi. Mungkin Disha benar-benar harus bersabar kepada Tristan. Atau harus memperingati pemuda itu untuk tidak membuat ulah ditengah keluarganya dengan tindakan. Disinilah Disha sekarang, duduk di belakang, memandangi deretan bangunan kota yang semakin membosankan namun juga mengundang rindunya di mobil Tristan. “Ana barusan nelpon dia titip salam sama kamu” suara Tanaya begitu nyaring di telinganya, seperti gadis itu berbicara menggunakan toa saking sepinya mobil ini. Disinilah dia sekarang, terjebak dalam situasi yang tak pernah dia inginkan, melihat Tristan dan Tanaya the soon to be couple Flamboyan menebar kata-kata indah. Kalau saja perdebatan mereka bisa dia hindari tadi pagi. “Mau kemana Dis, udah rapi aja pagi-pagi” Disha melirik Tristan yang sudah memandanginya daritadi sebentar kemudian langsung mengalihkan pandangannya pada orangtua Tristan. “Mau turnamen futsal tante. Disha baru aja mau minta izin pulang telat” Disha memakan sepotong roti yang sudah disediakan dan melahapnya. “Kak Disha futsal?” Pelangi bertanya antusias. Matanya berbinar melihat Disha. “Iya Pelangi. Sejak pindah, aku udah jarang olahraga kecuali jam olahraga makanya pilih ekskul futsal” Untuk pagi ini Tristan sepertinya memilih diam dan tak menimpali apapun, hanya tatapannya yang mewakilkan itu semua, membuat Disha risih ketika tak sengaja bertemu dengan mata Tristan. “Kamu bisa semua ya, dis?”  Hasna menimpali sebelum Pelangi menlontarkan pertanyaan selanjutnya. “Nggak juga tante” Disha menunduk malu, dia tidak bisa apapun dan dia tidak punya apapun. Setidaknya hanya kondisi miris itu yang bisa dia gambarkan. “Kak Disha bisa piano, bisa futsal? Otak kakak benar-benar seimbang ya?” Disha tertawa kecil, “Futsal dan musik itu ada dibagian otak yang sama, Pelangi, bagian kiri, aku nggak jago dalam eksak” Disha mengakui kelemahannya dan itu kembali mengundang tatapan Tristan. “Sayang banget di Flamboyan nggak ada gym ya Dis. Kalau ada kamu pasti langsung memilih ekskul itu” Disha memilih diam mendengar kata-kata  Hasna. Tidak bisa dipungkiri, dia memilih futsal karena itulah satu-satunya ekskul olahraga yang bisa dia tempati, dia bosan dengan basket atau voli, Disha kurang menyukai olahraga itu. Disha hanya menyukai gym. Dulu. Sebelum semuanya berubah. “Maksud mam?” Itu suara dari Tristan, karena Disha tak kunjung menjawab. “Disha ini gymnastics[1] loh Tristan”  Hasna mulai memamerkan apa yang dia tau tentang Disha, membuat Disha semakin terpuruk oleh perasaannya sendiri. “Waktu mam bertemu Disha dan Bundanya, mam diajak Bunda Disha untuk melihat penampilan grup gymnastic Disha”  Hasna menjelaskan, membuat Disha membayangkan pertemuannya saat itu dengan  Hasna. Saat itu, sudah lama sekali, saat Bunda masih ada. “Itu karena ekskul gym lagi populer aja ditahun itu tante, kebetulan diikutkan lomba” “Tapi kamu harus tau Dis, kamu itu diamond. Kamu selalu bersinar atas apa yang kamu tekuni” Disha meringis, jika dia diamond. Mungkin bagi Tristan dia masih terlihat seperti bongkahan batu biasa yang tidak ada artinya. Melihat tatapan menjijikan dari pemuda itu sekarang. Mungkin dulu dia memang selalu beruntung. Saat Disha belajar karate dulu, dia menjadi lawan sepadan untuk lawannya yang tua dua tahun darinya, raina. Saat Disha diajarkan piano oleh Bunda, Disha mampu menembus nilai A+ untuk penampilan musik personal saat sekolah dulu dan saat Disha bergabung dengan tim gymnatics di sekolahnya, mereka mendapatkan medali emas. Dulu. Sebelum semuanya terenggut. “Berarti kamu pergi bareng dengan Tristan saja ya? Tristan mau menemani Tanaya di fashion show besar pertamanya” Disha meringis dan menggeleng. “Nggak perlu tante Disha dijemput sama temen Disha” dia tidak mungkin kan mengatakan bahwa dia dan Tristan tidak akan pernah akur saat bersama? Dan terjadilah perdebatan itu. “Siapa?” Jantung Disha berdetak mendengar suara kedua dari Tristan tersebut. Dia menyipitkan matanya kemudian memakan sepotong roti yang sudah dia iris kecil-kecil. “Deva” jawabnya santai. “Gue nggak mau berandalan itu tau rumah gue! Apalagi tau kalau kita satu rumah” “Tristan!”  Hasna memperingatkan. Disinggung mengenai Deva entah kenapa membuat Disha tidak bisa lagi menahan emosinya. “Dia bukan berandalan! Dan kenapa? Lo nggak jijik satu mobil sama gue” Tristan melotot kearahnya dan Disha membalasnya dengan dingin. “Dia catatan hitam sekolah! Gue nggak mau ya, dia datang kesini” “Orangtua lo aja nggak masalah kok” “Nggak” “Kenapa sih? Sensi banget lo sama Deva” “Karena dia satu komplot sama lo dan Feya” Disha mengerinyitkan dahi. “Guepun nyuruh Deva jemput di minimart depan! Bukan di depan rumah” “Gue nggak mau tau. Lo pergi sama gue. Gue mau ke sency deket kan sama GBK?” Deg. Apa-apaan? Sejak kapan Tristan tau tempat pertandingannya? “Nggak mau! Lebih baik gue jalan kaki daripada nebeng lo!” “Fine lo jalan kaki” Dan that’s all… Perdebatan itu menghasilkan Disha harud berada di dalam mobil ini bersama dua orang yang tidak mau dia lihat itu.   Disha melirik Tristan dari spion tengah memastikan ekspresi pemuda itu. Tristan tersenyum. “Ana yang deket sama kamu dari SMP itu? Ok. Salam balik” Disha tertegun mendengarnya. “Iya” Gadis itu tak bisa lagi mendengar apapun dari percakapan taken soon to be couple itu. Pikirannya kembali menelisik kehidupannya belakangan ini. Apa yang bisa digambarkan? Mungkin jika bisa digambarkan akan seperti film 2012 yang pernah di tontonnya. Awalnya semua baik-baik saja, and then the disaster was came. Mengobrak abrik hidupnya membuat hidupnya berantakan. She have bestfriend. Once. Deva. Teman-teman lamanya tak bisa disebutnya teman sekarang. They are not meant to be her friends. Tidak ada teman yang berbicara keburukan teman lainnya. Tidak ada teman yang meninggalkan temannya saat temannya butuh bantuan. Tidak ada teman yang hanya memandang dari sebuat status sosial. Dia pernah berada di posisi Tristan yang mempunyai keluarga hangat dan mendukungnya, dan dia pernah berada di posisi Tanaya yang dikenal yang terus dipuji dan memiliki segalanya. Sahabat_keluarga-rumah. Rumah? Setahun lebih ini Disha terus mencari apa arti rumah untuknya. Tidak ada saudara benar-benar membuatnya merasa sendirian. Apakah pulang ke rumah Budhe di sebut rumah? Disha rasa jika dua sepupunya yang berada di amerika mungkin menjawab ya. Dia mulai meragu. Bagaimana kehidupan ini akan membawanya. Bagaimana setelah semua yang dia alami, seperti apa kehidupannya di masa depan. Disha pernah mempunyai mimpi, menjadi seorang pianist yang aktif di gymnastics international. Dia menyukai dua kegiatan itu, atau kalau boleh memilih sepanjang hidupnya dia ingin menjalani hanya dua kegiatan itu. Sebelum kiamat berbentuk palu tiga kali itu datang menjemput ajalnya. Ajal jiwanya. * Disha masuk ke dalam rumah Tristan dalam keadaan yang benar-benar lelah. Tim futsal putri Flamboyan memang sial. Mereka dapat lawan SMAN Everest yang memang benar-benar tidak terkalahkan. Sampai adu penalty. Untungnya mereka menang satu skor. Dan bisa lanjut ke babak selanjutnya. Hal itulah yang membuat Disha benar-benar lelah saat ini. Disha tak akan sempat belajar untuk ujian try out pertama besok. Mungkin begitu juga dengan teman-temannya yang lain. Kalau keadaannya tidak seperti ini. Disha benar-benar lelah namun kondisinya tidak akan mungkin untuk tidur. She’ll have nightmare dan dia tidak mau Tristan mendengar suara teriakannya lagi. “Baru pulang lo?” Disha menoleh ke ruang tengah lantai dua itu dan mendapati Tristan tengah menonton tv dan membuka buku-buku pelajarannya. Disha hampir lupa bahwa Tristan nyaris orang terpintar diangkatannya. Tentu saja pemuda itu akan belajar begitu keras. “Hem” jawab Disha malas, dia sudah akan menyeret kakinya menuju kamar. “Diantar siapa lo?” Tristan bertanya lagi, tapi matanya kembali tidak melihat Disha. “Taksi. Bawel lo ah” ketika Disha sudah benar-benar membuka pintu kamarnya. Langkahnya kembali terhenti karena ucapan Tristan. Membuatnya membeku. “Jangan lupa belajar buat besok” Disha menatap Tristan yang masih menulis di seberangnya. Pemuda itu tak melihatnya, namun apa yang dikatakannya jelas sekali ditujukan untuk Disha. Sesaat Disha tersenyum simpul. “Iya, semangat” Disha tidak tau dan tidak ingin mencari tau. Badannya benar-benar lelah sekarang. Yang Disha inginkan hanyalah berbaring sebentar kemudian belajar untuk ujian besok. Mungkin ini bisa dibilang pengecut. Namun Disha sudah benar-benar ingin menyerahkan segalanya pada semesta atas takdir yang telah dia buat. Antara dia dan Tristan. Namun dari hal ini Disha bisa belajar, meluluhkan hati seseorang sama seperti kamu mendaki gunung es. Berjuang. Sendirian dan terlalu banyak rintangan yang harus dihadapi ketika gunung itu menolak ditaklukan. * Ujian try out itu berakhir dengan cepat. Tiga hari itu hanya berlalu begitu saja. Tanpa hambatan dan tanpa rintangan. Seolah dunia sedang damai-damainya. Malam berganti siang dan siang berganti malam dengan biasa. Begitu juga Tristan dan Disha. Sejak malam itu, Disha dan Tristan kembali saling menolak untuk bertemu, tidak ada lagi perdebatan yang biasanya tejadi di ruang makan. Keduanya hening dan tidak ada yang ingin mencari tiga hari itu. Sekolah ini memang tidak pernah membuat murid-muridnya bahagia dengan menyisipkan hari libur setelah try out pertama mereka. Dan pelajaran pertama yanv beruntung mendapatkan rutukan murid-muridnya adalah. Olahraga.Disha bahkan harus menahan nafasnya ketika melihat kelas yang akan berbagi lapangan dengan kelas mereka. Kelas Tristan. Disha dan Reda saling sibuk menendang bola sebagai aktivitas setelah murid diberikan kebebasan berlatih. Hari ini mereka akan ujian bola kaki. Beberapa anak sudah menepi di tepi lapangan karena mereka sudah berhasil melewatkan tes. Namun beberapa diantara membuat grup agar mereka bisa berlatih sebagai tim. Disinial Disha dan Reda. Disha mengoper lagi benda Bundar itu ke arah Reda, membuat Reda bersiap-siap melayangkan tendangannya untuk mencetak gol. GOL! Disha langsung berlonjak ke arah Reda saat bola itu masuk, ini sudah pertandingan kedua yang mereka menangkan, memang Reda paling jago dalam masalah bola Bundar ini. Disha menoleh ke arah Tristan yang juga tengah bermain futsal di lapangan sebelah. Pemuda itu tampak banyak sekali berkeringat. Tanpa sadar, Disha tersenyum tipis. “Pandangin Tristan mulu, lo” Disha menoleh ke arah Reda yang mengagetkannya. “Berisik lo” ujarnya sambil tertawa. Disha duduk di tepi lapangan bersama Reda. “Lo seneng banget hari ini? Diajak ngedate sama Tristan ya?” Disha memutar bola matanya. “Boro-boro!” Ujar Disha menutup segalanya. “Dia kan lagi sibuk ngurusin pacarnya yang satu lagi” ujarnya malas, membuat Reda tertawa. “TANAYA!” Keduanya spontan menoleh saat teriakan itu muncul dari mulut Bilqis. Disha dan Reda segera berlari ke arah mereka dan melihat Tanaya yang jatuh terlentang ditengah lapangan. Wajahnya pucat sekali. Disha mengulurkan tangannya untuk berusaha menggendong Tanaya ketika seseorang sudah menjangkau gadis itu duluan. Tubuh Disha membeku saat melihat Tristan langsung membawa Tanaya keluar dari futsal indoor ini. Mata Disha membesar dari biasanya, perasaannya kacau. Tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Hanya dia merasa lebih kacau dari sebelumnya. Mencoba mencari tahu.  Disha melangkah menuju ruangan kesehatan seperti beberapa anak lainnya. Reda sudah mendahului mereka karena memegang botol minum Tanaya. Kenapa Tris selalu memprioritaskan gadis itu bahkan sampai tidak bisa memandangnya? Pikiran itu membuat kepala Disha kembali mendidih. Panas dan dia rasakan moodnya yang sudah membaik menjadi kacau. Disha mendesah saat bel tanda berakhirnya pelajaran sudah berbunyi. Disha menatap Tristan yang masih menunggui Tanaya. “Dia kenapa?” Tanya Disha cepat, mengagetkan Tris. Tris mengerjap pelan. “Trombositnya turun” Disha memutar bola matanya saat mendengar nada kuatir dari mulut Tristan tersebut. Suara Tristan yang berat dan lemah. Benar-benar sangat khawatir dan sayangnya membuat gendang telinga Disha sakit. Seperti petir di siang bolong. Ketika Tanaya mulai mengerjapkan mata dan mulai membuka matanya pelan-pelan, dia tersenyum mendapati Tristan berada di depannya dan belum menyadari kehadirannya. Disha mundur selangkah, pemandangan itu begitu memuakkannya. “Tris.. Makasih ya.. Kamu selalu ada” Tris menggenggam tangan Tanaya. “Iya, Nay” Disha hanya melihat pemandangan itu tak suka dari belakang. “Aku selalu beruntung punya kamu, Tris” Adegan telenovela itu membuat Disha memicingkan mata, berharap apa yang dia dengar tadi hanyalah script sinetron yang terbayang di otaknha. Disha menggelengkan kepala dan bermaksud keluar dari ruangan itu. Sebaiknya dia tidak mengganggu mereka. Ya. Sebaiknya Disha tidak mengganggu mereka berdua. Sebelum rasa bersalah di dalam hati Disha semakin bersarang juga perasaan aneh yang mulai menelisiknya akhir-akhirnya. Apa sebaiknya dia menghentikan semua ini? Gadis itu meyakinkan dirinya, kembali mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri. Jawaban-jawaban yang tidak bisa dikonfirmasinya. Saat dia menutup pintu ruang kesehatan itu, orang pertama yang dilihatnya adalah Deva. Pemuda itu tersenyum tipis padanya. [1] Gymnastic : olahraga senam. Disha masuk ke Gymnastic Artistic
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN