"Aku melihatnya! Aku melihat dengan mataku sendiri. Anak itu membunuh dua orang dengan satu jentikan mata!"
Seorang wanita tua memaparkan kejadian yang mengagetkan semua orang di kota. Di hadapannya, terdapat pria tua yang menggenggam tongkat kayu. Memangku dagu, meneliti apakah yang dikatakannya adalah hal dusta atau bukan.
"Lalu, ke mana anak itu pergi? Jika benar itu yang terjadi, dia akan menjadi ancaman umat manusia."
Wanita itu menujuk ke luar. "Ke sana! Aku lihat dia berlari cepat menuju Hutan Vallhara!"
"Baiklah. Semuanya bersiap! Besok kita akan memusnahkan Hutan Vallhara!"
Seseorang menyanggah keputusannya, "Ta-tapi, Pak Ketua, Hutan Vallhara sudah dilindungi sejak lama karena perjanjian dengan para makhluk peri, bukan? Bagaimana jika mereka murka?"
Pak Ketua mendengus. "Apa pentingnya? Mereka yang menyerang kita terlebih dahulu. Ini semua kita lakukan untuk melindungi warga! Sudah, cepat ambil senjatamu dan berkumpul di balai kota!"
Keesokan paginya, orang-orang itu berangkat menuju hutan. Dengan perlengkapan terbaiknya, mereka masuk ke sana dan mulai melakukan kerusakan. Menebang, membabat, bahkan membakar hutan. Tentu saja itu mengusik penghuni hutan yang sedang bersembunyi.
"Dryad! Manusia-manusia itu datang! Mereka membakar hutan! Apa yang harus kita lakukan?" lapor seorang manusia setengah burung yang terbang di sekitar peri hutan.
Dryad menggertakkan gigi sebelum mengambil keputusan. "Semuanya bersiap! Kita akan melakukan perang dengan manusia!"
Semua makhluk peri berteriak dengan semangat yang membara. Bertahun-tahun menyembunyikan diri dan menutup diri dari perbuatan manusia, akhirnya mereka bisa melakukan balas dendam. Berbondong-bondong, para makhluk peri itu mulai melakukan serangan balik.
"Harpy. Kau pimpin anak-anak dan para tetua keluar hutan."
Harpy melototkan mata. "Apa maksudmu, Dryad?! Kau pikir kita akan kalah?!"
Dryad membalas dengan tatapan tajam. "Mungkin kita bisa menahan serangan mereka. Tapi, tidak dengan kebakarannya. Sudah hampir setengah hutan yang terbakar. Kita bisa habis! Oleh karena itu, cepat pergi dari sini! Aku akan mengulur waktu!"
"Aku serahkan semuanya padamu, Harpy!" kata Dryad sebelum akhirnya ikut dalam medan pertempuran. Tak memberi kesempatan untuk Harpy berkata-kata.
"Sialan!"
***
Pagi masih buta. Mentari belum sepenuhnya muncul di cakrawala. Namun, kenapa suara-suara di luar sana sudah ramai sekali? Aku yang sedang tertidur pun mau tak mau membuka selimut. Berjalan keluar gua yang selama ini menjadi rumahku. Pandanganku masih belum jelas. Kukucek kedua mataku sambil sempoyongan. Sungguh, tubuhku masih butuh banyak istirahat.
Rasa hangat yang menjalar pada kulitku membuat dahi tertekuk. Sinar matahari tak pernah menyerangku karena pepohonan di sini begitu lebat. Akhirnya, aku menatap lekat-lekat pemandangan yang ada di hadapanku.
Awalnya aku tak percaya, aku menggosok kembali kedua mataku. Namun, pemandangan itu tak berubah. Korbaran api menyambar seluruh bagian hutan. Aku bisa mendengar para pohon yang menjerit ketakutan.
"He-hei! Apa yang terjadi?! Siapa yang melakukan ini semua?!" tanyaku mulai panik.
"Nafa! Cepat kau lari keluar dari hutan ini!" perintah Harpy yang tak kuindahkan.
"Apa yang terjadi, Harpy?! Kenapa hutannya bisa terbakar?"
Harpy mengumpat sebelum akhirnya bercerita juga. "Para manusia datang menyerang kami! Melupakan perjanjian seratus tahun yang lalu begitu saja. Tapi, tenanglah, Dryad sedang mengulur waktu. Makanya, cepat pergi dari sini!"
Lagi, aku tak mendengarkan perintah Harpy. Pikiranku melayang, teringat pada sang ibu. Kebaikan Dryadlah yang membuatku hidup sampai saat ini. Aku tak bisa tinggal diam saat dia sedang dalam pertempuran. Aku tak mau kehilangan seseorang lagi.
"Hei, Nafa kau mau ke mana?!"
Aku mengabaikan Harpy. Sekuat tenaga, aku berlari masuk ke dalam hutan. Tersenyum miris pada pepohonan yang sedari tadi menjerit meminta bantuan. Namun, aku tak goyah. Tapak kakiku tetap menerjang meski terasa panas karena menginjak api.
Aku mendengar bunyi pertarungan, membuatku berputar arah mendekat ke sumber suara. Benar, di sana ada banyak manusia yang sedang bertarung melawan makhluk peri.
"Dryad!" teriakku saat sampai di sana. Memindai ke segala arah mencari roh hutan itu. Dan di saat itulah aku terpaku. Sosok yang kucari-cari terkapar tak berdaya di depan seorang manusia. Kedua matanya tertutup, tubuhnya penuh luka.
"Ah, itu dia! Anak itu yang membunuh dua orang kemarin!" Salah satu manusia itu berteriak dan menunjuk ke arahku. Sedang yang lain nampak bersiap dan mengelilingiku yang masih membeku.
"Namaku adalah Iiona Nafa Chiara. Ibuku adalah manusia setengah malaikat serta ayahku adalah Raja Iblis."
Kejadian ini terulang kembali. Aku yang tak tahu apa yang sedang terjadi pada tubuhku hanya mampu mengikuti alur. Membiarkan seseorang mengambil alih kendali. Saat darah menetes melalui mata kananku, aku mengangkat kepala. Memberikan tatapan kosong nan dingin pada manusia itu lantas menjentikkan jari.
"Morir."
Semua orang terkaget-kaget. Seseorang telah menghilang dan hanya menyisakan sedikit cairan. Beberapa tak ambil pusing, lantas mengarahkan senjatanya padaku. Seperkian detik sebelum bilah besi itu menyentuh tubuhku, mulutku kembali mengucapkan mantra.
"Huracán del Infierno."
Pusaran angin muncul dari bawah tubuhku. Menghempaskan semua manusia itu hingga tak tersisa. Tubuh mereka tercabik-cabik sebelum merasakan apa itu penderitaan dari sebuah rasa luka. Api yang menjalar pun ikut terbang entah ke mana.
Dalam waktu hanya lima detik itu, keheningan langsung menggantikan perang. Pertempuran selesai, kemenangan mutlak untukku.
Namun, aku belum merasa ini sudah berakhir. Aku mendekat pada Dryad lalu membaringkannya dengab layak. Setelah itu, tanpa kata aku meninggalkan hutan, dan menuju kota.
"Kau yang kemarin! Mau apa lagi? Sudah kubilang untuk per--"
Wanita yang menjual makanan itu tak sempat menyelesaikan kata. Aku terlanjur membuatnya mati. Hal ini tentu saja menarik perhatian beberapa orang di sana. Ada yang terkejut hingga tak mampu berkata-kata, ada juga yang masih menggunakan akal logikanya untuk lari. Menghindari predator adalah salah satu kemampuan mangsa.
"Lari! Ada monster disin—"
"Morir."
Jentikan demi jentikan terdengar bersautan. Bagaikan melodi indah yang mengiringi langit yang sedang cerah. Di sepanjang perjalanan, aku membunuh orang-orang dengan gaya yang sama. Bahkan ahli sihir ataupun para petualang tak bisa menghentikan langkah kecilku.
"Tunggu! Kumohon dengarkan kami!" Seorang pria tua berlutut tak jauh di depanku. Jika dilihat dari pakaian jubah serta topi kerucutnya, sepertinya ia salah satu ahli sihir terkenal di kota ini. Pria tadi meletakkan tongkatnya tanda ia menyerah. Dengan tubuhnya yang bergetar, ia melanjutkan perkataannya, "A-akan kami kabulkan semua keinginanmu. Apa saja! Jadi, kami mohon. Jangan bunuh kami!" pintanya, ah bukan. Mungkin bisa dibilang merengek? Air matanya mulai bercucuran seperti anak kecil yang meminta permohonan maaf dari orang tuanya.
Jariku yang siap menjentik tadi mulai kuturunkan. Sebuah kelegaan kulihat dari pancaran mata mereka. Sebelum akhirnya aku kembali menjatuhkannya dalam keputusasaan. "Tapi, aku ingin kalian semua mati," jawabku lantas menunjuk ke arah langit.
Kini kedua mataku saling memancarkan lingkaran sihir. Keduanya bercahaya dan sebuah titik mulai terbentuk di ujung jari telunjukku. Titik yang mulai membesar dan berhenti di ukuran buah apel.
"Círculo de la Muerte."
Semua mata putus asa itu mengarah ke titik yang terbang menjauh ke atas sana. Titik hitam itu meledak dan mengurung seluruh kota. Bagaikan sebuah penghalang, sihir yang aku ciptakan tak bisa membuat mereka pergi ke mana-mana. Meski sayangnya, penghalang itu bukan untuk melindungi mereka.
"Aaa!"
"Sakit!"
"Tolong!!"
Lolongan ketakutan serta penderitaan mulai memekakkan telingaku. Tubuh mereka meleleh, seakan terbakar oleh api yang tak terlihat. Wujud akhir yang mengenaskan, menjadi sebuah cairan hitam yang mulai menggenangi jalanan kota. Teriakan itu berlangsung hanya dalam waktu semenit. Karena setelahnya, tidak ada lagi manusia yang hidup.
Ya, aku baru saja membantai semua orang di kota yang menjadi saksi bisu kehidupanku selama ini.
Darah di mata kananku mulai berhenti. Berangsur-angsur, warna mata itu kembali membiru. Cairan kental itu tergeser oleh cairan bening. Sambil terisak, aku mengadu pada langit.
"Ayah, Ibu, kalian ada di mana?"
***
Note :
1) Dalam Bahasa Spanyol, Huracán del Infierno berarti angin topan dari neraka.
2) Dalam Bahasa Spanyol, Círculo de la Muerte berarti lingkaran kematian.
Karena penulis hanya mengandalkan gugel, jadi mohon maaf jika ada tatanan bahasa yang keliru.