Chapter 2

1022 Kata
"Morir." Aku terdiam sejenak. Kedua suara itu menghilang. Sunyi kembali menyapa malam. Kedua mataku tertutup selama kurang dari semenit. Saat kesadaranku kembali, aku melototkan mata. "Apa yang barusan kulakukan?!" pekikku kaget bercampur takut. Tanganku cepat mengusap tetesan darah dari sudut mata kananku yang sudah berhenti. Mundur dengan tubuh gemetar mengingat apa barusan aku lakukan. Aku sudah membunuh seseorang! Fakta itu mengguncang batinku. Tanpa sadar, aku berlari meninggalkan tempat itu tanpa berpikir apa-apa lagi. Kakiku berayun menuju hutan, salah satu tempat teraman yang terlintas. Napasku tersengal ketika sampai di sebuah pohon. Tubuhku mengigil, teringat jika bajuku basah kuyup. Aku kelelahan, perutku belum terisi makanan. Dengan kondisi yang mengenaskan, aku kehilangan kesadaran. *** "Dryad. Kau yakin? Dia manusia, loh." "Dia hanya anak kecil, Harpy. Lagipula, aku malah tak ingin ada mayat manusia di hutan suci kita." Samar-samar, aku mendengar suara. Seseorang sedang berbincang, suara angin malam yang menjatuhkan dedaunan, serta suara api yang menyalak pada kayu. Perlahan, aku membuka mata. Melihat sebuah kain menyelimutiku. "Kau sudah bangun? Bagaimana keadaanmu?" Aku menoleh setelah mengucek kedua mataku. Berkedip berulang kali karena kupikir masih berdeduksi. Seorang wanita dengan rumbai tumbuhan memenuhi tubuhnya. Pakaiannya juga terbuat dari dedauan serta bunga. Tersenyum lembut ke arahku. Mata hijaunya menenangkan, aku seperti melihat alam yang luas dari bola matanya. "Ah ... iya." Sebuah sulur mendekat pada wanita tadi. Memberikan beberapa buah padanya. Kudengar dia berterima kasih pada sulur itu sebelum kembali menuju pohon. "Ini. Kau pasti lapar, bukan?" tawarnya memberikan semua buahnya tadi. Aku menerimanya dengan ragu-ragu. Memakan perlahan buah pemberiannya. Mata biruku berbinar, buah ini benar-benar manis! "Te ... terima kasih. Ehm ...." Aku bingung harus menyebutnya apa. "Dryad. Aku adalah peri di hutan ini. Siapa namamu?" "Nafa. Iiona Nafa Chiara," kataku masih menunduk malu. "Kupikir peri hanyalah dongeng." "Kami sengaja tidak menampakkan diri pada manusia! Soalnya mereka jahat. Sekali bertemu saja, mereka sudah mengurung kami lalu melelangnya seenak jidat! Padahal, tanpa kami, dunia tidak akan baik-baik saja, huh!" Aku tertegun. Sosok burung kecil yang memiliki tubuh manusia terbang di dekatku. Aku sibuk mengangumi penampilannya dibandingkan mendengar celotehnya tadi. Dia begitu mungil, lucu sekali. Manusia setengah burung itu bertengger di tanganku. Benar-benar mirip burung. "Namaku Harpy! Aku tahu kau bukan orang jahat, tapi jangan kira aku tidak mewaspadaimu, ya!" ancamnya. Seketika, aku teringat pada diriku beberapa saat yang lalu. Aku yang entah dikendalikan oleh siapa, membunuh manusia dengan mudahnya. Aku sibuk menelan ludah, mengurangi rasa gugupku. "Kenapa kau di sini? Ke mana orang tuamu?" Pertanyaan Dryad mengalihkan perhatianku. Tatapanku merunduk sendu. "Ibuku pergi menghadiri undangan Tuhan. Sedangkan ayahku ...." Ah, aku baru ingat jika dua orang yang kubunuh tadi berkata jika ayahku seorang Raja Iblis. Tak mungkin aku berkata jika aku adalah anak sang legenda yang sudah meninggal itu. Kata orang, Raja Iblis adalah musuh, ada baiknya aku tetap bungkam. "Ibu memintaku untuk mencari ayah. Namun, aku tak tahu harus mencari ke mana. Aku keluar dari kota karena orang-orang mengira aku adalah pencuri," kataku tak sepenuhnya berdusta. Aku merasakan sesuatu menyentuh kepalaku. "Duh, kasihan sekali. Ya sudah, kau di sini saja, bersama kami!" "Memangnya boleh?" tanyaku pada Harpy yang memiliki bulu bewarna biru itu. "Tentu saja!" Aku tersenyum lega. Tak berselang lama, aku menguap, tubuh mungilku membutuhkan lebih banyak waktu untuk terlelap *** Beberapa hari di hutan, aku merasa senang. Aku mulai berkenalan dengan seluruh penghuni hutan. Bahkan, lama kelamaan, aku mampu mendengar dan berbincang dengan alam. Mereka sangat menyambutku dengan baik. Membuatku semakin betah di sana. "Mau ke mana, Nafa?" Pertanyaan Harpy menghentikan langkah mungilku. "Aku ingin ke danau!" "Okey, sampaikan salamku pada Mermaid!" titahnya yang kujawab dengan anggukan kepala. Di perjalanan, aku mulai menyapa pohon dan makhluk lainnya. Ini adalah waktu yang amat membahagiakan bagiku. Aku sampai melupakan hal-hal buruk yang menimpaku belakangan ini. Yah, menikmati waktu sekarang adalah yang terbaik! "Hai, Mermaid! Aku kembali!" kataku pada sosok manusia setengah ikan yang sedang berjemur. Aktivitas yang biasa dia lakukan dipagi hari. Bosan melihat air, katanya. Sosok wanita berambut biru itu tersenyum padaku. "Wah, kau bertambah besar, ya?" Aku mengusap mulutku setelah meminum air danau melalui tangan. Memindai tubuhku sendiri, "Benarkah? Aku cukup makan sih semenjak ke sini." Mermaid terkekeh. "Aku jadi ingat saat pertama kali kau ke sini. Kau yang begitu kelaparan hingga girang ketika melihat danau. Padahal di sini hanya ada air. Dasar bocah." Ah, aku juga ingat itu. Waktu pertama kali aku keluar kota hingga masuk ke Danau Vallhara. Setelahnya, aku berpamitan dengan Mermaid dan kembali masuk ke hutan. Aku mencari Dryad. Dia kemarin berjanji akan bercerita padaku. "Dryad!" pekikku setelah menemukannya di atas pohon apel. Aku ikut naik ke atas dan duduk di salah satu dahannya. Dryad tersenyum simpul. "Jadi, kau ingin aku bercerita tentang apa? Aku tak tahu dongeng apa yang pas untuk anak manusia seumuranmu." Aku memilin tanganku sebentar. Merasa ragu dengan apa yang ada di pikiran. Namun, aku harus mengetahuinya, seburuk apapun kenyataan itu. "Dryad, kau tahu Raja Iblis?" Wajah Dryad berubah, senyumnya luntur. Aku sudah menduga reaksinya sebelum ini, tapi, tekadku sudah bulat. Aku harus mencari petunjuk tentang ayah. "Ibuku tak pernah menceritakan tentang Raja Iblis. Namun, festival kemarin itu untuk merayakan kematiannya, bukan? Apakah Raja Iblis memang semenakutkan itu? Hingga kematiannya adalah hal yang menggembirakan?" tanyaku polos. "Begitu. Pantas saja kau tak tahu," Dryad menghilangkan wajah dinginnya. Tatapannya mengarah ke langit. Menerawang sesuatu. "Raja Iblis adalah makhluk yang paling keji dan paling kuat yang ada di dunia ini. Dia sudah hidup berabad-abad, hingga tidak ada yang tahu pasti dengan umurnya. Sikapnya semena-mena dan begitu arogan. Dewa yang tak menyukai Raja Iblis itu lantas mengubah tatanan dunia." "Mengubah tatanan dunia?" tanyaku segera karena Dryad tak kunjung melanjutkan. Atau mungkin aku yang kurang sabar. "Iya. Dewa membuat sistem di mana Raja Iblis akan mati di tangan Pahlawan. Dan benar, sosok Pahlawan muncul di tengah-tengah manusia, lalu mengalahkan sang Raja Iblis. Setelah itu, dunia menjadi damai. Tamat. Cerita yang bagus, bukan?" Dryad tersenyum manis seolah selesai menceritakan sebuah dongeng pengantar tidur. Namun, bukan. Itu bukanlah sekedar dongeng ataupun mitos. Itu adalah kenyataan dan yang diceritakan adalah ayahku. Sosok yang aku cari selama ini. Sosok ayah yang ibu bilang akan kujumpai dalam waktu dekat. Namun, bukankah dia sudah mati? Apa ibu yang berbohong? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN