Chapter Sebelas

1431 Kata
            Beberapa hari setelah mengalami patah hati terparah, Ana tidak masuk kerja karena tubuhnya drop. Padahal Sam rutin menanyakan keadaannya, hingga beberapa kali mengantarkan makanan ke kosannya. Tapi tetap saja, Ana tidak nafsu makan hingga pernah tidak makan sama sekali seharian.            Saat kembali masuk kerja pun, Ana masih terlihat tidak baik-baik saja. Tentu saja setiap hari juga Sam selalu menemuinya sepulang kerja. Setidaknya hanya untuk memastikan keadaan temannya yang mulai sulit dihubungi melalui ponsel.             Melihat keadaan Ana yang cukup parah, Pak Raharja sempat menyuruhnya mengambil istirahat seminggu—tanpa tahu apa yang terjadi. Setelah mempergunakan waktu tersebut lah, akhirnya Ana merasa mulai pulih. Dia perlahan sadar kalau tidak bisa terus menangisi seseorang yang sudah tak mengharapkannya lagi. Jadi, dia berusaha mulai bangkit dan tidak lagi menutup diri dari orang di sekitar.             Setelah lewat tiga minggu, barulah Ana merasa jauh lebih baik. Tentu saja dia masih sering merasa sakit tiap kali mengingat kejadian di apartemen Rendy. Dan beberapa kali hampir tidak tahan untuk mengontak Rendy. Namun, dia berhasil melewati semua. Untung saja dia tidak pernah melihat wajah mantannya itu. Membuatnya akan lebih cepat untuk move on.             “Udah aku bilang, kan kalau gak bisa ngelukis hewan.”             “Gak mungkin. Buktinya lukisan yang ada di museum ada hewannya, kan?”             “Ya, maksudnya. Aku gak bisa bikin semua jenis. Kamu pakai nantang aku bikin beruang segala.”             “Tapi bagus, kok. Lucu kayak kucing gemuk.” Ana tertawa hingga air matanya menggenang di pojokan mata.             “Udah, ah. Aku buang aja nanti lukisannya.”             “Eh, jangan dong!”             Sam merasa cukup lega bisa melihat tawa dari wajah Ana lagi. Setelah berhari-hari berusaha untuk mengembalikan senyuman yang tak kunjung tampak itu. Rasa khawatir membuatrnya sempat tidak bisa tidur nyenya. Apalagi sewatku Ana benar-benar memutus komunikasinya dengan semua orang. Dia bingung harus mengecek keadaan Ana seperti apa, selain dengan mengunjunginya langsung di kosan.             Tiap kali Sam berkunjung. Dia selalu disambut oleh wajah pucat Ana, dengan matanya yang membengkak. Mereka tidak berbicara banyak. Karena tiap pertanyaan yang Sam lontarkan, pasti akan dibalas dengan tangisan.             Sedikitnya Sam mengerti bagaimana rasanya kehilangan. Namun dia tidak bisa paham seberapa sakit yang Ana rasa, saat harus kehilangan Rendy. Di saat sudah tidak punya sanak keluarga yang tersisa. Selama ini Ana pasti terlanjur berharap banyak dan mengandalkan Rendy. Hingga saat lelaki itu hilang, hidupnya pun seakan hancur.             “Aku senang lihat kamu sudah bisa ketawa kayak sekarang.”             “Aku juga senang, akhirnya bisa tertawa lepas lagi. Makasih ya, Sam.”             “Bua tapa? Aku gak ngerlakuin apa-apa selain ngelukis beruang yang kamu kira kucing gemuk.”             Ana kembali tertawa. “Kalau diingat-ingat lagi, setiap hari kamu ngecek keadaan aku. Bersyukur banget kamu ada. Soalnya kalau enggak, gak tahu deh aku bakal ngapain.”             “Hus, jangan semabrangan.”             “Sekarang udah mulai biasa, kok. Aku bahkan gak ngerasa kesepian karena ada kamu.”             “Oh, gitu?”             “Kok, kamu gak seneng gitu sih dengernya?”             “Aku cuma dapat terima kasih doang.”             “Oke, oke, kamu mau apa?”             “Apa yang bisa kamu kasih buat aku?”             Ana mengetuk-ngetukkan jarinya ke arah dagu. Lalu mengangguk-angguk setelah menemukan jawaban. “Aku tahu hadiah paling bagus buat kamu.”             “Apa?”             “Buku panduan cara melukis hewan,” ucap Ana sembari kembali tertawa. Sam pun tak bisa menahan tawanya.             “Sebenarnya aku punya tiket pameran, sih. Pengen banget ngajak kamu, tapi kayaknya kamu gak akan suka,” sambung Ana.             “Kok, kamu sok tahu gitu? Pameran apa emangnya?”             Ana mengeluarkan dua helai tiket dari dalam tas. Menyerahkannya kepada Sam.             “International Fashion Expo,” Sam mengeja nama acara yang dia baca. Lalu mendengus. “Jangan bilang kamu dapat tiket ini dari Remy?”             “Iya…”             Sam menyimpan tiket ke atas meja. Tidak berkomentar apa pun.             “Sebenarnya, Kak Remy sempat ngontak aku juga beberapa hari ke belakang. Kayaknya dia sadar aku lagi kurang sehat. Sampai akhirnya dia ngasih aku tiket gratis buat datang ke pamerannya. Dia kasih dua, katanya biar aku bisa ajak Sam. Akrena kalau dia ajak sendiri, Sam gak mungkin mau datang.”             “Memang menurutmu aku bakal mau pergi kalau kamu yang ajak?”             “Gak mau ya?” Ana sedikit tampak murung. Dia ingin sekali datang ke pameran Remy, tapi ingin juga Sam bisa datang bersamanya—meski agak tidak yakin.             “Ayo. Belum punya acara juga besok malam.”             “Oke!”                                                                                             ***               Sekitar pukul tujuh malam, Ana sudah bersiap di kosannya. Dia menunggu Sam yang berkata akan menjemputnya untuk pergi ke International Fshion Expo. Ini pertama kalinya Ana datang ke pameran fashion. Baginya, fashion juga merupakan bagian dari seni yang dia sukai. Namun dia sendiri tidak punya bakat di bidang tersebut, sehingga hanya bisa menikmati karya-karya orang hebat yang membuatnya kagum.             Lokasi pameran berada di sebuah hotel mewah. Ana cukup berdebar karena jarang sekali datang ke acara yang berkelas seperti itu—mungkin memang belum pernah. Awalnya dia bingung harus menggunakan pakaian seperti apa. Setelah berdiskusi dengan Sam, akhirnya dia memutuskan untuk membeli sebuah dress yang cukup mahal. Setelah sampai di lokasi, dia merasa tidak menyesal dengan keputusannya.             Sementara Sam sendiri datang dengan stelan jas hitam. Bahkan rambutnya ditata rapi, sangat berbeda dengan penampilannya sehari-hari. Ana hingga terpukau dibuatnya. Jika disandingkan, Sam tidak kalah tampak dengan kakaknya. Hanya saja dia tipe orang yang lebih suka berpenampilan sederhana, dan tidak terlalu senang diperhatikan banyak orang.             “Duh, aku kok deg-degan ya!”             “Kamu kan cuma tamu. Bukan yang ngadain pameran. Kenapa harus tegang segala?”             “Aku gak biasa datang ke acara orang kaya.” celetuk Ana. Membuat Sam tidak sanggup untuk menahan tawa.             Mereka berdua pun menduduki kursi yang telah di sediakan—mengelilingi panggung yang akan digunakan oleh para model yang sudah bersiap. Acara pun dimulai dengan sambutan beberapa orang, salah satunya adalah Remy.             Ana tidak menyangka bahwa orang yang sedang berbicara di atas panggung adalah seseorang yang dia kenal. Rasanya Remy yang pernah mengajaknya mengobrol, berbeda jauh dengan CEO Hellion tersebut. Kharismanya tampak menyilaukan. Wibawanya membuat orang lain tidak akan meremehkan dirinya yang masih terbilang muda.             “He’s amazing.” Ana berkata pada dirinya sendiri. Membuat Sam langsung melirik ke arahnya                                                                                             ***               “Hai, Ana. Makasih udah datang.” “Kak Remy, selamat ya buat pamerannya!”             “Thank you. Gimana menurutmu?”             “Kayaknya aku gak bisa berkata-kata. Aku pikir design Kak Remy itu selalu ngambil inspirasi dari Eropa. Tapi tadi semua koleksinya bener-benar dapet kesan lokalnya.”             “That’s the point. Kita harus bisa menyesuaikan segala hal sesuai tempatnya, Na.”             “Keren banget, sih!”             “Nanti aku kasih kamu beberapa koleksiku ya.”             “Beneran, Kak? Padahal dikasih tiket gratis ke sini aja aku udah seneng.”             “Aku harus terima kasih juga, soalnya kamu berhasil ngajak Sam ke sini. Sekali-kali, aku ingin dia lihat kesuksesan kakaknya.”             Ana hanya bisa tertawa dengan sedikit canggung.             “Ya udah, kalian nikmatin aja dulu acara dan makanannya ya. Aku harus cek para model lagi.”             “Oke, Kak. Makasih ya.”             Sam melengos ke sisi ruangan di mana meja panjang berisikan makanan ada di sana. dia mengambil segelas minuman dan meneguknya hingga habis. Ana hanya mengikutin temannya itu.             “Kamu pasti kesal banget, ya?”             “Remy memang paling hebat kalau urusan bikin aku jengkel.”             “Tapi aku penasaran, kenapa sih kamu seenggak suka itu sama kakakmu sendiri?”             “Dia itu sebelas dua belas dengan ayahku. Kayaknya senang membuat aku tertekan karena masih ambisius ngejar mimpi buat dapetin beasiswa kuliah jurusan seni. Dia sepakat dengan ayah, kalau aku lebih baik mulai memikirkan ingin memulai bisnis apa. Mereka bahkan menawarkan diri untuk membantu. Tapi aku gak mau hal-hal instan kayak gitu. Setidaknya ingin berjuang lewat jalan yang aku inginkan.”             “Aku baru dengar soal beasiswa. Kamu berencana ambil di mana?”             “Kalau gak Jepang, di Paris. Aku sudah beberapa kali submit lamaran ke banyak universitas. Tapi entah kenapa gak pernah dapat tanggapan.”             “Tapi aku yakin, setidaknya ada satu unversitas yang mau nerima kamu.”             “Ya… aku harap begitu. Soalnya ini tahun terakhir untuk aku mencoba. Tahun lalu aku membuat janji dengan ayah, kalau sampai tahun ini gak berhasil juga, aku akan menyerah. Ayah akan memintaku untuk membangun bisnis apa pun yang dia mau.”             Ana menggenggam tangan Sam. Wajahnya tampak sedih. “Aku bakal selalu mendukung dan mendoakan supaya kamu bisa cepat mewujudkan mimpi kamu.”             “Aku hampir menyerah, kalau saja waktu itu gak ketemu kamu di museum. Makasih ya.”             “Makasih juga udah mau lanjut berjuang.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN