“Halo.” “Halo, Ana? Ini ibu.”
“Oh!” Ana berseru. Baru menyadari siapa penelepon di balik nomor tak dikenal yang masuk. Dia adalah ibu Rendy. “Apa kabar ibu?”
“Ibu baru aja sampai di Jakarta.”
“Oh, ya ampun. Aku baru tahu ibu mau datang.”
“Memangnya Rendy gak cerita?”
Ana ingin sekali menceritakan soal hubungannya dengan Rendy yang sudah berakhir. Tapi sulit sekali dia mengatakan hal tersebut. Dan memilih menunggu hingga Rendy sendiri yang menceritakannya.
“Enggak, Bu.”
“Daritadi ibu coba nelepon Rendy tapi gak diangkat. Ibu bingung harus ke mana. alamat ruamah Rendy aja ibu gak tahu.”
“Aduh… Ana sekarang masih kerja, Bu. Jadi maaf gak bisa nemuin ibu.”
“Iya gak apa-apa, kok. Ibu nanti coba nunggu Rendy balas aja.”
“Tapi Ana tahu alamat apartemennya Kak Rendy. Kayaknya lebih baik ibu nunggu di sana aja. Nanti Ana kirim alamatnya ya.”
“Makasih ya, Ana. Kalau kamu ada waktu luang, nanti kita ketemu ya, sebelum ibu kembali ke kampung.”
“Iya, Bu. Nanti Ana kabari lagi ya.”
Ana menutup telepon dan mengembuskan napas. Tidak pernah menyangka aka nada hal yang kembali mengingatkannya kepada Rendy.
Keluarga Rendy memang sudah kenal dekat dengan Ana. Mereka sangat berjasa karena sempat mengurusi Ana setelah orang tuanya meninggal. Mungkin hal terberat saat haru berpisah dengan Rendy adalah harus berpisah juga dengan keluarganya.
Ana pikir dia tidak akan mendengar hal apa pun lagi yang mengganggu pikirannya. Pasti Rendy akan langsung menceritakan soal hubungan mereka kepada ibunya, pikir Ana. Tapi, keadaan justru bertambah rumit. Dan lagi-lagi Ana terkena imbasnya di saat ingin menjauhkan diri dari segala hal tentang sang mantan.
Malam sepulang kerja, Ana makan bersama Sam seperti biasa. Saat itu, ibu Rendy kembali menghubungi Ana.
“Iya, halo, Bu. Gimana, udah ketemu Kak Rendy?”
“Maaf ya, Na. Ibu baru tahu soal kalian…”
Ana cukup terkejut karena mendengar suara ibu Rendy yang terdengar agak bergetar—seakan ingin menangis. Ditambah lagi, terdengar suara bising dari kendaraan yang berlalu lalang. Pertanda kalau saat ini ibu Rendy sedang berada di pinggir jalan.
“Ibu sekarang ada di mana?”
“Ibu mau pulang ke kampung.”
“Kenapa gak besok aja? Kan, udah malam, Bu.”
“Gak apa, Na. Kayaknya Rendy gak suka kalau ibu berkunjung lama-lama.”
“Ibu sekarang di mana? Tunggu Ana di sana!”
Sedari tadi Sam merasa bingung mendengar percakapan Ana dengan entah siapa. Dan kini temannya tesebut mendadak terburu-buru akan pergi. “Ada apa, Na?”
“Kayaknya aku butuh bantuan kamu, deh. Biar aku jelasin di jalan.”
***
Ana melesat menuju tempat yang ditunjukkan ibu Rendy dengan mobil Sam. Dia tidak bisa tenang di sepanjang jalan. Hingga akhirnya bertemu dengan wanita tua yang terdiam sendirian di pinggir jalan.
“Ibu!”
Ibu rendy tampak sangat senang sewaktu melihat Ana. Dia langsung memeluk Ana dengan erat sembari menangis. “Ibu baik-baik aja?”
“Iya. Ibu gak apa-apa. Cuma kangen aja udah lama gak ketemu kamu.”
“Ibu udah makan? Kita makan dulu ya.”
“Gak apa, nanti ibu beli gorengan aja buat dimakan di jalan.”
“Jangan! Ibu pulang besok aja. Malam ini nginap dulu.”
Ana agak bingung karena kasurnya hanya cukup dipakai untuk satu orang. Dia pun mendekat ke arah Sam yang baru tiba di dekatnya. “Penginapan yang nyaman tapi murah di mana ya?” bisiknya.
“Mending kita ke apartemenku aja. Ada kamar tamu. Kalian tidur di kamarku yang kasurnya besar. Supaya bisa makan sekaligus ngobrolnya lebih enak.”
Ana tidak berpikir lebih lama lagi dan langsung mengiyakan. Lalu membawa ibu Rendy setelah menyakinkannya beberapa kali. Sebelum menuju ke apartemen, tidak lupa mereka mampir ke sebuah restoran untuk membungkus makanan.
“Maaf ya, ibu jadi merepotkan Nak Sam.”
“Gak apa, Bu. Lagian bahaya kalau ibu pulang terlalu malam. Saya juga senang bisa akan rame-rame begini.”
“Iya, Bu. Aku biasanya cuma makan sendirian di kosan. Kadang suka kesepian,” tambah Ana.
“Ibu jadi bersyukur kamu ada di Jakarta juga. Kalau enggak, mungkin ibu bingung harus gimana.”
“Sebenarnya, tadi ibu kenapa?”
Ibu Rendy menaruh sendoknya. Padahal makanan dalam piringnya masih tersisa. “Sebenarnya, ibu agak dadakan datang ke Jakarta. Waktu beberapa hari lalu bilang ingin nengok Rendy, dia melarang ibu. Tapi hari ini ibu tetap nekat datang.”
“Tapi tadi ibu sempat ketemu Kak Rendy, kan?”
“Iya. Ibu menunggu di apartemen sewaktu dia baru saja pulang, bareng seseorang…”
Ibu Rendy tampak ragu untuk bicara. Dia khawatir Ana masih belum tahu soal Rika. “Aku sudah tahu, kok Bu.”
“Tadi Rendy marah besar sama ibu, karena ngerasa ibu seenaknya datang ke Jakarta. Dia nyuruh ibu pulang.”
“Maaf ya, Bu. Tapi aku pengen banget mukul anak ibu itu,” celetuk Sam. Membuat Ibu Rendy kembali tersenyum.
“Bagaimana pun Rendy, dia tetap anak yang ibu sayang.”
“Ibu terlalu baik. Anak kayak gitu harusnya dikutuk jadi batu aja, Bu.”
“Dikira Malin Kundang!” sahut Ana. Dia membereskan piring kosong dan membawanya ke dapur.
Ibu Rendy merasa jauh lebih baik setelah mengobrol dengan Ana dan Sam. Seakan kehadiran dua orang tersebut membuat kesedihannya sirna dengan seketika. “Tadi ibu sempat khawatir sama Ana sewaktu tahu soal Rendy. Tapi setelah tahu ada Nak Sam, ibu jadi tenang.”
“Ada atau gak ada saya, Ana pasti baik-baik saja kok, Bu. Aku akui dia tegar banget.”
“Iya. Tapi tetap saja, akan ada kalanya dia butuh sokongan dari seseorang. Ibu harap nak sam akan selalu ada tiap Ana butuh bantuan. Tolong jaga Ana ya.”
“Iya, pasti, Bu.”
“Ana itu sudah seperti anak kandung ibu sendiri. Ibu tahu benar kayak apa hidupnya. Harus berusaha seorang diri setelah orang tuanya meninggal. Tapi dia tetap gak mau ngerepotin orang lain.”
“Sampai seakrang jua kelihatannya dia gak berubah.”
“Ibu harap, dia bisa dapat seseorang yang jauh lebih baik daripada Rendy. Dan ibu harap orang itu Nak Sam.”
***
Ana bersandar pada sofa—di samping Sam. Ibu Rendy sudah beristirahat di dalam kamar. Kini tinggal mereka berdua yang masih belum berniat untuk tidur.
“Aku gak nyangka Kak Rendy sejahat itu sama ibu.”
“Mantanmu itu sudah keterlaluan.”
“Entah kenapa aku jadi ikut sakit hati ngebayangin ibu diperlakukan kayak apa tadi.”
“Wajar, kamu sudah nganggap dia kayak ibumu sendiri, kan?”
Ana mengangguk. “Keluarga Kak Rendy terlalu baik sama aku. Tapi aku beryukur mereka ada sewaktu aku hampir hancur.”
“Setidaknya aku bersyukur Rendy ada sewaktu kamu sedang butuh seseorang. Meski aku jadi berharap, waktu itu bisa ada di sisimu juga.”
“Kamu udah ngantuk ya? Kata-katanya mulai ngawur gitu.”
“Maksudnya, kan, aku ingin jadi orang yang ada sewaktu kamu butuhkan juga.”
Ana memiringkan duduknya agar bisa melihat ke arah Sam. “Hei, kamu gak perlu ke masa lalu buat ngelakuin itu! Sekarang aja yang udah kamu lakuin itu jauh dari pada cukup. Aku bersyukur bisa kenal kamu.”
“Syukur lah. Aku lega dengarnya. Aku senang bisa berguna buat kamu.”
“Tapi, aku juga ingin jadi berguna buat kamu. Jangan terus-terusan kamu yang bantu aku.”
“Bisa ngobrol berdua sama kamu kayak gini aja udah ngebantu banget, kok.”
Sam tersenyum dengan tulus. Dia memang merasa hidupnya jauh lebih bahagia sejak mengenal Ana. Dan perlahan, perasaan itu semakin bertambah besar. Hingga kini dia sendiri sadar, bahwa perasaannya kepada gadis tersebut, sudah lebihd ari kata sayang. Sam tidak ingin melihat lagi Ana menangis. Apa pun akan dia lakukan untuk membuatnya kembali tertawa.
Ana tidak pernah memikirkan soal hubungan—yang lebih dari pertemanan, dengan Sam. Tapi dia merasa sangat nyaman tiap kali berada di dekat lelaki tersebut. Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati, dia pun menaruh perasaan yang sama dengan Sam. Namun, luka pada hatinya yang belum sembuh benar, membaut Ana belum bisa memikirkan kembali soal menjalin hubungan baru.
“Na.”
“Hm?”
“Can I tell you something?”
“What is it?”
Suasana yang terasa sangat mendukung bagi sam untuk menyatakan perasaannya. Tapi entah kenapa dia mendadak merasa kalau saat ini belum saatnya untuk mengatakan hal tersebut. Ada kemungkinan Ana masih belum mau memulai hubungan kembali karena baru saja berpisah dengan Rendy. Sam pun takut kehadirannya hanya akan menjadi pelarian semata—meski Ana seharusnya tak mungkin melakukan itu.
Sam justru terdiam. Dia menatap Ana lekat. Membaut gadis tersebut mulai bingung dan sedikit merasa canggung.
“Udah malam. Kamu gak mau istirahat?”
“Ah, iya juga ya. Besok subuh aku harus pulang dulu ke kosan. Tapi, ibu gimana ya?”
“Tenang aja. Biar aku yang antarkan ibu besok ke stasiun. Kamu kan harus kerja.”
“Makasih ya, Sam. Aku berhutang banyak sama kamu.”
“No problem.”