“Ini pasti ulah perempuan itu! Pasti dia yang nyuruh ibu kamu supaya datang ke Jakarta! Dia juga pasti udah ngomong macem-macem soal aku ke ibumu,” Rika tak henti mengoceh sejak sampai di apartemen Rendy. Dia kesal karena merasa image-nya di mata ibu Rendy jadi kurang baik. Rendy masih berusaha tetap tenang. Ingin sekali melupakan apa yang sudah terjadi. Tapi Rika tak henti membahasnya.
“Gak mungkin Ana kayak gitu.”
“Kamu itu kenapa sih, masih terus ngebelain dia? Jangan ketipu sama sama muka polosnya itu!”
“Aku sudah kenal Ana jauh lebih lama dibanding aku kenal sama kamu.”
“Terus, siapa yang mau tanggung jawab kalau ibumu ngerasa gak suka sama aku?”
“Tenang aja.”
“Gimana aku bisa tenang, Babe! Kamu bahkan ngusir ibu kamu gitu aja. Gimana kalau dia pikir kamu jadi kayak gitu karena dekat sama aku?”
“Hei…” Rendy memeluk Rika dari belakang. Berusaha menenangkan sang kekasih yang tak bisa berhenti merasa gelisah. “It’s okay. Aku gak akan ngebiarin hal buruk terjadi sama kamu. Lagian yang paling penting itu hubungan kita, kan?”
Rika pun berbalik badan dan memeluk Rendy erat. “Maaf, Babe. Aku cuma takut kalau ada hal buruk terjadi, bisa-bisa aku haru pisah sama kamu.”
“Itu gak akan terjadi.”
Rendy mengecup bibir Rika pelan. Saling memberikan ketenangan melalui cumbuan yang dipenuhi rasa sayang.
Meski perbincangan berakhir, tapi keduanya lanjut berbincang dengan dirinya sendiri. Tak bisa dipungkiri kalau sebenarnya Rendy merasa gelisah. Dia tidak bermaksud memperlakukan ibunya dengan buruk, bahkan hingga menangis. Ekspresi yang dia lihat tadi langsung mengingatkannya kepada Ana. Membuatnya mulai merasa bersalah.
Sementara Rika sendiri masih terus merasa terganggu oleh bayang-bayang Ana. Sekeras apa pun rendy berusaha meyakinkannya, dia masih merasa sang kekasih memiliki perasaan kepada sang mantan. Dia tidak bisa tenang sebelum Ana benar-benar menjauh dari sana. Namun itu tidak akan terjadi sebelum dia melakukan sesuatu, pikirnya.
***
Raharja sibuk seperti biasa di balik laptopnya. Dia tak henti mengerjakan sesuatu, meski seseorang masih ke dalam ruangannya. Seorang lelaki berstelan serba hitam datang dengan wajah kaku.
“Ada apa?”
“Soal Samuel. Saya tidak tahu ini penting atau tidak. Tapi saya yakin Anda ingin mengetahuinya.”
Raharja menghentikan kegiatannya sejenak, karena sbeuah tablet disodorkan ke hadapannya. dia melihat sebuah video yang memperlihatkan Ana baru saja keluar dari apartemen Sam tadi pagi.
“Beberapa kali saya lihat perempuan itu berkunjung ke apartemen Samuel. Tapi baru kali ini dia sampai menginap. Sepertinya mereka hampir tiap hari bertemu.”
Raharja masih tidak merespons. Dia menggeser video pada tablet. Melihat beberapa foto yang diambil diam-diam saat Sam makan bersama Ana. Hingga sebuah foto berhasil menarik perhatiannya.
“Apa ini?”
“Akhir-akhir ini Samuel mulai melukis lagi. Seminggu yang lalu, dia sempat submit lamaran beasiswa baru ke universitas di Perancis.”
Raharja sedikit melempar tablet ke atas meja. Tampak sangat kesal akibat kabar yang baru saja dia dengar.
“Padahal sedikit lagi dia sudah tidak bisa menolak lagi suruhanku. Kelihatannya aku salah merekrut pegawai. Kamu awasi mereka!”
“Baik, Pak.”
“Cari tahu juga soal perempuan itu.”
Raharja tidak langsung kembali melakukan kesibukannya. Dia masih termenung, memikirkan Sam yang mungkin akan kembali menolak untuk mulai berbisnis. Tapi dia tidak ingin hal itu terjadi. Bagaimana pun caranya, dia tidak akan mengizinkan Sam mengambil kuliah seni.
Raharja mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Kamu bisa ke kantor ayah sekarang? Ada yang ingin ayah diskusikan soal adikmu.”
***
Sore itu, Ana baru saja selesai melakukan absen pulang. Seperti biasa, Sam pasti sudah menunggunya di depan museum. Tapi saat itu dia justru mendapati Sam sedang berbicara dengan sang ayah di depan ruang direktur. Ana spontan bersembunyi di balik tembok.
“Bukannya ayah masih memberikan waktu sampai tahun ini? Gak salah kan, aku mencoba?”
“Ayah pikir kamu sudah bisa berpikir lebih dewasa.”
Sam mengembuskan napas. “Dewasa yang ayah maksud itu, jadi seperti Kak Remy dan Kak Juna? Maksudnya aku harus sukses, dipandang oleh semua orang agar ayah gak malu punya anak sepertiku.”
“Sejak kapan kamu jadi kurang ajar? Sepertinya ada seseorang yang mempengaruhimu ya?”
“Aku gak pernah berubah sejak dulu. justru ayah yang berubah sejak ibu meninggal.”
“Berapa kali ayah bilang untuk tidak membahas hal itu?”
Ana merasa semakin bersalah sudah menguping pembicaraan soal maslaah keluarga. Dia pun memutuskan untuk pergi lebih dulu ke depan museum, dan menunggu Sam di sana. Ternyata, di tempat tersebut dia justru bertemu dengan Remy yang entah kenapa sedang berdiri seorang diri.
“Lho, Kak Remy lagi ngapain sendirian?”
“Habis kabur dari cewek-cewek yang ngejar dari tadi.”
“Oh, ya ampun.” Ana tertawa mendengarnya.
“Padahal aku cuma mau ke sini buat ketemu kamu.”
Ana terdiam. Agak tak percaya mendengarnya. “Aku pernah menjanjikan sesuatu sama kamu, kan?” tambah Remy lagi, sembari menyodorkan sebuah kantung kertas berwarna cokelat.
Ana menerima hadiah tersebut, dan mengintip sisinya. “Waw, aku hampir lupa padahal. Makasih banyak lho, Kak!” Dia menerima beberapa helai baju rancangan Remy yang sempat dipamerkan saat International Fashion Expo.
“Aku pilihkan yang paling cocok buat kamu. Dan bisa dipakai kerja juga.”
“Pasti bakal langsung aku pakai bajunya.”
“By the way, kamu sudah beres kerja, kan? Mau makan bareng?”
“Ng...” Ana teringat kepada Sam. Dia menoleh ke arah belakang, dan meliat orang yang dicari baru saja keluar dari pintu depan Museum. Pak Raharja ada di sana, namun dia berhenti hanya sampai di depan pintu. Memandangi Sam yang berjalan ke arah Ana.
Entah kenapa Ana sedikit merasa tidak enak. Seakan Pak Raharja kini memperhatikannya.
“Iya juga ya, kamu pasti makan bareng Sam. Kalau gitu, aku ikut juga bareng kalian.”
Wajah Sam tidak baik-baik saja sejak keluar dari museum. Dan bertambah buruk saat melihat keberdaan Remy di dekat Ana. “Ayo, Na,” ajaknya langsung sambil lanjut berjalan. Bahkan mengabaikan keberadaan sang kakak, seolah tak terlihat sama sekali. Tapi Remy tetap mengekor.
Sepanjang makan malam, Sam terus diam. Kali ini bukan karena kehadiran Remy, namun karena sepertinya terganggu oleh perbincangan dengan Pak Raharja tadi. Ana ingin bertanya, tapi tidak mungkin dia lakukan di hadapan Remy. Jadi, dia menunggu kesempatan untuk membahas hal tersebut di lain waktu.
“Ana?”
“Em, iya?” Ana tak sadar sudah termenung sesaat di kala Remy menanyakan sesuatu. Sampai-sampai dia tidak mendengar apa yang baru saja ditanyakan.
“Kenapa, kok tiba-tiba bengong gitu?”
“Enggak apa-apa, kok. Kalau kekenyangan emang suka kayak gini, hehe.”
“Ngomong-ngomong, kalian sering datang ke tempat ini ya?”
“Iya, soalnya di kafe ini ada makanan beratnya juga, sih. Jadi mau cuma ngopi atau sekaligus makan juga bisa.”
“Tapi waktu aku coba, rasa kopinya juga enak, sih.”
“Iya, mereka punya racikan yang khas juga. Sam paling suka sama kopi kleponnya.”
“Kamu kayaknya tahu banget soal Sam ya? Bahkan lebih banyak tahu daripada aku sendiri.”
“Ya… kita sering makan bareng soalnya.”
“Aku jadi penasaran. kalian ini sebenarnya pacaran atau tidak, sih?”
“Eh?” Ana agak terkejut diberi pertanyaan seperti itu tiba-tiba. Tentu saja jawabannya sangat mudah. Tapi entah kenapa dia berat mengatakannya. Sedikitnya, dia berharap bisa jadi lebih dari seorang sahabat bagi Sam. Begitu pula dengan Sam sendiri. Tapi keduanya belum merasa memiliki waktu yang tepat untuk saling mengungkapkan perasaan. “Kita gak pacaran, kok.”
“Oh, syukurlah kalau begitu.”
“Kok, kayak yang lega gitu, Kak?”
“Berarti aku bisa lebih dekat sama kamu tanpa halangan.”
“Em…” Ana memasang wajah bingung.
“Tidak masalah kan, kalau aku mau kenal kamu lebih banyak? Kayaknya, aku tertarik sama kamu.”
Sam mendadak menggebrak meja. Menghunuskan tatapan tajam ke arah Remy yang hanya tersenyum kecil. “Gak akan aku maafkan kalau kamu mempermainkan Ana,” ucapnya dengan nada mengancam.
“Kenapa sih, kamu selalu berpikiran buruk tentang aku? Kalau memang aku benar-benar suka pada Ana, kamu mau apa?”
Ana mulai bingung melihat keadaan menegangkan di hadapannya. Remy tampak sangat santai, tidak terintimidasi sama sekali oleh perkataan Sam. Justru Sam lah yang terpancing. Sepertinya tak lama lagi dia bisa menghajar Remy dengan tangannya yang mulai terkepal.
“Sam… Tenang…” Ana agak gemetar karena takut hal buruk akan terjadi. Dia lekas bangun dan menarik lengan Sam. Setidaknya menjauhkan lelaki tersebut dari Remy.
“Maaf, kepala aku lagi agak kacau. Aku sebaiknya pulang duluan.”
“Oke. Kabarin aku kalau sudah sampai ya.”
Remy masih menikmati kopinya sembari mengamati Ana dan Sam. Bibirnya sedikit tersungging dibuatnya.