Chapter Empat Belas

1376 Kata
            Beberapa hari sejak malam di mana itu, Sam tidak datang ke museum seperti biasa. Dia hanya mengirimkan pesan bahwa dia sedang kurang enak badan dan ingin istirahat. Namun berapa kali ditanya, Sam tidak pernah menjelaskan apa-apa kepada Ana. Ana pun yakin kalau Sam mungkin bukan hanya tidak enak badan, namun terpengaruh oleh obrolannya bersama Pak Raharja tempo hari.            Di hari Sabtu, Ana memutuskan untuk datang ke apartemen Sam secara tiba-tiba. Tanpa mengabari terlebih dahulu, dia pergi sembari membawa beberapa makanan hasil buatannya.             Sam cukup terkejut sewaktu membuka pintu dan mendapati Ana yang berdiri di depan kamarnya. “Lho, kamu ngapain ke sini?”             “Katanya lagi kurang sehat. Aku datang buat nengok.”             Sam tidak punya pilihan lain selain mmpersilahkan Ana untuk masuk.             “Nih, aku bawain bubur kacang ijo spesial pakai ketan hitam. Kesukaanmu, kan?”             “Makasih, ya. Kayaknya aku bisa langsung sembuh habis makan ini.”             Di saat Sam sedang menyimpan makanannya, Ana melengos—mengintik ke arah ruang kecil yang biasa digunakan Sam untuk melukis. Dia pikir mungkin Sam sudah membuat lukisan baru. Tapi betapa terkejutnya dia saat mendapati ruangan tersebut sangat berantakan. Seakan baru saja ada badai yang terjadi di dalam sana.             Semua cat warna yang semula tersimpan rapi, kini berhamburan di mana-mana. bahkan hingga bercipratan di tembok dan lantai. Beberapa kuas patah. Dan beberapa canvas putih disobekkan dengan sengaja.             Ana menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangan.             “Na, kamu ngapain?!” Sam agak panik sewaktu sadar kalau Ana masuk ke dalam ruangan tersebut. Awalnya dia ingin menyembunyikan hal tersebut agar tak perlu diketahui oleh siapa pun. Tapi kini, semuanya terlambat.             Sam terduduk lemas di atas lantai. Bersandai pada tembok ruangan lukisnya. Ana tidak mengatakan apa-apa sebelum turut duduk bersama di samping lelaki misterius tersebut. Tentu saja dia penasaran dengan apa yang sudah terjadi. Tapi tetap bersabar mencari waktu yang tepat untuk bertanya.             “Are you okay?” tanya Ana pelan. Dia menggenggam tangan Sam yang terasa hangat.             “Aku berusaha untuk baik-baik saja. Tapi gagal.”             “Sebenarnya aku sadar kamu agak berbeda sejak berbicara dengan Pak Raharja beberapa hari lalu di museum.”             “Kamu melihatnya?”             “Maaf ya. Aku gak bermaksud menguping. Dan gak lama langsung pergi. Udah lama aku penasaran soal masalahmu, tapi gak pernah berani buat nanya.”             Sam memegang kepalanya dengan tangan kiri. Sementara tangan satunya balas menggenggam tangan Ana dengan erat. “Dulu ayahku sangat senang dengan seni, sama sepertiku. Itu kenapa dia mau lanjut mengurus museum yang dibandung oleh kakek. Tapi dia berubah sejak ibu meninggal. Ibu pun dulunya seorang pelukis. Mungkin semua lukisan itu melukai hati ayah sehingga dia memilih untuk membenci dan melupakannya. Supaya gak perlu terbayangi oleh sosok ibu yang sudah pergi.”             “Pasti berat ya buat ayahmu.”             “Aku mengerti itu. Ayah pasti sangat tersiksa karena harus kehilangan wanita yang dia cintai. Tapi aku gak suka karena dia seakan ingin membuatku sama-sama tersiksa. Sampai melarangku untuk berhubungan dengan seni lagi. Aku khawatir kalau suatu saat kakek sudah gak ada, ayah bisa saja menjual museum itu.”             Ana mengela napas panjang. Berusaha tidak menginterupsi hingga Sam benar-benar selesai bercerita.             “Sebenarnya, bukan hanya kematin ibu yang membuat ayah tersiksa. Tapi alasan yang ada di baliknya.”             Sam mengeluarkan ponsel, dan memperlihatkan foto seorang wanita cantik di dalam sana. rambutnya panjang bergelombang. Wajahnya benar-benar mirip dengan Sam. Ternyata hidung dan mata Sam menurun dari sang ibu. Tidak seperti Remy yang lebih mirip dengan sang ayah.             Akan tetapi, bukan soal itu yang membuat Ana penasaran. Dia yakin benar sosok wanita tersebut sudah tidak asing di matanya. “Sam… kamu pasti gak akan percaya ini. Tapi kayaknya aku kenal sama ibumu. Ini, Bu Alikha, kan?”               “Bagaimana kamu bisa tahu?” Sam turut terkejut.             “Kami berdua sempat mengobrol. Gak benar-benar mengobrol, sih. Hanya bertukar pesan lewat email. Waktu pertama kali kenal, Bu Alikha lagi dirawat di rumah sakit. Tapi dia gak pernah kasih tahu aku soal penyakitnya. Sebenarnya, ibumu sakit apa?”             Sam tertegun beberapa saat sebelum menoleh ke arah Ana yang tampak penasaran. “Ibu bunuh diri, Na.”             Jantung Ana mendadak terhantam sesuatu. Membuat air matanya mendesak keluar. Setelah sekian lama, dia baru mengetahui sebuah kenyataan yang pahit.             “Kamu pasti pernah dengar pelukis terkenal bernama Supardi Widjaja. Dia ayah dari ibuku. Meski menurutku ibu punya kemampuan yang luar biasa, tapi banyak orang yang justru mencaci makin karyanya. Mereka bilang kemampuan melukis ibu buruk, gak sebagus ayahnya. Padahal mereka hanya mempunyai aliran yang berbeda, tapi gak banyak yang mengerti. Karena terlalu sering mendengar omongan orang, ibu sampai sering sakit dan beberapa kali keluar masuk pusat rehabilitasi untuk para penderita gangguan mental. Dia juga sering menyakiti dirinya sendiri. Tapi ayah selalu ada buat menenangkan ibu. Hingga suatu saat, ayah harus dinas keluar kota dalam waktu yang cukup lama. Saat itu ibu kembali kumat sampai memutuskan buat bunuh diri.”             Ana masih terus menangis mendengarkan cerita Sam. Lelaki muda itu pun sudah tak kuat menahan kesedihan dalam hatinya hingga turut menitikan air mata.             “Karena hal itu, ayah mulai menyalahkan diri sendiri karena gak bisa ada di sisi ibu sewaktu dia membutuhkannya. Padahal aku pun sama tertekannya, karena waktu itu cuma aku yang berada paling dekat sama ibu. Tapi aku gak bisa melakukan apa-apa.”             Sam menarik napas, menormalkan suaranya yang sedikit bergetar. Lalu mengusap wajah dengan sebelah tangan.                         “Beberapa hari kemudian, ayah tiba-tiba datang  ke kamarku dan membuang semua lukisan yang ada. Dia memperingatkanku agar gak lanjut melukis. Aku tahu dia hanya takut kejadian yang menimpa ibu berulang kembali. Tapi aku gak suka caranya. Kakek sempat membantuku waktu itu, memberi pengertian kepada ayah. Tapi semua sia-sia. Gak ada yang bisa melawan kekeraskepalaan ayah. Apa aku sebaiknya mengikuti keinginan ayah, Na?”             Ana menggeleng. “Aku akan tetap mendukungmu untuk mengejar mimpi. Meski awalnya berat, aku yakin kalau melihatmu sukses, akan membuat luka Pak Raharja sembuh. Kamu cuma harus menunjukkan kalau kamu akan baik-baik saja dan justru membuatnya bangga.”             “I hope so.”             “Aku percaya, kok.”             “Makasih, ya.” Sam tersenyum kepada Ana yang balas tersenyum ke arahnya.             “Kalau ceritamu sendiri gimana? Kenapa bisa kenal sama ibuku?”             Ana sadar kalau menceritakannya, itu berarti harus mengungkapkan jati dirinya sebagai penulis. Masih ada perasan takut untuk melakukannya. Tapi dia pikir tidak akan adil bagi Sam yang sudah mau bercerita soal masalah pribadinya. Mungkin kali ini giliran Ana sudah tiba, pikirnya.             “Waktu itu Bu Alikha yang lebih dulu menghubungiku lewat email. Dia bilang suka dengan tulisanku dan membuatkan beberapa buah ilustrasi yang bisa dipakai saat aku menerbitkannya.”             “Aku baru tahu kalau kamu nulis buku.”             “Iya, aku nulis novel. Tapi aku gak pakai nama sendiri. Entah kamu tahu atau enggak, penname-ku Miss. Rigel.”             “Kamu Miss Rigel yang nulis trilogi Bintang Kejora itu?” Sam memasang wajah tidak percaya. Sementara Ana hanya mengangguk-angguk untuk membalasnya. “Astaga! Sudah selama ini kita kenal, tapi kamu baru bilang sekarang?”             “Aku gak mau banyak orang yang tahu.”             “Lalu ilustrasi ibuku kamu pakai di novel yang mana?”             “Kalau itu… aku belum menerbitkan novelnya. Soalnya aku sendiri belum dapat ilustrasi aslinya dari Bu Alikha. Dulu dia cuma memperlihatkan fotonya aja. Sewaktu ada yang mengabariku soal meninggalnya Bu Alikha, gak pernah ada balasan lagi waktu aku nanya soal ilustrasi itu.”             “Siapa yang mengabari kamu waktu itu?”             “Aku gak tahu. Orangnya cuma bilang kalau dia anak Bu Alikha. Bukan kamu, ya?”             Sam menggeleng. “Tapi aku gak pernah dengar Kak Juna atau Remy pernah membicarakan soal ilustrasi ibu. Dan waktu aku membereskan barang-barang ibu, kayaknya gak pernah lihat ada buku gambar.”             Ana sedikit cemberut. Awalnya dia pikir bisa mendapatkan berita baik setelah mengerahui bahwa Sam adalah anak dari illustrator yang dia cari.             “Makasih ya, Na. Kamu sudah jadi teman ibu mengobrol waktu itu. Kakek sempat cerita kalau ibu sudah gak mau berhubungan lagi dengan lukisan. Tapi bisa dibilang keajaiban kalau memang dia sampai mau membuatkan ilustrasi buat kamu.”             “Meski singkat, tapi aku bersyukur bisa kenal sama Bu Alikha. Buatku, lukisannya indah sekali. Aku ingin mengabadikannya bareng tulisanku.”             “Nanti akan aku coba bantu cari kalau sedang pulang ke rumah.”             “Thanks, Sam.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN