Hampir seminggu berlalu sejak pertemuan terakhir kali Ana dengan Rendy. Sejak saat itu, dia tidak pernah mendapatkan kabr dari Rendy. Ana sempat mengimkan pesan beberapa kali, namun tak ada balasan. Tapi dia tidak berani untuk langsung bertatap muka. Ana berusaha untuk menambah kesibukannya. Mencurahkan semua kesedihan melalui tulisan. Tapi belum cukup, dia masih merasa tidak baik-baik saja. pekerjaan di kantor pun sedikit terganggu karena Ana sering tidak fokus. Hingga sempat dimarahi habis-habisan karena menjatuhkan pajangan di museum. Untung saja barang tersebut tidak rusak.
Kesedihan Ana bisa hilang sementara saat bertemu dan mengobrol dengan Sam. Tapi tetap saja, dia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Sam sadar ada yang berbeda dari temannya itu, tapi tidak pernah berani bertanya. Hingga beberapa hari berlalu dan keadaan Ana tampak tidak kunjung membaik.
“By the way, kamu lagi ada masalah ya?”
“Hm? Masalah apa?”
“Jangan bohong. Kamu bukan orang yang bisa nyembunyiin perasaan.”
Ana masih berpikir untuk menutupi masalahnya, tapi dia pikir sia-sia. Dan mungkin bercerita kepada Sam bisa meringankan bebannya.
“Lagi ada masalah sama pacarku. Tapi kamu pasti bakal kebosanan kalau dengar.”
“It’s okay. Aku punya banyak waktu luang buat ngedengerin.”
Ana tersenyum kecil. “Gak ngerti harus cerita dari mana. Yang jelas, aku mulai gak kenal sama pacarku sendiri. Dia mendadak berubah dan bilang itu semua karena aku. Dia sempat mencurahkan semua kekesalan yang mungkin selama ini gak pernah bisa disampaikan. Aku jadi ngerasa bersalah karena selama ini terlalu sering memikirkan diri sendiri.”
“Pacarmu sendiri suka cerita tiap kali dia punya masalah.”
Ana menggeleng. “Dia tipe yang gak mau bikin aku terbebani karena dengar masalahnya. Jadi dia jarang cerita kecuali aku yang tahu lebih dulu.”
“Berarti bukan salah kamu. Gimana kamu bisa tahu dia punya masalah kalau dia saja gak cerita? Jangan menyalahkan diri sendiri.”
Ana mengela napas panjang. “Ya… tetap saja aku gak enak.”
“Hm…” Sam tidak begitu berpengalaman memberikan masukan soal masalah perasaan. Terakhir kali berpacaran saja sudah beberapa tahun yang lalu. Itu pun tidak pernah lebih dari dua bulan. “Aku mungkin gak bisa kasih masukan apa-apa. Tapi aku juga gak mau kamu terus sedih kayak gitu.”
“Aku juga gak mau kalau harus ngerasa kayak gini terus. Harus gimana ya?”
“Biasanya apa yang paling bikin mood kamu jadi bagus?”
“Hmm… lukisan?”
Sam berpikir sejenak, lalu memngangguk-angguk. “Kalau aku buatkan kamu lukisan, kira-kira bakal senang gak?”
“Serius?” Ana mulai kembali tersenyum.
“Mana mungkin aku bohong. Nanti malam bakal aku mulai, supaya kamu bisa lihat hasilnya langsung besok.”
“Wah, aku gak sabat pengen lihat.”
“Ada ide buat tema lukisanya?”
Mata Ana melirik ke sekitar untuk mencari ide. “Aku pengen kamu buatkan sesuatu yang bisa menggambarkan, aku itu orang yang kayak apa.”
“Oh… kayaknya bakal susah banget.”
“Udah nyerah duluan nih ceritanya?”
“Emang pasti bakal susah. Tapi bukan berarti aku gak bisa. Selama kamu percaya kalau aku bisa buat lukisan yang bagus.”
“Aku gak akan meragukan kemampuan pelukis favoritku.”
Dengan ajaib, Ana sudah bisa tersenyum dan tertawa jauh lebih tulus sekarang. Dia tahu tidak akan mendapatkan solusi apa pun dengan bercerita. Tapi setidaknya, dia senang karena ada orang yang mau mendengarkan.
Padahal baru saja keduanya merasa asik mengobrol. Sam pun hingga tertawa terpingkal karena obrolan yang semakin seru. Tapi dia yang kini harus merasa kesal berkat kehadiran seseorang yang tidak ernah diharapkan.
“Seru banget keliahatannya.” Remy muncul tiba-tiba. Ana pun cukup terkejut melihatnnya. Lelaki itu membuka kacamata hitam yang serasi dengan kaus lengan panjang yang dia kenakan.
“Eh, hai, kak. Kebetulan banget ketemu di sini. Mau beli kopi juga?”
“Tadinya enggak, sih. tapi karena ngeliat kalian berdua, aku jadi pengen mampir.”
“Oh…”
“Karena udah di sini, aku gabung ya.”
Ana hanya bisa tersenyum lebar. Melirik ke arah Sam yang memelototinya. Berharap dia mengusir Remy segera. Tetapi si CEO muda tersebut seakan tak sadar ada yang mengharapkannya pergi. Dia duduk pada kursi di sebelah Sam, dan merangkul pundak adiknya itu. Sebenarnya dia hanya senang membuat Sam kesal.
“Kak Remy gak lagi sibuk memangnya?” tanya Ana. Berusaha keras mencari cara agar Remy bisa pergi tanpa membuatnya tersinggung.
“Gak ada yang namanya sibuk. Yang ada cuma masalah prioritas. Buatku, adikku ini masuk ke prioritas utama.”
“Huh,” Sam mendengus kencang. Semabri membuang wajahnya ke arah berlawanan dengan tempat Remy berada.
“Ditambah lagi, kamu masih punya hutang padaku kan, Ana?”
“Ah! Iya ya. Kak Remy kan sudah membantu mengembalikan ponselku waktu itu. Aku traktir kopi aja ya, Kak?”
“Heh, mikir, dong. Masa minta traktir sama Ana. Gak malu?” sahut Sam dengan cepat ke arah kakaknya.
“Lho, aku kan gak minta ditraktir. Ana bisa bayar jasa dengan hal lain, kok.”
“Pakai apa, Kak?”
“Cukup temani aku mengobrol saja di sini sekarang. Biar aku yang traktir kalian minum.”
Remy tahu keberadaannya tidak diharapkan. Tapi dia cukup cerdik untuk mencari celah agar tidak ada yang bisa mengusirnya. Kini Ana tidak punya alasan untuk melakukan hal itu. Terpaksa untuk membiarkan Sam merasa kesal untuk beberapa saat.
“Kamu habis bekerja seharian, gak capek, Ana? Gak mau pulang?”
Ana bingung harus menjawab apa. Hanya bisa tersenyum agak dipaksakan. Dan merasa bingung karena ahrus terjebak di antara hubungan kakak adik yang tidak akur—entah karena apa.
“Eng… gak apa-apa. Lagian gak enak Kak Remy baru sampai.”
“Ya, sudah. Kalau gitu aku pulang duluan ya. Ada yang harus aku kerjakan.”
Sam langsung berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar.
“Hati-hati, ya.”
Ana memandangi sosok Sam hingga menghilang di balik pintu masuk kafe. Kini hanya tinggal dia dan Remy di sana. Dia agak berdebar karena merasa semua orang yang datang langsung memandang ke arah Remy.
“Maaf ya. Dia memang selalu seperti itu kalau denganku.”
“Sebenarnya aku bingung, kenapa kalian bisa gak akur kayak gitu. Tapi agak kurang enak juga nanyanya.”
“Yah… banyak yang terjadi sewaktu kita kecil. Dan mungkin posisiku membuatnya agak sulit. Kamu tahu sendiri, kadang ada persaingan di tengah keluarga. Salah satunya kami berdua.”
“Hmm… padahal aku yakin dia bisa jadi pelukis terkenal.”
“Dia cerita soal lukisannya?”
“Sedikit.”
“Ayah kami merasa melukis itu hanya hobi. Bukan sesuatu yang bisa dijadikan investasi yang baik di masa depan. Meski memang sekarang bisa sukses, suatu saat sewaktu Sam sudah tidak sanggup lagi melukis, dia tidak akan jadi apa-apa.”
Ana mengangguk-angguk kecil mendengarkan cerita Remy.
“Ditambah lagi kakak kami juga sudah punya bisnis restoran di Jepang. Ayah jadi semakin menuntut Sam juga harus punya bisnis. Setelah ibu gak ada, sekarang yang mendukungnya hanya tinggal kakek.”
“Pasti berat ya buat dia.”
“Kalau kamu cuma dengar dari satu sisi, mungkin akan membayangkan kalau ayah kami sangat kejam. Padahal sebenarnya ayah hanya ingin anak-anaknya gak kesusahan di saat sudah tua nanti. Sam harusnya mengerti semua itu. Tapi dia masih saja gak dewasa.”
“Wah… kayaknya aku jadi tahu terlalu banyak soal keluarga Kak Remy sama Sam. Jadi gak enak.”
“Kenapa harus gak enak?”
“Soalnya yang Kak Remy ceritakan itu masalah keluarga, kan.”
Remy tertawa kecil. “Gak apa, siapa tahu someday kamu bakal bergabung sama keluarga Raharja.”
“Hah?”
“Ya… who knows?”
Ana hanya menanggapi dengan tertawa.
Meski agak canggung, tapi Remy orang yang mudah bergaul dengan orang baru. Dia senang bercerita dan bisa menjadi teman mengobrol yang asik. Bagi Ana, Remy adalah versi lebih dewasa dari Sam. Meski penampilan keduanya berbeda, tapi ada beberapa hal yang tampak sama.
***
“Kamu selamat, kan sampai kosan?”
“Hah? Kok nanya gitu.” Ana belum lama selesai mandi saat Sam menelepon. Sepertinya dari tadi dia mencemaskan Ana karena meninggalkannya berdua dengan Remy.
“Takutnya dia ngapa-ngapain kamu.”
“Enggak, kok. Bahkan Kak Remy Nganter aku pulang.”
“Hei, harusnya jangan kasih tunjuk kosan kamu ada di mana.”
Ana tertawa. “Kayaknya kakakmu gak seburuk yang kamu bilang, deh.”
“Udah ah. Aku bukan mau ngobrolin tentang dia. Cuma mau kasih tau progress lukisanku.”
“Eh, gimana. Udah selesai?”
“Masih tujuh puluh persen.”
“Foto, dong! Aku mau liihat.”
“Gak akan jadi kejutan kalau aku kasih lihat sekarang.”
“Udah penasaran banget soalnya.”
“Sabar. Besok juga jadi. Mau aku antar ke sana, apa kamu yang ke sini?”
“Aku aja yang ke sana. Sekalian mau pergi belanja buat persediaan.”
“Okay, then. Sampai ketemu besok.”
“Good night.”