Chapter Delapan

1627 Kata
            “Duh, b**o! Bisa-bisanya lupa naro hp di mana!” Ana menggerutu sembari berjalan cepat. Di baru sadar kalau ponselnya tidak ada sejak tadi. Kesibukan membautnya sama sekali tidak sempat menyentuh benda tersebut. Ditambah lagi dia memang sedang menjauhi ponsel karena sedang tidak ingin mengingat soal masalahnya dengan Rendy.            Ana mengingat-ingat kembali di mana kemungkinan dia menaruh ponselnya atau mungkin menjatuhkannya dengan tidak sengaja. Saat baru saja berbelok, tubuhnya menabrak seseorang hingga terjatuh dengan cukup keras. Sikutnya membentur lantai dengan keras. Ana langsung meringis. “Maaf!” ucapnya spontan, tanpa melihat siapa yang baru saja dia tabrak.             Remy mengulurkan tangannya. Sedikit khawatir saat melihat Ana terjatuh cukup keras. “Kamu tidak apa-apa?”             “Ah, iya. Maaf.” Ana bangkit dan menepuk-nepuk celananya.             “Kenapa kamu buru-buru begitu? Untung aku yang kamu tabrak.”             “Aku panik soalnya ponselku hilang.”             “Ponsel warna hitam yang ada gantungan bunganya, bukan?”                 “Iya. Kok, tahu?”             Remy mendengus. Dia mengeluarkan benda yang Ana cari dari dalam saku celananya. “Kayaknya bukan kebetulan ya kita tabrakan.”             “Eh, nemu di mana?”             “Tadi aku nemu di pinggir jendela. Untung gak ada orang yang ambil.”             “Makasih banyak, ya!”             Remy memandangi gadis yang tersenyum lebar di hadapannya itu. Dia tahu benar kalau Ana adalah sosok yang tadi bercanda dengan akrab bersama sang adik. Di samping itu, ada hal yang sedikit membuatnya penasaran. “Kamu tahu siapa aku, kan?”             “Sudah pasti! Siapa yang gak tah?” sahut Ana. “Aku kagum setiap baca tulisan tentang kakak di internet. Keren, masih muda tapi sudah bisa membangun bisnis sampai sesukses ini. Aku jadi merasa kecil.”             “Hmm… gitu ya.”             “Iya. Cerita perjalanan kakak dari nol itu selalu jadi inspirasi. Bikin aku ngerasa gak mau kalah juga!”             Remy yakin Ana mengucapkan semua itu dengan tulus. Ekspresi yang terpancar dari wajahnya tidak bisa berbohong. Jarang sekali dia bertemu orang seperti itu. tiap kali bertemu dengan wanita di mana pun, mereka hanya memberikan sorot mata penuh ketertarikan kepada penampilannya saja. Semua merasa kagum kepada ketampanan parasnya atau seberapa banyak harta yang dia miliki, tanpa mau membahas soal sesulit apa perjalanannya sejak dulu. Sepertinya dia cukup paham kenapa Sam bisa berteman dengan Ana.             “Kamu tidak kerja, Na?”             Ana medikit memiringkan kepala ke arah belakang Remy. Dia melihat sosok Sam yang sedang berjalan ke arah mereka, dengan wajah tak ramah. Bahkan Sam melirik kea rah Remy dengan tajam—seakan penuh kebencian. Meski Ana berpikir, mana mungkin Sam merasa benci kepada kakaknya sendiri.             “Tadi ponselku hilang. Tapi ternyata kakakmu yang menemukannya.”             “Oh… kamu temannya Sam ya?”             “Iya. Kebetulan kita ketemu di sini juga.”             “Maaf ya kalau adikku ini membosankan. Mukanya saja judes banget.” Remy mengacak-acak rambut Sam—bermaksud bercanda, namun langsung ditepis.             “Gak, kok. Sam seru orangnya.”             “Oya?” sahut Remy dengan nada tidak percaya. Dia hanya tersenyum dan bermaksud pergi. “Eh, aku belum tahu namamu siapa.”             “Oh, iya. Aku Ilyana, panggil aja Ana.”             “Oke, Ana. Sampai jumpa lagi ya. Semoga aku dapat imbalan karena menemukan ponselmu.”             Ana membalas dengan senyuman. Namun kemudian agak canggung karena melihat wajah Sam yang tampak kesal. “Kamu kok kayak yang kesal gitu sama aku?”             “Ah, enggak, kok. Sorry. Aku selalu gak nyaman kalau orang itu terlalu dekat sama temanku.”             “Ya ampun, kamu kok lucu sih kayak anak kecil yang takut temannya mau direbut!” canda Ana. Membuat Sam kini agak tersipu malu.             “Nanti juga kamu bakal bilang terima kasih sama aku, udah nyelamatin dari orang kayak Remy.”             “Emang kenapa, sih? Kakakmu kan keren. Belum tiga puluh, tapi udah sesukses itu.”             “Ck, mulai, deh. Justru dia menggunakan semua itu buat nipu perempuan! Dia itu playboy!”             “Oh… cocok, sih. Tapi lagian kakakmu pasti seleranya tinggi. Gak perlu khawatirin aku segala. Palingan juga dia nawarin aku buat jadi asisten doang, haha.”             “Terus, kamu mau kalau dia buka lowongan asisten?”             “Hmm… tergantung. Kalau bayarannya tinggi terus bisa diajak ke Paris, kenapa enggak, kan?” Ana tertawa. Tidak bersungguh-sungguh dengan perkataannya barusan. Tapi, Sam tampaknya terlalu menganggap serius semua itu. Dia pikir, Ana sudah pasti merasa tertarik kepada Remy.                                                                                             ***               Malam ini, hujan turun dengan deras sejak sore. Untung saja saat itu Ana sudah sampai di rumah, hingga tak perlu basah kuyup. Tapi keadaan yang mendung membaut hatinya jadi kembali mendung. Padahal seharian dia sudah bisa melupakan perasaan tidak enak akibat pertengkarannya dengan Rendy kemarin—meski mereka tidak benar-benar bertengkar.             Sejak pukul delapan, Ana sudah merebahkan diri di atas kasur. Sembari memandangi layar ponselnya tanpa melakukan apa-apa. Dia tetap mengirimi Rendy pesan sejak tadi siang. Menanyakan keadaan pacarnya yang sedang kurang sehat itu. Tapi dia tak kunjung mendapatkan balasan.             Suara petir membuat perasaan Ana semakin tambah buruk. Dia benci sekali dengan suara petir yang tak pernah gagal membaut jantungnya terkejut. Ditambah lagi, tiba-tiba terdengar suara ketukan di luar pintunya. Ana pikir dia salah dengar, tapi ketukan itu benar-benar ada.             Ana bermaksud untuk mengabaikannya karena takut. Tapi suara itu tak kunjung berhenti. Akhirnya, dia memberanikan diri untuk berjalan ke arah pintu. Bersyukur karena ada lubang untuk melihat siapa yang datang tanpa harus membuka pintu. Betapa terkejutnya dia saat melihat Rendy berdiri di luar sana tanpa paying.             “Kak Rendy? Kenapa ke sini malam-malam begini? Hujan-hujanan pula!” Ana sedikit panik. Apalagi saat melihat keadaan Rendy yang tidak baik-baik saja. tubuh Rendy hampir ambruk saat Ana membuka pintu. Sepertinya keadaannya semakin bertambah buruk. Namun, ternyata bukan hanya itu. Ana mencium bau sesuatu yang tidak familiar. Entah kenapa dia langsung berpikir kalau bau itu berasal dari alkohol yang mungkin diminum Rendy.             Ana menutup pintu. Membiarkan Rendi terduduk di dekat pintu. Lelaki tersebut benar-benar setengah sadar. Bahkan tak bisa diajak mengobrol sama sekali. Rendy hanya membuka mulutnya sekali, itu pun untuk memuntahkan isi perutnya di lantai kosan Ana.             Ana tidak berkata apa pun lagi. Dia berlari untuk membawakan handuk kering, lalu mengobrak-abrik lemarinya untuk mencari kaos Rendy yang masih dia simpan.             Dengan keadaan setengah sadar, Rendy mengganti pakaiannya, lalu merebahkan diri di atas sofa panjang yang ada. Ana membantunya untuk meminum teh hangat, dan membiarkan lelaki tersebut beristirahat.             Ana mengembuskan napas panjang. Duduk di samping sofa sembari memandangi pacarnya yang terlelap dengan damai. Air matanya tak bisa ditahan untuk keluar. Dia bingung karena tidak tahu apa yang terjadi para Rendy. Tidak mungkin Rendy jadi seperti itu jika tidak ada masalah apa pun, pikirnya. Dan Ana tidak pernah tahu apa-apa soal itu. “Kamu kenapa, Kak?” ucapnya lirik, sembari mengusap rambut Rendy yang masih agak basah.             Sejam berlalu tanpa terasa sejak kedatangan Rendy yang mengejutkan. Rasa lelah akhirnya membuatnya mengantuk. Ana pergi tidur setelah menutupi tubuh rendy dengan selimut. Dan memastikan lelaki itu beristirahat dengan nyaman, meski terpaksa harus tidur di atas sofa.             Ana pikir, kesibukan di hari ini akan membuat malam berlalu dengan cepat—dan membuat hari esok jadi jauh lebih baik. Apalagi setelah dia mengalami mimpi yang menyenangkan. Rendy sudah kembali normal seperti sebelumnya. Lelaki itu meminta maaf, dan membawa Ana pergi ke sebuah taman dengan bunga warna-warni yang bermekaran.             Ana pun meminta maaf dan mencurahkan seluruh isi hatinya. Dia tidak bermaksud menyakiti Rendy dan hanya ingin menjaga hubungan mereka agar tidak salah arah. Rendy mengerti benar maksud Ana, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.             Hal itu membuat Ana sangat bahagia. Dia memeluk Rendy erat, merasakan kenyamanan yang sebelumnya sempat hilang. Memejamkan mata, merasakan kehangatan dari tubuh Rendy yang benar-benar terasa nyata. Hingga akhirnya Ana tersadar kalau hal itu bukan sekedar mimpi.             Saat terbangun di tengah malam, Ana melihat wajah Rendy ada di hadapannya. Dia bisa merasakan napas hangat lelaki itu di lehernya. Lagi-lagi membuat perasaan tidak nyaman yang sama kembali terasa.             Ana tidak bisa bergerak karena tubuh Rendy menghimpitnya. “Kak Rendy, stop!” Tidak ada jawaban apa pun aygn didapat. Dia pikir, Rendy sepertinya masih belum tersadar dari mabuknya. Namun karena itu juga, tenaga Rendy jadi tidak terlalu kuat.             Setelah sekuat tenaga berusaha, Ana bisa lepas dari Rendy dan bermaksud pergi dari atas kasur. Namun lelaki tersebut mengejarnya sebelum sampai di pintu keluar. Rendy menarik lengan Ana, sedikit menyeret gadis tersebut dan mendorong tubuhnya ke tembok. Ana ingin berteriak, tapi tidak ingin ada mengundang keributan.             Tangan Rendy semakin liar menjamahi tubuh Ana. Bibirnya mengecupi bagian leher hingga tengkuk pacarnya yang mulai menangis itu.             Ana masih berusaha kabur, meski sulit sekali. Hingga tangannya berhasil menggapai sebuah vas bunga, lalu dipukulkannya benda tersebut ke arah kepala Rendy.             Tubuh Rendy terhuyung. Dia memegangi kepalanya dan meringis kesakitan.             “Sadar, Kak!  Aku gak ngerti kenapa Kak Rendy jadi kayak gini sekarang,” ucap Ana sembari menangis. Suaranya bergetar.             “Kamu yang harus sadar! Kamu itu egois! Hanya mementingkan diri sendiri dan novel-novel kamu itu!” balas Rendy dengan penuh kekesalan. Masih sesekali memegangi kepalanya yang terasa sakit. “Merasa hidup kamu yang paling tersiksa, tanpa sekalipun peduli seperti apa yang aku rasa! Apa yang aku butuhkan! Bertahun-tahun kita pacaran hanya sebatas status. Aku bahkan merasa gak punya pacar sama sekali. Hanya jadi pengasuh seseorang yang terus merengek ingin dimanja!”             Tiap kata yang terdengar, berubah menjadi sebuah peluru yang menembus hati Ana. Dia tak sanggup membalas semua perkataan—yang keluar dari dalam hati Rendy. Mungkin selama ini lelaki itu selalu menahan semua itu, hingga baru tercurahkan sekarang.             Tanpa mengucapkan apa pun lagi, Rendy pergi keluar. Meninggalkan Ana yang jatuh terduduk di balik pintu. Dia hanya bisa menangis, masih sembari menggenggam vas yang telah berjasa menolongnya. Namun dia pikir hal itu akan jadi awal dari badai yang lebih besar. Entah apa yang akan terjadi pada hubungannya dengan Rendy setelah malam ini. Ana memilih untuk tidak membayangkannya.            
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN