Chapter Tujuh

1724 Kata
            Sang puteri kembali menatap langit di malam hari. Menunjuk satu bintang yang tampak lebih terang. Menghubungkan benda berkelip itu dengan yang lainnya. Dia pikir sudah menemukan rasi yang tepat. Padahal tanpa dia sadari, berbagai tipuan bertebaran di atas sana. Tak bisa dibedakan mana bintang yang benar-benar bersinar. Mana yang hanya menanti pantulan cahaya lain tuh buatnya tampak terang. Sang puteri, belum bisa membedakan semua itu. baginya, bintang yang dia pandang paling terang adalah yang terbaik baginya.              Ana tiba lebih pagi di tempat kerja dibanding biasanya. Semalaman tidurnya tidak nyenyak, hingga membuatnya terbangun lebih cepat. Dia pikir hari ini menjadi yang paling pertama ada di musem, siapa sangka ada yang mendahuluinya.             Sam memasang wajah seriusnya sembari memandangi sebuah lukisan. Menatap fokus ke satu titik, namun pikirannya tampak melayang jauh entah ke mana.             “Kamu akhirnya kerja di sini juga?” sapa Ana.             Sam menoleh dan tersenyum. “Hah? Siapa bilang?”             “Lho, aku pikir kamu jadi satpam penjaga museum.”             “Kamu sendiri datang sepagi ini mau merebut pekerjaanku gitu?”             Ana tertawa, sembari berjalan mendekat ke arah Sam. “Aku bingung, kamu kayak udah langganan datang ke tempat ini. terus sekarang kok tiba-tiba bisa masuk, sih?”             “Hmm…” Sam memasang wajah berpikir. “Kalau aku mau ketemu kamu, emang salah?”             “Ugh!” Ana memukulkan tasnya ke lengan Sam yang mengaduh dan tertawa.             Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit sebelum jam sembilan. Museum masih sepi akrena para pegawai pun belum datang. Saat-saat seperti ini yang Ana sukai. Dia bisa menjelajahi seisi gedung, menikmati karya seni yang dia suka tanpa harus terinterupsi oleh siapa pun. Ditambah lagi kali ini ada Sam, yang memiliki ketertarikan yang sama dengannya. Ana merasa jarang sekali bisa menemukan orang yang satu frekuensi dengannya, terutama dalam soal seni.             “Kamu jadi sering datang ke museum ya, Sam.” Pak Kusuma belum lama tiba. Perhatiannya tercuri karena melihat Ana dan Sam yang sedang mengobrol dengan asik.             Ana sedikit terkejut. Dia hingga mengecek jam tangannya ebrulang kali. Tidak baisanya Pak Kusuma datang sepagi ini. “Selamat pagi, Pak.”             “Selamat pagi.”             “Tumben bapak datang sepagi ini.”             “Ada sedikit urusan hari ini. Ngomong-ngomong, kalian sudah kenal?”             “Oh,” sahut Ana pertama kali. Dia agak bingung, tapi akhirnya sadar bahwa yang dimaksud Pak Kusuma adalah Sam—yang tiba-tiba jadi pendiam. “Iya, kami beberapa kali bertemu di museum. Kayaknya Sam udah jadi pelanggan setia ya, sampai Pak Kusuma kenal juga.”             Si pria tua terkekeh. “Kamu pasti senang ya, bisa bertemu dengan seniman favoritmu?”             “Maksud, Bapak?”             “Lukisan burung yang slelau kamu pandangi itu.”             Mata Ana terbelalak tak percaya. Dia menoleh dengan cepat ke arah Sam yang berusaha menjauhi pandangannya. “Apa?”             “Bapak tidak lagi bohong, kan?”             “Kayaknya kamu belum benar-benar kenal sama temanmu ya.” Pak Kusuma pun berlalu sembari tertawa. Dia seakans enang melihat wajah bingung serta keterkejutan Ana.             “Sam… kamu harus jelasin semua sama aku!”             “Jelasin apa, sih?”             Ana memukul lengan Sam cukup keras. “Aw! Oke, oke! Ampun, aku nyerah.”             “Yang dibilang Pak Kusuma tadi benar?”             Sam mengela napas panjang. Tampak enggan untuk menjelaskan, tapi sadar kalau Ana tampak tidak akan berhenti sebelum dia menjawab pertanyaannya.             “Iya, itu lukisan buatanku.”             “Jadi, S. Raharja itu kamu? Sam… Raharja? Anak pak direktur?”             Sam mendengus. “Samuel Raharja. Tapi aku malas pakai embel-embel nama itu.”             “Kenapa? Kan keren.”             “Apa kerennya jadi anak direktur? Yang ada aku terbebani karena ekspektasi orang yang terlalu tinggi.”             “Bukan… tapi kamu harusnya bangga sebagai orang yang bikin lukisan seindah itu.”             Si lelaki muda yang ada sedikit terkejut. Dia terdiam beberapa saat mendengar ucapan tulus Ana. Beberapa saat, dia sempat berpikir kalau Ana tidak ada bedanya dengan gadis lain—yang hanya tertarik kepada status keluarganya saja. Ternyata dia salah besar.             “Kenapa satu aja lukisan yang disimpan di museum?”             “Cuma lukisan itu yang tersisa. Itu juga kalau bukan berkat kakek, mungkin gak akan pernah ada di sini.”             “Memang, yang lainnya ke mana?”             “Semua dibuang oleh ayahku.”             Ana merasa sudah salah memilih pertanyaan. Tampaknya hal tersebut terlalu sensitive bagi Sam—dan dia bersalah karena terlambat menyadarinya.             “Dia gak suka aku jadi pelukis. Sampai semua lukisanku dibuang. Lukisan burung itu aku buat belum lama, diam-diam sewaktu di rumah kakek. Dia bilang lukisan itu harus diselamatkan, dan dia simpan di sini.”             Sudah pasti cerita Sam mengundang lebih banyak pertanyaan. Tapi Ana sadar dia tidak punya hak untuk mengorek kehidupan pribadi seseorang. Apalagi dia masih belum lama kenal dengan teman barunya itu.             “Maaf ya. Aku gak tahu harus komentar kayak gimana.”             “Kenapa kamu malah minta maaf?” Sam tertawa. “Mending kita bicarakan hal lain. Soalnya hari ini bakal ada sesuatu yang menyebalkan buatku.”             “Hah, ada apa memangnya?”             “Seseorang yang gak aku suka baru aja pulang dari Paris. Kalau kamu ketemu, lebih baik jangan dekat-dekat. Orang itu pasti langsung bikin kamu kesal setengah mati.”             Belum sempat berkata apa pun, kehadiran Pak Raharja membuat Ana mengatupkan mulutnya lagi yang sedikit terbuka. Dia melirik ke arah jam tangan dan baru sadar kalau beberapa menit lagi waktu akan menunjukkan pukul Sembilan. Sementara dia sendiri belum sempat melakukan absen masuk. Dia segera pamit dan menuju ke ruang kerja—dengan membawa rasa penasaran tentang Sam yang cukup misterius.                                                                                                 ***               “Kenapa hari ini tiba-tiba lebih ramai dari biasanya ya?”             “Gak ngerti deh, tadi aja Pak Raharja sama Pak Kusuma datang pagi bener.”             Santi, perempuan berumur dua puluh tujuh tahun, menyuapkan sepotong bakso ke dalam mulutnya. Sesekali dia benarkan kacamatanya yang melorot. Warna lipstiknya hampir mirip dengan warna sambal yang ada di atas meja. “Apa ada acara ya?” tanyanya lagi.             “Kalau emang ada acara, harusnya kita di-briefing juga dong. Ini gak ada pemberitahuan apa-apa.”             “Hei, hei, guys! Guys, denger!” Mia si pegawai paling ceria datang dengan terburu-buru. Seakan ada hal gawat yang baru saja terjadi. “Denger, ada berita penting!”             “Apaan, sih Mi? kebiasaan deh, lebaynya kumat,” sahut Santi.             “Anaknya Pak Raharja baru aja datang!”             “Terus?”             “Itu, lho, yang tinggal di Paris.”             “Hah, serius, lho?”             Ana masih belum tertarik hingga tahu kalau mereka sedang membicarakan kakak dari Sam. “Siapa, sih?” tanyanya penasaran.             Mia menggeret kursi dan duduk di hadapan Ana. “Remy Raharja!”             “Hah, siapa? Emang dia seterkenal itu?”             “Gak mungkin kalau kamu gak tahu siapa dia!”             “Siapa, sih Mi?” Ana benar-benar tidak mengerti—siapa orang yang dimaksud Mia.             “Kamu pasti tahu brand Hellion, kan?”             “Hu’um. Brand fashion lokal yang go internasional itu, kan?”             “Nah, itu tahu! Remy Raharja itu CEO-nya.”             “Eh!” Ana hampir saja tersedak. Dia tahu soal seorang pemuda yang sukses mendirikan perusahaan fashionnya, dan kini tinggal di Paris. Bahkan dia sudah lama kagum tiap kali mendengar berita soal orang tersebut. Tapi dia tidak pernah tahu kalau orang yang dimaksud adalah anak dari Pak Raharja—dan kakak dari teman barunya. “Yang bener, Mi? Aku serign dengar tentang CEO Hellion, tapi gak pernah tahu namanya.”             “Kamu ini ketinggalan jaman banget, sih!”             “Lihat di tv aja mukanya ganteng banget. Gimana aslinya ya?” Santi turut merasa antusias.             “Ayo cepat kita ke sana!” ajak Mia. Dia langsung menarik tangan Ana tanpa aba-aba.             Ketiganya lekas berjalan cepat menuju ke dalam museum. Padahal belum lama Ana pergi dari sana untuk makan siang, tapi kondisi museum mendadak menjadi ramai. Kelihatannya banyak para penggemar Remy yang sengaja menunggu dan mengikutinya ke sana.             Mia masih berdesakkan di tengah kerumunan sembari menarik tangan Ana. Gadis yang tangannya digenggam dengan kencang itu hanya bisa pasrah dan berusaha agar tidak terdorong orang-orang di sekitar.             Akhirnya, mereka sampai di barisan paling depan berkat status pegawai museum. Namun beberapa staf museum berjaga agar para pengunjung tetap menjaga jarak. Tak jauh dari sana, Pak Kusuma, Pak Raharja, dan Remy berdiri. Tampak sedang mengobrol dengan beberapa orang dari media. Sudah pasti para wartawan tidak ingin melewati kesempatan tersebut. Karena hari ini adalah pertama kalinya Remy kembali ke Indonesia setelah beberapa tahun. Kabar darinya hanya bisa terdengar melalui televisi atau beberapa media yang memang sengaja meliput ke Paris.             Ana memperhatikan lelaki yang sedang menjadi sorotan di hadapannya. dia mengerti kenapa banyak yang membicarakannya—terutama di kalangan perempuan. Selain dari prestasi yang membuatnya bisa menjadi CEO sebuah perusahaan terkenal pada umur muda, penampilannya pun cocok untuk menjadi model. Tubuh Remy jangkung, dengan berat badan ideal. Sebagai CEO perusahaan fashion, dandanannya pun tampak keren. Dia mengenakan jas kelabu panjang dengan kaos hitam di dalamnya. Rambutnya panjang sebahu dan lurus. Diikat sedikit di belakang. Para pengunjung yang hampir semuanya wanita, meneriakkan namanya—hingga membuat telinga Ana sakit.             Tentu saja Ana pun cukup terpukau dengan penampilan Remy, tapi dia jauh lebih kagum dengan kehebatan orang tersebut.             Tak lama, perhatian Ana langsung teralihkan oleh hal lain. Dia melihat keberadaan Sam di pojok ruangan. Menjauh dari keluarganya—dengan sengaja. Tak lupa dia kenakan bagian kupluk dari jaketnya. Ana sadar temannya itu tampak tidak nyaman berada di sana, namun mungkin terpaksa.             Ana memisahkan diri dari Mia dan Santi yang masih fokus memandangi Remy. Berdesakan hingga sampai di tempat Sam berada. Lelaki tersebut sedikit terkejut mendapati Ana yang tiba-tiba berada di sampingnya. “Aku baru ngerti maksud kata-kata kamu tadi. Maksudnya ini ya yang bikin kamu bad mood?”             Sam mendengus. Dia membuka kupluk jekatnya. “Iya, untung kamu datang.”             “Kenapa gak gabung di sana, sih? Lumayan, siapa tahu kamu bisa jadi terkenal, terus jadi pemain sinetron.”             “Supaya bisa diteriakin cewek-cewek kayak gitu? Gak deh, terima kasih.”             Mereka tertawa, dan lanjut mengobrol dengan asik. Membuat perasaan Sam perlahan mulai membaik. Hingga tak sengaja membuat dunia mereka sendiri di tengah keramaian.             Di sisi lain, Remy menyadari hal tersebut. Baru pertama kalinya lagi dia melihat sang adik bisa bercanda dengan wajah senang. Hingga rasa penasarannya pun beralih kepada sosok wanita yang ada di sana. Sorot matanya sedikit memancarkan rasa ketidaksukaan kala melihat hal tersebut. Seakan kebahagiaan hanya boleh dirasa hanya olehnya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN