Chapter Enam

1401 Kata
            “Kak! Badan kamu anget, lho! Pasti semalam gak jadi makan, kan?” Ana menjadi agak panik setelah melihat keadaan Rendy. Lelaki tersbut tampak lesu dan tidak bersemangat. Meski masih berusaha terlihat baik-baik saja, ekspresinya sudah tidak bisa berbohong.            “Masuk angina kayaknya.”             “Pasti gara-gara terlalu sibuk sampai lupa makan!”             “Kamu mau bikin apa?” tanya Rendy. Dia mengikuti Ana ke dapur.             “Kakak istirahat aja!” Ana langsung memaksa sang pacar untuk beristirahat. Menunggunya sampai selesai di atas sofa panjang di depan televisi.             Rendy menyalakan tv sembari menunggu. Meski sebenarnya tidak ada yang ingin dia tonton, setidaknya bisa menghilangkan rasa bosan.             Rendy melirik ke arah dapur. Bisa terlihat sosok Ana yang sibuk mondar-mandir di sana, entah apa yang sedang dia buat. Hal itu membuat Rendy tersenyum. Dia merasa bersyukur memiliki Ana yang selalu ada di sisinya. Meski mereka sempat terpisahkan jarak untuk beberapa waktu.             Ana memasak sayur, berbarengan dengan bubur kacang. Memasan sembari bersenandung senang. Dia bukannya merasa senang karena Rendy sakit. Tapi memang selalu menikmati saat-saat membuatkan makanan untuk orang yang dia sayang.             “Kak, mau makan sekarang?” tanya Ana, setelah semua amsakannya siap. Tapi tidak terdengar jawaban apa pun. Dia berjalan kea rah sofa, dan melihat Rendy sedang tertidur pulas.             Ana mendekat, duduk di atas lantai dan memandangi wajah Redy yang agak memerah karena demam. Dia mengusap kepala lelaki tersebut dengan penuh kasih sayang. Merasa bersyukur karena masih bisa bersama setelah sekian lama berpcaran. Tidak pernah sehari pun Rendy berubah, atau mengurangi rasa sayangnya pada Ana. Begitu pun dengan Ana, dia justru merasa semakin sayang kepada lelaki di hadapannya itu.             “Kamu ngapain?” ucap Rendy lemah. Matanya terbuka pelan.             “Makanannya udah siap. Makan yuk.”             “Kenapa gak bangunin aku dari tadi?”             Ana nyengir. “Suka aja liatin Kak Rendy tidur,” balasnya.             Rendy pun bangkit, membenarkan posisi duduknya. Kini dia bisa melihat berbagai makanan yang sudah tersaji di hadapannya. Lagi-lagi membuatnya tersenyum. “Banyak banget kamu masaknya.”             “Sekalian biar bisa Kak Rendy simpan buat makan malam juga.”             “Kamu makin jago ya masaknya.” Rendy mengusap-usap kepala Ana hingga rambutnya sedikit berantakan.                                                                                                     ***                         Seusai makan, Ana tidak langsung pulang. Mereka menonton film bersama melalui televisi besar yang ada di depan sofa. Rendy merangkul Ana yang bersandar di dadanya. Meski sudah berkali-kali disuruh untuk istirahat di kasur, tapi Rendy menolak. Diperlakukan seperti orang sakit, justru akan membuat keadaannya tambah parah, pikirnya.             “Enak ya sekarang, kalau mau nonton film gak perlu ke bioskop.”             “Berarti aku gak akan ajak kamu ke bioskop lagi ya.”             “Jangan, dong…”             Rendy terbatuk beberapa kali.             “Kak.”             “Jangan suruh aku tidur lagi,” potong Rendy. Dia sudah bisa menebak apa yang akan Ana katakan.             “Oke, oke. Mau aku kompres?”             “Gak usah. Kamu di sini aja jangan ke mana-mana.”             Rendy mempererat rangkulannya. Membuat Ana mulai merasa berdebar. Ditambah dengan suara Rendy yang agak sedikit serak dan berat. Justru makin terdengar seksi. Ana hingga mematung dibuatnya. Entah kenapa keadaan mendadak menjadi canggung baginya.             Rendy melirik ke arah Ana yang tiba-tiba jadi pendiam. Dia lihat gadis disebelahnya itu fokus menatap layar televisi dengan serius. Padahal beberapa saat sebelumnya masih tidak bisa berhenti bicara. “Kenapa kamu tiba-tiba diam?”             “Eh? Enggak, kok. Filmnya seru haha.”              Rendy bisa menangkap gelagat aneh Ana. Sadar kalau dia sudah membaut seseorang salah tingkah. Tapi baginya sikap Ana yang seperti itu justru menggemaskan.             “Sebelum ke Jakarta, kayaknya kamu masih kecil. Kenapa sekarang kok udah gede aja?”             “Apaan sih, Kak. Dari dulu aku udah gede kali! Kakak aja yang jarang nemuin aku!”             Rendy tertawa kecil melihat tingkah Ana. Dia menyentuh pipi gadis tersebut tengan tangan kiri, lalu mengusap-usapnya dengan lembut. Dia akui Ana jauh lebih cantik dari sebelumnya. Matanya bulat, hidungnya mancung, bibirnya tipis berwarna merah muda. Terutama senyumannya yang sangat dia suka.             Ana menikmati kehangatan dari telapak tangan rendy—yang lebih panas dari biasanya. Rasanya kehangatan itu mengalir hingga ke dalam hati. Untuk beberapa saat, keduanya saling bertatapan. Melontarkan senyum tipis.             Tangan Rendy masih menempel pada pipi Ana. Ibu jarinya menyentuh ujung bibir Ana yang tersungging. Perlahan membuatnya tak tahan ingin mengecupnya.             Rendy mendekatkan wajahnya pada Ana, beriringan dengan tangannya yang menarik perlahan kepala gadis tersebut. Mereka membairkan suasana yang mengendalikan semua. Hingga saling merasakan kehangatan dari bibir mereka yang ulai bersentuhan.             Ana memejamkan mata. Membiarkan Rendy mengendalikan permainan. Terlanjur terbuai oleh kenyamanan yang dirasa.             Rendy masih menikmati bibir tipis Ana. Perlahan membuat gadis tersebut terlentang di atas sofa, dengan dia yang berada di atasnya. Sementara Ana, masih mengawang di dalam pikirannya sendiri.             Perlahan, kecupan Rendy berpindah ke pipi Ana. Lalu turun ke bahu, hingga kea rah leher. Membuat Ana sedikit bergidik geli. Namun, di saat yang besamaan, Ana mulai merasa tidak nyaman. Apalagi saat merasakan tangan Rendy mulai meraba paha dan mendekat ke daerah intimnya.             “Kak…” ucap Ana pelan. Dia tidak ingin merusak suasana, namun tidak ingin menyesal karena terlalu melampaui batas.             Rendy tak merespons sama sekali. Dia melanjutkan kegiatannya tanpa peduli apa-apa. Nafasnya berderu semakin cepat. Kecupan lembut pun perlahan mengganas karena dipenuhi nafsu. Tangannya mulai menjamahi tubuh Ana ke tempat yang tidak seharusnya.             “Kak!” Ana berbicara agak keras. Dia bahkan mendorong tubuh Rendy sekuat tenaga. Lelaki itu agak terkejut dan terdiam, tidak pernah membayangkan atau mengharapkan Ana menolaknya seperti barusan.             Ana langsung bangkit untuk duduk. Membenarkan kaosnya yang agak kusut. Dia masih belum berani untuk menatap Rendy yang masih bergeming di sampingnya.             Keadaan berubah menjadi sangat canggung dan menyesakkan. Ana sangat sayang kepada Rendy, tapi dia tidak ingin melakukan hal yang tidak seharusnya. Justru karena sayang, dia ingin menjaga dirinya juga Rendy. Bukan justru melakukan kesalahan bersama.             Rendy menembuskan napas, lalu berdiri. “Biar aku antar kau pulang,” ucapnya.             “Gak usah, Kak. Kak Rendy istirahat aja. Aku bisa pulang sendiri. Lagian masih sore ini.” Ana memaksakan diri untuk tersenyum. Dia lekas meraih sweater dan tasnya, lalu pamit untuk pulang.             Rendy hanya bisa terdiam sembari menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Lalu menuju ke arah kasur untuk merebahkan diri di atas sana. tangannya meraih ponsel yang ada di dekat bantal, lalu menghubungi seseorang.             “Di mana? Kamu bisa ke apartemen sekarang?”                                                                                             ***               Ana berjalan cepat dengan pikiran yang kusut. Dia tidak suka kalau harus pergi di saat keadaan sedang tidak baik-baik saja. Tapi dia pun sadar tidak bisa terus berada di sana untuk sementara waktu.             d**a Ana sesak sekali. Dia ingin menangis tapi tidak bisa. Baru pertama kali dia merasakan perasaan seperti itu.             Di pinggir jalan raya, Ana menghentikan langkahnya. Bersandar di sebatang pohon besar karena kakinya mendadak melemas. Sembari berusaha menormalkan napasnya yang tersengal.             “Ana?”             Napas Ana berhenti sesaat, akibat sebuah suara yang memanggilnya dari belakang. Saat berbalik bada, wajah Sam muncul sembari menyodorkan ekspresi penuh tanya. Ana muali salah tingkah. Tidak ingin ada yang tahu bahwa perasaannya sedang kalut saat ini.             “Ngapain nyender di pohon kayak gitu?”             “Ehng, em. Enggak. Haha.”             Sam yang semula ingin becanda, langsung berwajah serius. Dia tahu ada sesuatu yang menungkin baru saja terjadi. “Kamu gak apa-apa?”             Ana menggeleng cepat.             “Kenapa kayak yang ketakutan gitu?”             “Itu… tadi ada anjing. Aku punya phobia. Jadi gak sadar lari daritadi.”             “Oh, astaga. Aku pikir kamu kenapa.”             “Kamu ngapain di sini?”             “Baru balik dari minimart. Mau ke apartemen.” Sam menunjuk ke arah bangunan tinggi di samping temapt tinggal Rendy. “Kamu sendiri tumben ada di daerah sini.”             “Tadi habis dari tempat pacarku.”             “Oh,” Sam agak terkejut. “Aku batu tahu kamu punya pacar.”             “Yah… aku kan gak mungkin tiba-tiba langsung bilang soal itu.”             “Iya juga ya.” Sam tertawa. “Kamu mau ke mana sekarang? Mau makan bareng?”             Tentu saja Ana tidak lapar karena belum lama makan siang bersama Rendy. Tapi dia tidak ingin membuang kesempatan untuk melupakan kejadian tadi. Kalau saja dia memilih untuk pulang dan sendirian di kosan, mungkin perasaannya akan kacau. Jadi, menerima ajakan Sam adalah pilihan terbaik.             “Yuk, aku lagi pengen makan yang manis-manis.”             “Gak takut gendut?”             “Kenapa harus takut?”             “Biasanya kan perempuan kayak gitu.”             “Hei, stop mengeneralisasi gender ya!”             “Oke, oke, oke, aku bakal kalah kalau debat sama perempuan.”             “Hei!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN