“Ya ampun, akhirnya kita bisa ketemu langsung, ya!” Hasna, wanita single berumur tiga puluh tujuh tahun, menyambut kedatangan Ana dengan ceria. Dandanannya tidak kalah dengan anak muda jaman sekarang. Bahkan Ana sendiri merasa dia kalah dalam urusan penampilan. Baju terusannya yang sangat pas dnegan tubuhnya yang langsing terlihat sangat cocok. warnanya soft pink, sesuai dengan frame kacamata yang dikenakan. Rambutnya yang dipotong model bob, tampak sangat terawat. “Iya, Mba. Makanya aku sengaja cari kerja di Jakarta supaya gampang kalau ketemu. Kalau di email dan telepon saja kan agak susah ya.”
“Ayo, sini duduk. Banyak yang mau saya bahas sama kamu.”
Ana menempati kursi di hadapan Hasna. Makanan dan minuman yang bahkan belum dia pesan, sudah tersedia di atas meja kafe.
Ini adalah pertama kalinya Ana bertemu dengan Mba Hasna langsung. Sebelumnya dia hanya mendengar suaranya lewat telepon, dan beberapa kali video call. Dilihat dari semangatnya, Ana tidak percaya kalau Mba Hasna sudah lewat dari tiga puluh lima tahun. Dia merasa wanita tersebut lebih mirip seorang kakak baginya.
“Saya lagi senang banget! Penjualan seri terakhir dari trilogi Bintang Kejora laku keras!” jelas Hasna. Rasa senang tampak jelas sekali dari wajahnya. Bahkan terlihat jauh lebih senang dibanding penulisnya sendiri.
“Aku juga sampai kaget pas lewat toko buku. Ternyata sebanyak itu orang yang antre.”
“Sebenarnya gak cuma itu, lho. Saya juga dapat banyak telepon. Mereka nawarin Miss Rigel buat jadi pengisi acara di talkshow dan bedah buku gitu. Bahkan ada dari stasiun televisi juga. Kamu yakin gak mau terima?”
“Hmm… gak deh, Mba. Aku pengen tetap gak dikenal aja. Lebih tenang juga. Takutnya ekspektasi pembaca udah pada tinggi. Eh terus mereka kecewa waktu tahu Miss Rigel itu orang biasa kayak aku.”
“Ah, kamu ini suka merendah, deh. Sayang banget lho padahal.”
“Tapi justru itu yang jadi poin plus, sih Mba. Aku suka bikin orang penasaran. kalau mereka udah tahu, gak misterius lagi deh.”
“Oke, deh…” Hasna menyeruput minumannya dengan semangat. “Oiya, hampir lupa. Soal naskah terbaru kamu, sudah ditanya lagi kapan mau mulai diproduksi.”
“Eh, jangan dulu ya, Mba. Hold dulu aja kalau yang Keluarga Bintang Timur.”
“Ada apa, sih? Sudah lewat dua tahun lho itu.”
“Aku masih nunggu ilustrasinya.”
“Ilustrator kana da banyak, Na. Bisa saya carikan yang sesuai selera kamu.”
Ana menggeleng. “Cuma ada satu yang saya akum au. Tapi masalahnya… draft ilustrasinya gak tau di mana.”
“Kamu coba kontak lagi aja orangnya.”
“Orangnya sudah meninggal.”
Hasna terdiam mendengar penjelasan Ana. Dia kadang tidak bisa mengeri jalan pikir penulis di hadapannya itu.
Sekitar tahun 2013, Ana menulis sebuah cerita dengan tema keluarga—berjudul Keluarga Bintang Timur. Saat itu dia hanya mempublikasikan tulisannya melalui blog saja. hingga suatu saat, seorang wanita bernama Alikha yang mengirimkan email padanya. Dia membuatkan ilustrasi indah yang langsung membuat Ana jatuh cinta.
Sejak saat itu, Ana jadi sering bertukar pesan dengan Alikha. Mereka membicarakan banyak hal, hingga masalah pribadi sekali pun. Alikha juga bercerita tentang hidupnya yang cukup pahit. Dia sakit-sakitan, dan terbebani oleh masalah keluarga. Meski begitu dia tetap merahasiakan tempat tinggal dan siapa keluarganya itu dari Ana.
Satu tahun setelahnya, Ana dikabarki oleh Alikha yang saat itu mendekam di rumah sakit. Ana ingin sekali pergi menengok, hanya saja tidak pernah diberitahu soal tempat Alikha berada. Sampai akhirnya, Ana sempat tidak mendapatkan balasan dalam kurun waktu yang lama. Dan seseorang yang mengaku sebagai anak Alikha mengabari soal kematian ibunya—melalui email Alikha.
Padahal rasa sakit Ana setelah ditinggal pergi orang tuanya karena kecelakaan, masih belum sembuh benar. Rasa sakit itu cukup terobati dengan keberadaan Alikha. Namun harus kembali terlika karena orang tersebut memilih untuk mengakhiri hidupnya—tanpa bisa Ana cegah.
Tentu saja Ana merasa terpukul. Padahal dia berjanji akan menerbitkan bukunya bersama dengan ilustrasi Alikha. Tapi selama ini dia hanya mendapatkan fotonya saja. sedangkan ilustrasi alsinya masih berada di tangan Alikha, dan entah berpindah ke tangan siapa sekarang.
Meski tubuh Alikha sudah tidak ada di dunia, tapi Ana bertekad untuk membuat jiwanya tetap ada. Oleh karena itu dia tidak ingin draft novelnya diterbitkan tanpa ilustrasi tersebut. Meski dia pun bingung harus mencarinya ke mana.
“Tapi aku sudah mulai nulis yang lain, kok. Mba sudah baca kan sinopsis yang aku kirim?”
“Iya, itu juga aku suka. Kayaknya semua tulisanmu pasti aku suka, deh. Meski masih penasaran sama si keluarga Bintang Timur. Soalnya, ceritanya relate sama kehidupan keluarga di Indonesia.”
“Ya… kayaknya sampai kapan pun pasti masih relate, sih Mba. Soalnya banyak keluarga yang emang bermasalah, sampai si anak jadi korban. Jadi, yah… tunggu sampai ilustrasinya ketemu ya, Mba.” Ana sedikit nyengir untuk membujuk Hasna.
“Dengan syarat, kamu selesaikan draft yang nove terbaru bulan ini ya.”
“Beres, Mba!”
“Kamu sendiri ada kepikiran mau coba genre lain gak selain romance?”
“Hmm… sebenarnya ada. aku nyoba nulis thiller. Tapi masih belum pd, sih. Mba mau coba baca dulu?”
“Boleh, kirim ke email saya ya nanti. Siapa tahu bisa jadi terobosan baru.”
“Siap, Mba!”
Pertemuan dengan editornya siang itu, memberikan Ana berbagai perasaan. Dari mulai perasaan senang—tentunya, hingga sedikit pahit karena mengingat masala lalu yang tidak menyenangkan.
Ana merebahkan diri dia tas kasur, sembari memeriksa email dalam ponsel. Membuka folder khusus yang diberi nama ‘email Bu Alikha’. Lalu membaca kembali isi percakapan mereka pada waktu itu. Air mata anak sedikit menetes saat melihat foto dari ilustrasi yang Alikha buat. Gambar itu benar-benar indah, apalagi jika melihat aslinya, pikir Ana.
‘Malam, Ana. Udah istirahat?’
Sebaris pesan dari Sam muncul pada layar ponsel. Ini pertama kalinya mereka kontak melalui chat sejak bertukar nomor kontak. Sam muncul di saat yang tepat, pikir Ana. Karena hampir saja dia akan mengakhiri malam dengan menangis karena bayangan masa lalu.
‘Belum nih. Masih main HP aja. Kenapa?’
‘Gak kenapa-kenapa, sih. Cuma lagi nyari teman ngobrol aja.’
‘Kasian banget, sih. Gak punya temen lagi sekalin aku ya?’
‘Ouch. Bener banget, sih. jadi sedih.’
‘Eh, becanda lho itu tadi. Jangan marah.’
‘Haha aku juga becanda, kok. Btw, aku tadi habis nonton teater di Bale Seni. Kamu suka teater juga gak, sih?’
‘Suka banget! Emang ada pementasan apa hari ini? Aku masih belum banyak tahu info soal acara seni di Jakarta.’
‘Ada teater bisu. Ceritanya soal kerajaan Majapahit. Keren banget, sih. Sebenarnya aku punya tiket dua, tapi takut kamu gak suka, jadi aku kasih ke temen.’
‘Yah… ya udah next time jangan lupa kasih info ya.’
Di tengah percakapan yang belum berlangsung lama, sebuah panggilan masuk ke ponsel Ana. Nama Rendy tertera pada layar. Ana langsung menerimanya dengan cepat. Karena memang seharian ini dia belum mendengar kabar dari pacarnya itu, akibat harus lembur seharian.
“Halo, Kak. Kamu udah pulang?”
“Iya, sebeanrnya udah dari jam tujuh tadi. Tapi langsung ketiduran gara-gara capek.”
“Gak apa, Kak. Tapi kerjaannya lancar, kan? Kok, suaranya kedengeran lemes gitu.”
Rendy menjeda kata-katanya untuk mengela napas panjang. “Lumayan lagi agak kalang kabut. Kayaknya beberapa hari ke depan juga aku bakal jauh lebih sibuk.”
“Yang penting jangan lupa makan ya. Sekarang udah makan malam?”
“Belum, sih. Nanti paling aku pesan online.”
Ana melirik ke arah jam dinding. Andai saja belum lewat jam sembilan, dia sudah melesat ke apartemen Rendy untuk memasakkan sesuatu.
“Besok aku ke apartement Kak Rendy ya. Sekalian masak buat makan siang. Kakak mau makan apa besok?”
“Hmm… apa aja.”
“Gak ada yang lagi pengen dimakan?”
“Cuma pengen ketemu kamu.”
Ana sedikit tertawa malu mendengarnya. Lanjut bertukar cerita soal apa yang dia alami hari ini. Hingga rasa kantuk memaksa mereka untuk menutup panggilan dan segera beristirahat.