Rutinitas Membosankan
06.15
Alarm di ponsel Edrea berbunyi dengan nyaring, memekakkan telinga di pagi itu. Tangannya, yang terbiasa dengan rutinitas ini selama lima tahun terakhir, meraba-raba di atas meja nakas yang ada di samping tempat tidur tanpa perlu membuka mata.
Jempolnya meraba layar tanpa melihat. Bunyi nyaring itu akhirnya berhenti. Napasnya menghela panjang. “Sembilan menit lagi.”
Dia tidak membuka mata. Pada menit kesembilan, alarm kedua berbunyi. Kali ini, Edrea akhirnya membuka mata indahnya yang berwarna biru elektrik.
Kemudian Edrea bangkit, kakinya langsung mencari sandal selop bulu yang sudah tipis di lantai kayu yang dingin.
Langkahnya menuju jendela, menarik kain korden berbahan katun tanpa motif. Di kejauhan, dia bisa melibat pabrik Verious Corp berdiri megah, mengepulkan asap putihnya ke atas langit.
Edrea Fairchild, wanita berumur dua puluh enam tahun, masih begitu setia dengan rutinitas hidupnya yang cukup membosankan, tapi tertata rapi—seperti yang diinginkannya.
*
*
07.00
Air pancuran hangat membasahi kulitnya. Dia menggunakan sampo merek yang sama, sabun yang sama, handuk berwarna putih yang sama.
Di cermin kamar mandi yang sudah mulai buram, wajahnya menatap balik, mata biru yang merupakan genetik turunan dari ayahnya—sekarang memantulkan kelelahan dan kebosanan.
Rambut cokelat gelapnya diikat ke belakang dengan ketat dan rapi, yang tidak akan dilepaskan sampai malam nanti.
Pakaiannya sudah disiapkan sejak semalam, kemeja putih lengan panjang, blazer hitam sederhana, celana panjang abu-abu, sepatu flat hitam.
Seragam perang untuk hari-harinya yang biasa. Tidak ada perhiasan, kecuali jam tangan antik dengan tali kulit yang sudah retak-retak, warisan dari mendiang ibunya.
*
*
07.30
Dapur apartemen kecilnya sudah beraroma kopi. Edrea menuang sereal ke dalam mangkuk, lalu menambahkan s**u.
Dia duduk di meja makan untuk dua orang yang selalu kosong di satu sisinya. Sambil mengunyah dengan lambat, matanya melihat kalender di dinding. Februari 14. Hari Valentine.
Dia menghela napas. Di Crawfordsville, Hari Valentine berarti Paula dari divisi keuangan akan mendapat karangan bunga dari suaminya, dan semua perempuan di kantor akan bersimpati pada Edrea yang masih sendiri.
Ponselnya bergetar lagi, notifikasi dari aplikasi perbankan. Gajinya sudah masuk. Dia membukanya, matanya dengan cepat melihat angka-angka itu.
Setelah dipotong sewa, asuransi, dan biaya lainnya, hanya tersisa tiga ratus dua puluh tujuh dolar untuk dua minggu ke depan.
Cukup untuk bahan makanan, bensin, dan sedikit tabungan yang akan menipis juga untuk keadaan darurat.
Edrea menghabiskan kopinya, mencuci mangkuk, dan meninggalkan apartemen dalam keadaan bersih, rapi, dan sunyi.
*
*
08.00
Perjalanan ke kantor memakan waktu tujuh belas menit pas. Edrea menyetir mobil tua tahun 2008 yang catnya sudah kusam di bagian kap mesin.
Rutenya tidak pernah berubah, belok kiri, lalu belok kanan di lampu merah ketiga, kemudian menyusuri jalan industri menuju gerbang Verious Corp.
Verious Corp cabang Crawfordsville adalah pabrik komponen alat berat. Edrea memarkir mobilnya di tempat yang sama setiap hari, paling ujung, dekat pohon.
Dia mengambil tas kerja dan kotak makan siangnya, mengunci mobil, dan berjalan menuju pintu masuk samping.
*
*
08.17
"Pagi, Rea!"
Linda dari bagian penerimaan barang tersenyum lebar. "Lihat! Billy kirim bunga!" Dia menunjuk ke vas berisi mawar merah di mejanya.
"Manis sekali," ucap Edrea, mencoba antusias. Dia berhasil cukup baik setelah bertahun-tahun latihan.
Lalu, Edrea melanjutkan langkahnya ke departemen administrasi. Komputernya menyala dengan bunyi dengungan yang sudah sangat dikenalnya.
Layar menyala, dan dia mulai membuka email. Tiga puluh tujuh pesan baru. Sebagian besar adalah laporan produksi, permintaan pembelian, pengingat rapat yang tidak perlu dihadirinya.
*
*
09.00 - 12.00
Rutinitas kerja dimulai. Suara keyboard di sekelilingnya selalu monoton. Dia menjawab telepon dengan kalimat yang sama. “Administrasi, Edrea berbicara, ada yang bisa saya bantu?"
Tangan dan pikirannya bergerak otomatis, hasil kerja beberapa tahun sejak dia lulus kuliah.
Di antara faktur, pikirannya mengembara. Dia memikirkan cicilan utang kuliah yang masih bertahan seperti bayangan panjang.
Dia memikirkan teman-teman sekelasnya dulu yang pindah ke Chicago, Indianapolis, bahkan New York—hidup yang tampaknya penuh warna di feed atau reel media sosial mereka.
"Edrea? Edrea!"
Suara itu menyentak lamunannya. Greg, supervisor-nya, berdiri di dekat pintu ruangannya dengan alis terangkat. Dia memegang setumpuk dokumen.
"Aku butuh pengarsipan sebelum jam tiga."
"Oke, Tuan Greg."
Greg tidak langsung pergi. Dia memandang Edrea. "Kau baik-baik saja? Terlihat agak ... tidak semangat pagi ini."
"Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah."
"Valentine sendirian lagi ya?" Greg tersenyum, tapi tidak pada tempatnya. Dia berusia lima puluhan, sudah menikah dengan anak-anak yang sudah dewasa, dan terkadang memperlakukan Edrea seperti anak perempuannya yang hilang.
"Seperti biasa," jawab Edrea sambil mengedikkan bahunya, berusaha menertawakan dirinya sendiri.
“Perlu kucarikan pasangan yang baik? Kau cantik dan pasti banyak yang mau padamu,” tanya Greg.
Edrea tertawa pelan. “Aku tak sempat memikirkan itu, Tuan Greg. Tapi, terima kasih atas tawarannya.”
Greg mengangguk, meninggalkannya dengan setumpuk dokumen yang baunya sebenarnya sudah menyesakkan baginya.
*
*
13.00
Sore hari diisi dengan rapat staf yang tidak produktif, memperbarui file dan mencetak dokumen yang akan berakhir di tempat sampah daur ulang dalam seminggu.
16.55
Edrea mulai menutup hari kerjanya. Dia menyimpan semua file, mematikan monitor, merapikan meja dengan teliti.
Hujan sudah berhenti ketika Edrea berjalan ke mobilnya, menghindari lubang-lubang yang dipenuhi air.
17.32
Perjalanan pulang. Lampu lalu lintas yang sama, belokan yang sama. Dia berhenti di pasar swalayan lokal untuk membeli s**u, roti, dan buah kalengan.
Berjalan melewati lorong-lorong terang benderang dengan kereta belanja.
Di kasir, banyak majalah-majalah menampilkan tentang tema valentine. Edrea menghela napasnya.
‘Takkan terjadi padaku,’ batinnya. Sebenarnya Edrea ingin berkencan karena katanya akan membuat lebih bersemangat dalam hidup.
Tapi, Edrea masih belum siap membagi hidupnya yang penuh beban dengan orang lain dan belum siap menerima beban orang lain juga. Cukup bebannya sendiri yang sangat memberatkan.
*
*