JANJI DIBAWAH LANGIT
Toko bunga Flamboyan berdiri manis di sudut jalan kecil kota.
Tak besar, tapi selalu wangi, dan selalu ada musik klasik lembut yang mengalun dari dalam. Di balik etalase yang dipenuhi mawar dan lili, tampak seorang gadis muda dengan celemek berwarna pastel, sedang menyusun buket bunga matahari.
Namanya Karin Pramana. Usianya baru dua puluh, tapi wajahnya menyimpan kedewasaan yang lahir dari ketulusan.
Ia senang tersenyum, bahkan pada orang asing. Tangannya terbiasa lembut, seperti hidupnya memang ditakdirkan untuk merawat hal-hal yang mudah layu.
“Hati-hati dengan daunnya, jangan terlipat,” kata Pak Budi, ayahnya, yang masih setia menjaga toko bersama Karin.
“Pembeli yang ini suka bunga yang ‘rapi tanpa cela,’ katanya.”
Karin tertawa pelan. “Iya, Pak. Aku tahu. Itu Ibu Maria dari kantor pengacara, kan?”
Dari arah belakang toko, seorang perempuan paruh baya datang membawa dua gelas es teh dan sepotong bolu tape. Rambutnya dikuncir sederhana, dan matanya hangat seperti pelukan.
“Udah istirahat belum kalian berdua?” tanyanya.
“Istirahat sambil kerja, Bu,” jawab Karin ceria.
Wanita itu adalah Bu Retno, ibu Karin. Sosok yang tenang dan penuh kasih. Ia tidak hanya merawat bunga, tapi juga menjaga kehangatan keluarga kecil itu tetap hidup. Di antara ketiganya, toko Flamboyan tidak hanya tempat bekerja—melainkan rumah, dunia kecil tempat cinta dan kesederhanaan bertumbuh.
Sementara itu, di Jakarta Pusat
Gedung pencakar langit milik Aditya Corporation menjulang angkuh ke langit mendung. Di lantai tertinggi, seorang pria berdiri membelakangi jendela besar. Setelan jasnya rapi, posturnya tegap, tapi mata tajamnya memandang ke arah berkas-berkas di tangannya dengan dingin.
Ryan Aditya, 26 tahun, pewaris tunggal bisnis raksasa ayahnya. Ia bukan sekadar sukses—ia sempurna di atas kertas. Namun, tidak ada yang tahu seperti apa rasanya menjadi Ryan: ditinggal ibu saat remaja, tumbuh di bawah bayang-bayang ayah yang terlalu sibuk, dan kini mengarungi hidup yang sepi di tengah keramaian.
Teleponnya berdering.
“Ryan, Ayah ingin kau pulang malam ini. Kita akan makan malam dengan keluarga lama.”
Ryan tidak bertanya siapa. Ia hanya menjawab, “Baik,” sebelum menutup telepon tanpa emosi.
Namun, dalam diamnya, Ryan tak menyangka bahwa malam ini… akan menjadi awal dari sesuatu yang akan mengguncang dunia tenangnya.
Di Toko Bunga Flamboyan, Sore Itu
“Karin,” kata Pak Budi dengan suara berat,
“Pak Wijaya datang bukan cuma ingin silaturahmi. Dia datang untuk menepati janji kami.”
Karin menatap ayahnya, bingung. “Janji?”
Pak Wijaya mengangguk, tersenyum samar.
“Kami pernah berjanji… bahwa anak-anak kami akan bersatu.
Karin, kami ingin kamu mengenal putraku… Ryan.”
Bu Retno yang sedari tadi mendengarkan dari dekat meja kasir, terdiam sejenak.
Ia menatap putrinya, lalu suaminya. Sorot matanya teduh, namun ada kecemasan samar di sana.
“Pak... yakin anak kita siap?” gumamnya.
Pak Budi mengangguk pelan.
“Kita lihat saja. Mungkin... ini jalan takdir mereka.”
Karin mengatupkan bibirnya. Kata-kata itu terasa asing di telinganya.
"Bersatu"? Ia bukan gadis yang gemar bermimpi soal cinta, apalagi tentang perjodohan. Hidupnya sudah cukup bahagia bersama bunga-bunga, orang tuanya, dan kesederhanaan yang hangat.
Ia melirik ke arah Pak Wijaya. Pria itu tampak lebih tua dari terakhir kali ia lihat. Wibawanya tak berubah, namun kini ada kelembutan yang samar, mungkin karena ia sedang berbicara soal anak, bukan bisnis.
“Ryan…” Karin mengulang nama itu dalam hati. Ia tak pernah bertemu langsung dengan Ryan, tapi pernah melihatnya di majalah bisnis yang dibaca Bu Retno di ruang tamu. Gaya hidupnya jauh dari dunia Karin yang damai. Terlalu rapi. Terlalu dingin.
“Dia bukan orang jahat, Karin,” ujar Pak Wijaya seolah membaca pikirannya.
“Hanya... terkurung dalam kesendiriannya terlalu lama.”
“Dan kamu ingin aku membebaskannya?” tanya Karin pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun.
Bu Retno berjalan mendekat, lalu meraih tangan putrinya.
“Kamu tidak harus menjawab sekarang. Ini bukan paksaan, Nak. Kami hanya ingin kamu mengenal dia. Berteman pun tak apa.”
Karin menatap wajah ibunya. Lembut dan jujur, seperti bunga melati di musim hujan. Ia tahu, ibunya tidak akan menyerahkannya ke dalam sesuatu yang tak pasti. Tapi hatinya belum siap.
“Boleh aku… berpikir dulu?” tanyanya.
Pak Budi mengangguk. “Tentu. Kami tidak akan memutuskan apapun tanpamu.”
Pak Wijaya tersenyum kecil.
“Aku akan meminta Ryan datang ke sini dalam beberapa hari. Tidak dalam tekanan. Tidak dalam agenda resmi. Hanya… kunjungan biasa. Siapa tahu, bunga-bunga ini bisa meluluhkan es di hatinya.”
Karin tak menjawab. Ia melangkah ke rak bunga di sudut, pura-pura sibuk merapikan tangkai-tangkai lili yang sebenarnya sudah rapi.
Di dadanya, ada ketakutan yang tumbuh diam-diam.