TTB 5. Melow

1434 Kata
Begitu Karin menurunkan Ica di depan rumahnya, gadis itu melambai ke arah sahabatnya. Berbalik dan melihat mobil hitam milik sang kakak 'Mario', parkir sejajar dengan sedan merah yang Ica kenali milik kekasih kakaknya. Ica mempercepat langkah. "Bang Rio!" pekik Ica sembari memeluk abang semata wayangnya. Namun Rio malah menjauhkan tubuh saat Ica menempel. "Lo bau!" ejeknya sambil menutup hidung. Ica mendengus kesal kemudian berbalik ke arah kekasih sang kakak. "Kak Gisel..." rengek Ica merengut sambil mengerucutkan bibir. Rio dan Gisel hanya tertawa melihat tingkah manja adik bungsu itu. Gisel mencubit hidung mancung Ica gemas. "Kok kak Gisel kesini pas cuma ada dia?" sindir Ica, bibirnya nyinyir ke arah Rio tanpa melihat wajah. "Ya, Kakak juga sibuk kuliah Ca, ini udah mau pergi lagi, ada kuliah sore soalnya." Lagi, Ica insecure. Bahkan Gisel yang sibuk dengan modeling nya juga masih mementingkan pendidikan. "Caaa..." suara cempreng dari arah samping mengejutkan Ica, Gisel dan Rio. "Eh ada Bang Rio," Rahne, kakaknya Rakha terkejut dengan kehadiran Rio yang tak di sangka. Biasanya cowok itu akan tiba saat sore menjelang malam. Dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, salah tingkah. "Apa an Kak?" tanya Ica penasaran. Ane mengangkat flashdisk hitam ke arah Ica yang membuat gadis itu sumringah. "Yuk," ajaknya pada Ane yang kemudian di tariknya masuk dengan semangat. Tapi sebelumnya Ica cipika cipika dulu dengan Gisel. "Abang nggak di cium Ca?" "Males! Abang bau." celetuk Ica mengulang kalimat Rio tadi. Ica berbalik dan meninggalkan dua sejoli itu yang tertawa dengan tingkahnya. Di dalam Ica mengajak Ane ke kamarnya di lantai dua. Sementara Ica mandi dan mengganti pakaian santai, Ane memindah file drakor ke laptop Ica. Sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil Ica menghampiri Ane yang tengkurap di ranjang queen size miliknya. Masih ada yang mengganjal di hatinya. "Cita-cita Kak Ane dari kecil emang mau jadi guru?" Ica membuka kalimat dadakan. Ane agak bingung dengan pertanyaan tiba-tiba Ica yang serius. "Tumben pertanyaan tentang cita-cita," Ane terkekeh. "Ehhmm, aku aku kayak nya nggak ngelanjutin kuliah deh kak? Ane bangun dan menghadap Ica, dia menatap lekat-lekat gadis yang sudah seperti adiknya sendiri ini. "Kamu kenapa? Cerita deh, siapa tau kakak bisa bantu." "Jangan bilang-bilang Rakha ya kak. Ntar aku di ceng-cengin sama dia." Ane hanya mengangguk tak menjawab. Ica menjeda sebentar kalimatnya, "Aku aku nggak punya cita-cita Kak..." "Hah? Ica lagi kesambet apa gimana? Siang bolong ngomong cita-cita, serius bener pembahasannya," pikir Ane. Dia menahan tawa takut Ica akan ngambek. Biar dia mendengarkan dulu keluhan Ica menopang dagu dengan satu tangan. "Papa - Polisi, Bang - Rio Polisi, Kak Gisel - Bisnis, Bunda - PNS, Ayah - Manager kantor, Kak Ane - Guru, Rakha - Dokter, sumpah aku nggak kepingin jadi apa-apa kak." Ica menunduk lalu melanjutkan. "Aku tuh mau kaya mama, ibu rumah tangga. Ngurus rumah, masak sambil nunggu suami pulang kerja, nemenin anak. Aku malu-maluin nggak sih?" Ane menyampirkan rambut Ica yang tergerai ke belakang telinga. Dia tersenyum mendengar keinginan tulus dan sederhana dari bibir seorang Ica. "Nggak, nggak malu-maluin sama sekali. Beruntung banget yang jadi suami kamu nanti. Tapi... nggak ada salahnya kalau kamu juga belajar untuk cita-cita IRT kamu itu. Ngajarin anak kan berati emaknya juga kudu pinter Ca." Ica mulai berpikir, bener juga apa kata Kak Ane. Lalu jurusan apa dong yang cocok untuk kuliah jadi IRT? "Ehmm gimana kamu juga kuliah guru. Selain ilmu pengetahuan tentang keguruan, kuliah guru ada juga lo ngajarin buat pola mendidik anak supaya berkarakter, berbudi, pinter..." "Oh iya ya oke, aku kuliah guru aja deh kak," sahut Ica semangat sebelum Ane menyelesaikan kalimatnya. Ane mencubit hidung mancung Ica. "Nah gitu dong, masa bahasannya udah nyampe suami. Mending yuk lanjut nonton. Kasian Cha En Wo dari tadi di cuekin. Itu kan calon suami kita?" Ane menaik turunkan alis. Mereka terkikik geli. Tapi kehadiran entitas di depan pintu mengganggu kesenangan mereka. "Sini deh kalian berdua!" Rio melipat tangan di d**a dengan wajah datar. Sebenarnya dia sudah berdiri di situ dari tadi. Dia juga mendengar percakapan Ica dan Ane. Dia baru sadar ada hal-hal yang tidak bisa di ceritakan adiknya kepada dia yang laki-laki. Rio berharap Gisel bisa mengisi kekosongan itu. Apalagi saat dirinya tidak bisa selalu berada di sisi Ica. Namun nyatanya Ica dan Gisel tidak sedekat itu. Tadi saja setelah puas melepas rindu dengannya, Gisel memilih langsung pergi tidak ada keinginan untuk mengajak Ica ngobrol lagi. Yah, memang sih alasannya masih ada kuliah lagi. Rio mengembus nafas berat. "Kalian berdua ikut abang!" Ane dan Ica mengekor saja, melihat wajah serius Rio mereka takut membantah, hingga Rio berhenti di depan televisi di ruang tengah. Dia memutar video di tv besar itu dan menarik Ica dan Ane agar duduk di sofa. Posisinya Rio di tengah. Ica dan Ane masih melongo, tak menyangka abangnya yang cuek ini akan mengajak mereka nonton film pilihannya bersama. "Ni rumah sepi amat. Mama, Papa sama Bue mana?' Ica baru menyadari ketiadaan sang ibu yang biasanya nyerocos juga Papa dan Bue yang selalu membelanya. "Anterin Bue lansia di posyandu." jawab Rio cepat. "Nonton ini aja kalian sekali-kali ubah genre. Jangan drakor mulu." sambungnya lagi. Baru awal video diputar, Ica memukul bahu Rio gemas. Dan berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Melotot pada sang kakak. "Ihh siapa yang mau nonton film prindavan begini sih!" Suara Ica melengking protes. "Ck, nonton dulu napa!" "Ogah, mending nonton sinetron Indonesia deh, biarin panjangnya ngalah ngalahin kereta api, ya nggak kak?" Ica mencari pembelaan menghadap Ane dan diangguki gadis itu. "Kalau kamu nggak nangis nonton film ini, abang traktir apa aja yang kamu mau. Sama kamu sekalian Ne." Rio menunjuk Ane dengan dagunya. Dia nampak serius dengan ucapannya. Ica kini berpikir. Hanya menonton dan dikabulkan keinginan. Tawaran yang menarik. "Aku lagi kepingin I Phone terbaru loh bang," Ica menurunkan suaranya sambil mesem-mesem. "Oke." "Gimana kak?" Ica tampak ragu. Menghadap ke Ane lagi meminta pendapat. "Coba aja nonton deh Ca." Ica akhirnya mengalah duduk bersisian dengan sang kakak di tengah-tengah. Di awal pemutaran film yang berjudul 'Sanam Teri Kasam' yang sebenarnya bukan film baru itu, Ica dan Ane nampak biasa-biasa saja. Mereka asyik menikmati cemilan yang di bawakan Rio. Di tengah film, mereka mesem-mesem karena ada adegan romantis. Padahal mereka biasa melihatnya di drakor hanya saja di sebelah ada Bang Rio, terpaksa mereka berdua sok alim dengan menutup mata dan mengintip di celah-celah jari. Di akhir film mereka berdua kompak nangis kejer pas pemeran cewek meninggal dunia. Ica dan Ane kompak sesenggukan di bahu Rio yang pasrah saja lengan bajunya di jadikan lap ingus. "Film apa an sih ini bang huu huu." "Iya pake acara mati kena kanker segala, lebay banget huu huu." "Abang dapet di mana film ginian, jangan kasih Ica lagi yaa huuu bikin sakit ati huuu" Rio tersenyum senang melihat dua orang cewek ceriwis menangis termehek-mehek di pundaknya. Taruhannya menang sesuai prediksi. "Kak Ane, lo di cari bunda!" Suara melengking dari arah pintu mengalihkan perhatian mereka. "Ceilee nangis pakai duet," ledek Rakha melihat kakaknya dan Ica sesenggukan. "Apa an sih," sungut Ica dan Ane bareng. "Eh, ujian udah di depan mata, nonton aja di terusin. Belajar sono!" Ica semakin melotot ke arah Rakha dan mengarahkan tangan terkepal seolah siap adu jotos. "Eh ada Bang Rio. Kapan datang bang?" Rakha mencueki Ica beralih pada Rio. "Barusan, lusa juga udah balik tugas lagi." "Mumpung abang di sini, gimana kalau kita 'war'?" Rakha menaik turunkan alisnya. "Boleh, siapkan senjatamu hai anak muda." "Siap bos!" Rakha menghormat ala militer. "Heh, ujian udah di depan mata, game aja di terusin. Belajar sono!" cibir Ica tiba-tiba mengulang kalimat Rakha. "Udah-udah! Rakha tunggu abang di teras belakang, Abang ambil power bank dulu." Rio menengahi, kalau tidak mereka akan merepet terus sampai pagi lagi. Rakha hanya menurut namun memberi kode permusuhan dengan tangan ke arah leher pada Ica yang di balas gadis itu dengan membusung d**a. Ane dan Rio hanya mendesah lelah. "Aku balik ya Ca, takut Bunda lama nunggu, besok-besok lagi kita nonton Cha Eun Wo. Yuk Bang Rio." Ane berlalu pergi meninggalkan ruangan itu menuju pintu. Ica hendak berbalik namun pergerakannya di tahan Rio. "Eits karena kamu nangis kejer, berati kamu yang harus kabulkan keinginan abang." "Ihh tadi perjanjiannya nggak begitu!" Ica mulai protes. Rio menggenggam kedua tangan Ica dan menatap mata adiknya hangat. "Dek, abang cuma minta kamu ikut kuliah di universitas yang sama dengan Rakha, terserah mau jurusan apa." Ica mau protes namun urung saat mendengar kalimat lanjutan dari Bang Rio, "Rakha pasti jagain kamu, dia sayang sama kamu kaya abang menyanyangi kamu Ca. Dan... turuti kata hati. Kalau kamu bahagia abang pasti juga ikut seneng. Tetap jadi Ica kesayangan abang. " "Bang..." Ica memukul lengan Rio pelan lalu memeluk Rio haru. "Kok jadi melow gini sih!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN