TTB 16. Kuliah Perdana

1272 Kata
Satu persatu para maba memasuki aula super besar yang dapat menampung ribuan mahasiswa. Kuliah perdana kali ini akan disampaikan langsung oleh rektor Universitas terbesar di Kalimantan itu. Seluruh maba dari semua fakultas bergabung di aula yang hampir mirip tribun sepak bola. Ica sudah duduk nyaman bersebelahan dengan Karin dari Fakultas Hukum. Seperti biasa Ica membonceng dengan Karin untuk sampai ke aula ini seperti saat mereka SMA. Rencananya Ica akan dibelikan motor baru karena tidak selalu jadwal mereka ngampus sama. Lagi pula mereka beda fakultas. Untuk sementara Ica ke kampus naik becak. Meski sempat di ledek habis-habisan sama Rakha. "Kasian tuh amang tukang becaknya, Ca! Sini biar gue anter. Biarin gue muter ke kampusnya, nggak tega gue liat amangnya sampai pucet gitu, keberatan bonceng lo!" Ica berdecih, "body shaming!" gerutu Ica mengingat tingkah Rakha yang selalu membuatnya jengkel. Ica menoleh ke samping, Karin sibuk merapikan make up dan tatanan rambut. Mulutnya gatal untuk tidak berkomentar, "udah, nggak ngaruh juga kali Rin!" ledek Ica. "Sialan lo!" umpat Karin. "Eits, language!" Ica terkekeh berhasil membuat sahabatnya jengkel. 'Caca marica hey hey caca marica...' Gegas Ica menggeser simbol hijau di layar ponsel, menyahut panggilan dari Mama yang baru tiba tadi malam di Banjarmasin, "Ya, daewang daebi mama?" "Kamu pulang jam berapa? Ini mama masak banyak, ajak Rakha makan di sini nanti ya!" "Rakha sibuk Ma, dia nggak punya waktu buat mampir, banyak tugas dia. Lagian cowok nggak boleh masuk kos Ma. Biar nanti Ica sama Karin yang habisin masakan Mama." Merasa namanya di sebut, Karin menoleh. Dia mencibir sambil berkata tanpa suara, "gue lagi diet!" "Kita kan bisa makan di teras atau gazebo depan Ca. Tapi masa sih sudah banyak tugas? Kan kalian baru kuliah perdana hari ini!" Mama nggak percaya. "Namanya juga anak kedokteran Ma, udah ah kuliahnya mau mulai ini! Dah Mama, muach!" Ica buru-buru mematikan panggilan lalu menyimpan ponsel ke dalam tas. Berdebat dengan Mama dia bakal kalah telak. Secara Ica jawab juga ngasal. Begitu menoleh ke samping, Ica kaget bukan main. Badannya sampai sedikit terangkat dengan mata melotot kaya habis liat setan. "Kamjagiya!" Ica mengelus dadanya pelan, menghembus nafas lemas melihat Rakha yang sudah duduk manis sambil menopang dagu persis di sebelahnya. "Kenapa lo? Gue ganteng ya?" tanya Rakha sambil menyugar rambut. "Habis fitnah lo dia Kha!" adu Karin sambil terkikik. Refleks Ica memukul pundak Karin dan melotot tajam. "Lo ngomong apa an Ca? Siapa emang yang telepon tadi?" Rakha meraih kepala Ica dan menjepit di antara lipatan tangannya. "Nggak ada, dia yang fitnah gue!" tunjuk Ica pada Karin yang menjulur lidah sambil menepuk-nepuk tangan Rakha yang membelit lehernya. "Lo ketemu sama si Said?" Pertanyaan tiba-tiba Rakha membuat Ica diam menyimak. "Jangan deket-deket dia lagi deh! Dia bakal bawa masalah buat lo, kaya dulu-dulu!" sambung Rakha. "Ngaco lo, mana bisa gitu konsepnya," balas Ica sambil melepas belitan tangan Rakha dari lehernya. Tapi Rakha malah meraih tangan Ica dan menggenggamnya. "Gue serius Ca!" "Kenapa emang?" tanya Ica santai. "Gue nggak suka!" "Kenapa?" kali ini Ica jadi serius menyimak. "Gue gue nggak suka aja lo dekat sama cowok manapun!" Sehabis mengatakannya Rakha menggigit bibir bawahnya, menunggu respon Ica. Dia takut Ica marah. Tapi Ica malah cuma ngomong tiga kata, "hah?" Rakha mengeratkan genggamannya dan menatap intens di manik coklat Ica. "Gue gue mau... lo cuma deket sama gue. Kalau lo sama cowok lain gue cemburu!" sambung Rakha yang sukses membuat Ica susah meneguk ludah. Ada perasaan meletup-letup di d**a dan menggelitik di perut sekaligus. Matanya berkedip-kedip lucu. "Rakha lagi becanda apa gimana ini? Ah, jangan tertipu sama nih kadal Ca. Dia kan emang sering ngerjain lo! Tapi kok telinganya sampe merah gitu? Biasanya kan dia gitu kalo malu doang. Masa si Rakha serius? Ini maksudnya Rakha nembak gue apa gimana ya?" batin Ica. "Selamat pagi semuanya!" sapa pria berjas di tengah podium dengan mikropon yang membuat suaranya membahana. Seluruh atensi kini berpusat pada sang rektor yang berdiri dengan wibawanya. Termasuk Ica dan Rakha yang segera melepas tautan tangan mereka. "Tenang aja Kha, si Said nggak seganteng Daniel. Ica nggak bakal klepek-klepek sama tuh cowok!" bisik Karin yang tentu bisa di dengar Ica karena posisinya di tengah. Kini suasana canggung Rakha-Ica terjadi lagi, mereka sama-sama pura-pura menyimak kuliah perdana ini padahal otak dan perasaan mereka sedang traveling. 'Eh salah cuy! Nggak traveling kok, orangnya di sebelah ini.' Asik melamun, suara lembut dari sebelahnya mengalihkan perhatian Rakha. "Hai..." "Eh Alya," kaget Rakha sambil tersenyum ramah. Dia meneliti penampilan Alya yang masih memakai perban kecil di pelipis bekas luka kemaren. "Dari tadi aku duduk di sini, tapi takut negur kamu. Takut salah orang!" kata Alya dibarengi senyum cerah. Rakha balas tersenyum, "luka lo gimana? masih sakit?" katanya perhatian. Ada sedikit rasa bersalah di hati Rakha karena melukai seorang perempuan. Hal yang pantang di lakukan oleh laki-laki gantle sepertinya. "Udah nggak apa kok. Habis kuliah ini mau ke klinik lagi, buka perban." kata Alya masih dengan senyum senang karena Rakha seperhatian itu padanya. Rakha nggak nyadar aja interaksinya denga Alya juga di simak oleh Ica yang menahan panas di dadanya. "Bagus lo ya, baruu aja! Belum ada sepuluh menit lo ngomong gue nggak boleh deket cowok lain. Lo sendiri di depan mata gue udah nempelin cewek baru! Kemaren juga udah janji nggak mau pacaran lagi, mau fokus kuliah sama gerecokin gue doang. Bacot lo dasar kadal!" batin Ica menggerutu jengkel. "Kamu kamu mau mau anterin?" tanya Alya ragu. Mata Ica melotot tidak terima. Belum sempat Rakha menjawab, Ica ngomong duluan. "Kha, tadi Mama nelepon. Pulang ini di suruh makan masakan Mama di kos gue. Kalau lo nggak mau, Mama bakal ngamuk katanya!" Sontak Karin yang duduk di sebelahnya membekap mulut, menahan tawa. "Astaga Ica labil banget nggak si. Kena karma omongannya sendiri!" batin Karin dia memegang perutnya menahan tawa. Rakha menoleh kembali pada Alya, "Tuh lo dengerkan? Disuruh Mama cepet pulang. Lo bisa sendiri aja?" Ica merotasi bola mata mendengar tutur halus Rakha pada gadis yang terlihat polos itu. Bukan tipe cewek Rakha sebenarnya. Gadis ini terlalu biasa jika disandingkan dengan mantan-mantan Rakha yang aduhai. Rambut kepang dua, poni hampir nutupin mata, kemeja panjang biasa dengan rok panjang dan sepatu plat. Tinggal tambah kacamata sama kawat gigi mungkin penampilannya akan seperti Betty Lapea. Tapi entah kenapa Ica nggak suka aja Rakha deket dengan cewek ini. Tidak seperti biasanya jika Rakha mendekati cewek cantik. Mungkin efek habis Rakha ngomong manis kayak tadi Ica jadi kadung ge er. "Iya nggak pa-pa kok Kha, kliniknya deket sama kos aku ini," jawab Alya. Ica tambah nyinyir, "deket kos, minta anter!" gumam Ica hampir tidak terdengar. Alya dan Rakha kembali memerhatikan kalimat motivasi yang di sampaikan rektor di depan. Beda dengan Ica yang grasak grusuk mau cari keributan sama Rakha. Entah kenapa Ica kesal setengah mati dengan Rakha yang sok perhatian itu. Ica sengaja mencoret buku Rakha untuk memancing emosinya, tapi cowok itu cuma senyum. Rakha malah memainkan ujung rambut panjang Ica dengan jarinya. Ica tambah kesal, dia menarik tangan Rakha dan mencoret kuku Rakha dengan pulpennya jadi kaya kutek. Rakha diam saja tangannya di pegang-pegang Ica. Dia malah kesenangan. "Diem napa Ca, kayak orang kerasukan lo. Ntar aja ngereognya di kos!" bisik Karin. "Biarin! Mumpung ni kadal lagi anteng gue kerjain!" balas Ica. "Ini dia gini jaga imej doang depan gebetan!" kata Ica lagi ke arah Karin. "Bilang aja cembokur lo!" batin Karin malas berdebat. "Ya, coba yang pake baju putih, coba ulang kalimat Ki Hajar Dewantara yang saya sebutkan tadi!" kata sang rektor dari arah podium menunjuk tepat ke arah Ica. Ica celingak-celinguk ke kiri dan kanan. Otomatis semua atensi kini terpusat ke arah Ica yang memang memakai blouse putih lengan pendek. "Iya kamu!" ulang sang rektor. 'Mampus!'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN