TTB 15. MABA

1359 Kata
'Welcome to Banjarmasin' suara DJ yang diputar di playlist musik tape mobil Ayah menyambut kedatangan mereka di Kota Banjarmasin. Kota yang dijuluki Surabaya ke dua dengan segala hingar bingar kota besar. Rakha memandang wajah cantik yang tertidur pulas di bahunya. Berada sedekat ini, Rakha jadi bisa melihat dengan jelas bulu mata lentik, alis hitam tertata, hidung mancung, pipi yang putih bersih dan bibir tipis berwarna pink alami yang begitu menggoda. Sangat cantik. Bohong sekali Rakha selama ini yang selalu mengatai Ica jelek. Rakha menyungging senyum dan pelan memajukan bibir mengecup pelipis Ica. Menghirup wangi rambut Ica dengan lembut. "Ekhmm," ayah yang duduk di samping sopir berdehem. Si sopir sendiri jadi senyum-senyum melihat anak muda di kursi belakang. "Ca, bangun udah nyampe!" sentak Rakha yang salah tingkah dan buru-buru memencet hidung Ica hingga dia susah bernafas. "Ihhh Rakha!" kesal Ica sambil memukul tangan Rakha. Bibirnya cemberut dengan wajah di tekuk. "Tidur mulu, udah nyampe noh!" Setelah drama perpisahan yang cukup menguras emosi, akhirnya Ica bisa menampilkan senyum kembali. Melihat bangunan tinggi berbaur dengan rumah penduduk. Juga spot nongkrong buat anak muda yang banyak dijumpai di setiap titik kota, membuat Ica jadi bersemangat menjalani hari-harinya di kota padat ini. Kedatangan mereka juga disambut semburat jingga di ufuk Barat. Saat di Sampit pagi tadi, Ica merengek-rengek untuk tidak berangkat ke Banjarmasin sekarang. Dia tidak siap berpisah dengan Mama dan Papanya. Ditambah kedua orangtuanya yang baru bisa menyusul Minggu depan. Membuatnya semakin menciut. Tapi ironisnya meski berat pergi dari rumah, barang bawaan Ica membuat Rakha bersungut-sungut saat menurunkan dari mobil. "Lo bawa apaan Ca? Baju segudang lo angkut? Mau jualan lo di sini?" "Dua koper itu isinya baju, yang ini tas-tas sama sepatu, tas biru sabun-sabun sama alat kecantikan, kotak itu makanan semua. Duh.. catokan gue ketinggalan!" kata Ica setelah menunjuk satu-satu bawaannya sambil menepuk jidatnya. Rakha membuang nafas kasar, "sini gue catok pala lo pake koper!" "Ayahhh..." adu Ica manja. "Rakha!" tegur Ayah. Ica menjulurkan lidahnya menang. Rakha merotasi matanya jengah, dia lanjut menurunkan barang-barang Ica dari bagasi memasukkannya ke dalam kos dibantu sopir. Sementara Ayah bicara dengen pemilik kos yang tinggal tepat di depan kos-kosan putri bertingkat lima itu. "Bestieee!!" pekik Karin dari arah tangga menyambut kedatangan sahabat lengketnya. Ica menyungging senyum membuka telapak tangannya untuk ditepuk Karin, bergoyang ke kiri kanan, terakhir saling menyenggol p****t, salam khas Ica dan Karin. "Nih, gue bawain sampe sini aja! Cowok di larang masuk kan?" kata Rakha yang ngos-ngosan sambil mengelap keringat di dahinya. Karin melongo melihat tumpukan kardus, tas dan koper yang menggunung di depan tangga. Lift di kos mereka sedang rusak jadi akses sementara naik turun lewat tangga. Melihat ke arah Ica yang nyengir tanpa dosa. "Bantuin..." "Aduuhh sorry Ca, perut gue mendadak mules!" kata Karin sambil berbalik ngibrit naik lagi. "Karin!!" *** Rakha meletakkan ikan hias jenis Guppy pemberian Bue di atas meja belajar di samping ranjang single yang dia duduki. "Aneh-aneh aja emang Bue ngasih beginian, tapi kok gue mau-mau aja lagi ya?" gumamnya sambil mengamati ikan yang setengah jetlag karena perjalanan yang cukup jauh. 'Rakha nggak tau aja, itu bakal jadi awal mula dia akan jadi babu tuh ikan.' Rakha meletakkan satu kopernya di dalam lemari tanpa mengeluarkan isinya. Melangkah keluar kamar menemui sang Ayah yang lagi nelepon. "Bener kamu nggak pa-pa ngontrak rumah di sini? Ini agak jauh dari fakultas kedokteran lho Kha," kata Ayah selesai menelepon. "Nggak pa-pa Yah? Di sini Rakha bakal ngumpul lagi sama teman-teman dari Sampit. Jadi bakalan seru, Rakha nggak perlu lagi pengenalan sama orang baru. Besok mereka udah pada dateng," jawab Rakha sambil mengupas kulit kacang. "Alahh bilang aja mau deket sama kosnya Ica," ejek Ayah sambil menepuk pundak putranya. Memang jarak kos Ica dan rumah kontrakan Rakha hanya berjarak tiga gang kecil, jadi Rakha bisa tiap hari memantau keadaan Ica. Sahabat kecil yang sekarang naik level jadi inceran. "Namanya juga usaha Yah," balas Rakha tak mengelak, dia memang tidak bisa menutupi apapun dari orang tuanya. "Baguslah kalau gitu, inget jaga Ica! Dia itu udah Ayah dan Bunda anggap anak sendiri. Jangan macem-macem, jangan suka nyosor kayak tadi di mobil, ntar bablas. Lulus kuliah dulu baru langsung lamar. Ayah sama Bunda restui kok!" "Ayah! belum juga mulai kuliah, masa udah ngomong lamaran si!" Rakha sebenarnya malu aja, Ayahnya ngomong terlalu jujur. "Eits, jangan salah, Ica itu cantik. Keduluan orang nyesel sampe kuburan kamu!" "Ayah!!" *** Dan di sini lah sekarang Ica berpijak. Hari pertama menjalani ospek di fakultas Ekonomi. Yups, bukannya masuk Fakultas Keguruan seperti rencana awal bersama Kak Ane, saat mengisi formulir tiba-tiba aja tangannya gatel pengen masuk ke Prodi Manajemen. Meski bukan lewat jalur SNMPTN kayak Rakha, tapi Ica berhasil lulus lewat jalur mandiri. Saat ini terik matahari di Banjarmasin sudah di atas kepala, tapi mereka para mahasiswa baru masih di ajak berkeliling kampus untuk pengenalan lingkungan. Ica berjalan menunduk sambil menyeka keringat di pelipisnya. Dia tidak tahan dengan silaunya matahari yang benar-benar menyengat kulit. 'Bugh' "Ups sorry sorry Kak, aku nggak sengaja!" kata Ica sambil memungut beberapa kertas yang berserakan di tanah. "Risa?" Ica mendongak. "Kamu bener Marisa kan?" Sekali lagi pemuda berkacamata itu bersuara, bahkan sampai melihat id card yang menggantung di leher Ica. "Kak Said?" "Yaa, aku Said," kata pemuda itu tersenyum sambil mengulurkan tangan. Ica membalas jabatan tangannya tapi tiba-tiba tubuhnya di rengkuh ke dalam pelukan laki-laki tinggi itu. "Apa kabar?" katanya sambil mengurai pelukan dan senyum bahagia. "Baik Kak," balas Ica ikut tersenyum ramah. "Gila, aku seneng banget bisa ketemu kamu lagi! Kamu cantik banget sekarang Risa!" pekik Said girang. Said ini mantan Ica saat masih berseragam putih biru. Cinta monyet ala-ala anak ingusan. Harus terpisah karena Said yang setahun lebih tua waktu itu harus melanjutkan SMAnya di Banjarmasin karena orang tuanya pindah tugas di sini. "Aku juga hampir nggak kenal sama Kak Said, sekarang tambah tinggi dan putih," balas Ica. Mereka tertawa bersama, mencari tempat teduh untuk berbagi cerita. Mereka tidak menyadari ada sepasang mata yang mengawasi dan mengambil foto mereka dari berbagai posisi. *** 'drtt drtt drtt' Berkali-kali ponsel pintar Rakha bergetar menandakan banyak pesan yang masuk. Dia menepi sejenak, melihat situasi, baru mengeluarkan ponselnya. Dia tidak ingin di tegur oleh kating yang menjadi panitia ospek. Mata Rakha melotot melihat kiriman gambar dari Dimas yang satu fakultas dengan Ica. Foto Ica saat berjabat tangan dengan laki-laki, berpelukan, sampai tertawa-tawa di bawah pohon rindang. Rakha menzoom gambar laki-laki berkacamata yang nampak familiar di matanya. Setelah mengingat-ingat dia yakin kalau laki-laki itu adalah Said, mantan pacar Ica waktu SMP. Cowok cupu yang dulu sering dibela Ica saat di bully siswa lain. Padahal Said adalah kakak kelas mereka. Sejak Ica memproklamirkan Said jadi pacarnya, tidak ada lagi siswa yang berani membully cowok dengan gaya nerd itu. Padahal jika ada yang mau menyakiti Ica, Rakha yang jadi tameng Ica untuk adu mekanik. Rakha meremas ponselnya kesal. Ada saja yang menjadi batu dalam jalannya menjadikan Ica pacar. Lega Daniel kuliah di LA, datang Said si mantan. Yah, walaupun Said tidak setampan dan sekaya Daniel, tapi tetap saja Said punya cerita masa lalu dengan Ica. "Anjiing!" umpat Rakha kesal sambil menyugar rambutnya. Dia menendang batu kecil di sekitarnya saking kesalnya. "Aww," pekik gadis di depan Rakha yang tiba-tiba melintas. Gadis itu juga maba fakultas kedokteran seperti Rakha karena memakai id card yang sama. "Sorry sorry lo nggak pa-pa?" kata Rakha menyadari ulahnya dan menghampiri gadis yang jongkok memegang dahinya. Pelan Rakha menarik tangan gadis itu. Dahinya yang tidak sengaja terkena batu ternyata mengeluarkan cukup banyak darah. Rakha mengeluarkan kertas dari tas kecilnya, karena tidak ada tisu ataupun sapu tangan. Lalu menempelnya di dahi gadis itu. Dia meringis menahan sakit. "Ayo kita ke ruang medis!" ajak Rakha merasa bersalah. Nurut. Gadis yang nampak polos itu mengikuti langkah Rakha ke ruang medis. Memegang kepalanya yang berdenyut dan berjalan menunduk. Rakha meminta tolong kepada petugas untuk mengobati. "Sekali lagi gue minta maaf, gue bener nggak sengaja. Lo nggak pa-pa kan?" Melihat wajah tampan yang nampak perhatian padanya, gadis berkepang dua itu tersipu lalu mengangguk pelan. "Lo istirahat aja di sini, ntar gue bilang sama panitia kalau lo sakit. Oh ya nama lo siapa?" tanya Rakha. Ragu, cewek itu mengulurkan tangan ke arah Rakha. "Alya..." katanya malu-malu yang di balas Rakha menjabat tangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN