05. Why?

1905 Kata
Entah kesalahan apa yang gue perbuat di masa lalu, sampai bertemu dengan orang sepertinya. Eldwin menatap pintu ruang dosen itu dengan pandangan penuh keyakinan, ditangan kanannya masih setia map milik Elvy. Dia akan bertanggung jawab dengan apa yang sudah dia perbuat, terlebih lagi dengan cara ini dia bisa memperbaiki hubungannya. “Lo gila El. Lo gila.” Eldwin geleng-geleng kepala sendiri, menyadari apa yang dia lakukan ini hanya untuk seorang wanita yang belum genap seminggu dia kenal. Wanita yang manis sekaligus galak. Eldwin memegang rambutnya yang masih terasa nyilu akibat Elvy yang menjambaknya dengan keras. Dia heran Elvy apa dia beneran cewek atau cewek jadi-jadian. Tapi, dia tidak marah melainkan menyukainya. Gila kan. Setelah memperbaiki penampilannya, cowok berkemeja flanel itu masuk kedalam ruangan, mencari dosen untuk menyelesaikan masalah ini. Dilain tempat Elvy merengut kesal, disampingnya Maura, Atta dan Evan yang sudah duduk manis, menemaninya. “Gue heran. Kenapa lo punya temen gila plus menyebalkan kayak gitu sih. Padahal lo itu keliatan pendiem, jauh banget sama temen lo satu itu,” ucap Elvy sambil meremas-remas kertas sampai lecek. Evan menghendikkan bahunya, “Takdir kali,” candanya “Udah deh El, lo percaya aja sama si Eldwin. Gue yakin dia nggak bakal ngapa-ngapain tugas lo.” lanjutnya, mencoba menurunkan emosi Elvy. Elvy mencebikkan bibirnya, “lo yang yakin gue nggak,” tukasnya keras. “Awas aja tuh anak satu, gue nggak segan-segan dia mukul dia sampai biru kalau tugas gue dia hancurin lagi.” Ancamnya dengan kilatan amarah yang jelas sekali di mata wanita itu. Maura melempar pandangan ke arah Evan, yang dibalas gelengan kepala sambil mengankat hpnya. Dan respon yang sama dia dapatkan saat melihat Atta. “El gue boleh nanya?” “Tanya aja.” Atta menoleh kearah Evan dan Maura sebelum mengeluarkan kalimat yang sudah gatal dia ingin keluarkan sejak kemarin-kemarin. “Lo punya perasaan ya sama Eldwin? Maksud gue lo suka samaa Eldwin?” tanya Atta hati-hati. Tapi, meski begitu Elvy langsung melemparkan lemparan tajam ke arah Atta seakan cowok itu sudah mengatakan hal yang  paling menjijikan. “Lo bilang gue suka sama si Eldwin?” Elvy menunjuk dirinya sendiri, lalu geleng-geleng dengan senyum mengejek “Nggaklah, ngapain gue suka sama tuh manusia satu, yang ada gue benci sama dia,” bentaknya kesal membuat Atta terlonjak saking kagetnya. “Ya kan kali suka. Soalnya kok lo bisa marah banget sih, padahal cuman tugas lo doang yang rusak tapi marahnya kayak orang diselingkuhin.” Atta mengusap tengkuknya gugup. Gimana nggak gugup kalau Elvy sudah menatapnya dengan tatapan seakan-akan ingin memakan dia hidup-hidup. “Bukan masalah cuman tugas anjir.” Elvy merasa tersinggung dengan ucapan Atta “Gue udah ngerjain tugas itu dari kemarin sampe nggak tidur. Kalau gue nggak lulus mata kuliah itu, emang dia mau biayain gue buat ngulang ha!?” Maura yang sudah merasa keadaan tak tentram mulai buka suara, ditepuknya pundak sahabatnya “Udah El, udah,” ucapnya menanangkan Elvy “Lo juga Ta, udah tahu anak orang lagi emosi, lo pancing-pancing.” “Ya maaf.” “Daripada kita panas-panasan disini, ke cafe depan yuk. Lumayan ngadem sambil nunggu si kunyuk, gimana?” usul Evan sambil menoleh ke tiga orang itu menunggu jawaban. Maura mengangguk, “boleh deh, lumayan gue haus. Yuk El, gue bantuin deh ngebujuk Bu Ratna, tenang gue bakal bantuin lo sebisa mungkin kalau bisa sampai darah penghabisan deh.” Elvy mengernyit lalu tertawa kecil “Lo lebay tahu nggak. Tapi makasi ya Ra,” ujarnya tulus. “Sama-sama sayang, lo sahabat gue. Seorang sahabat selalu ada untuk sahabatnya kalau dibutuhkan,kan. Jadi ayok kita ke cafe, gue udah nggak tahan.” Maura bangkit sambil membantu Elvy berdiri. “El,” panggil Atta yang membuat Elvy menoleh “Lo manis kalau ketawa, jangan nangis lagi ya.” Kalimat Atta itu membuat tiga orang itu melongo, seakan tak percaya dengan apa yang di dengar mereka. “Kenapa? Gue kan beneran. Dia manis kalau nggak sedih,” lanjutnya dan langsung berlalu dari sana berjalan terlebih dahulu meninggalkan tiga orang yang kini saling melempar pandang. “Temen kamu kesambet apaan, Yang?” tanya Maura yang dibalas gelengan oleh Evan. “Nggak tahu, Yang. Dih kok aku merinding jadinya.” Sedangkan Elvy mengerjapkan matanya “Dia gila.” **** Eldwin keluar dari ruangan dosen dengan muka datar, kepalanya di miringkan ke kanan dan ke kiri pegal lalu memegang tengkuknya, dia benar-benar pegal. Dikeluarkan hpnya yang sejak tadi sengaja ia silent, dan keningnya mengkerut saat melihat notifikasi hpnya. “Ini anak dua kenapa nelpon gue segini banyaknya.” Eldwin  menscroll hpnya dan dia berdecak saat melihat nomer Atta dan Evan yang bergantian menghubunginya. Tangannya membuka aplikasi Line yang ada di hpnya, jangan-jangan tuh anak dua yang ngechat dia, tuh kan benar aja dua kunyuk itu yang mencarinya di grup Grup “Ceker Ayam.” AttaPrandana Eldwin sayang. EvanBaskoro Woy Eld AttaPrandana Ping Ping Ping Ping Ping Eldwiiinnnnnnnnnnn. EvanBaskoro Eh,Ta. Jangan spam,njir. Eldwin lo dimana? Jangan suka ngilang. Tanggung jawab sama cewek lo nih. Cewek? Emang gue punya cewek? Perasaan nggak ada deh tanyanya pada diri sendiri, dan dia langsung menepuk jidatnya setelah tahu maksud cewek yang dibilang Evan. Eldwin langsung membalasnya Read Dimana? Eldwin menunggu tapi tak kunjung mendapatkan balasan, cowok itu lantas menarik kakinya untuk meninggalkan ruangan dosen. Diedarkan pandangannya diseluruh penjuru kampus yang ia lewati, mencari para curut yang tadi mencarinya terutama cewek galak itu. Dentingan hp langsung membuat dia cepat-cepat membukanya. AttaPrandana Eh si ebeb akhirnya nongol. Lagi di cafe depan nih, gesit. Cewek lo udah nungguin dari tadi. Read 2 Jijik gue TA. OTW. Jagain dia. AttaPrandana Oke Beb. Cepet ya, aa’ udah kangen. EvanBaskoro Eh, si k*****t berhenti nggak lo ngomong menjijikan kayak gitu. El, cepet kesini. Nggak pake lama. Read 2Oke Van. Ta, mati aja lo sono. Eldwin memasukkan kembali benda pipih itu ke sakunya celananya, bergegas menemuni sahabat gilanya dan wanita galak. Ah, dia sudah tak sabar melihat ekspresi wanita itu. Dilain tempat, Elvy masih marah-marah karena Evan dan Atta tak mau memberikan hp mereka kepadanya. Padahal dia hanya ingin mengetahui proposalnya, tidak ingin ribut. Meski dia tidak menjamin kalau dia tidak akan cek cok dengan cowok itu. “Pelit amat sih. Sini deh nomernya, biar gue yang telpon pake nomer gue.” Elvy mengeluarkan hpnya dan bersiap mengetikan nomer Eldwin. Eitt bukan modus, dia benar-benar hanya ingin mengambil proposalnya. “Mana, sini.” Elvy menagih sambil megadahkan tangannya meminta hp salah satu cowok disana. Atta menggeleng cepat, dia menjauhkan hpnya, Evan sama dia malah pura-pura tidak mendengar dan menikmati jus tomat pesanannya. “Dasar, menyebalkan,”desis Elvy. Dia membanting punggungnya disenderan kursi, terpaksa dia harus diam menunggu kabar dari kunyuk satu itu. Tak butuh waktu lama menunggu Eldwin masuk kedalam cafe yang hanya satu-satunya di depan kampus mereka. Dia tersenyum simpul saat pelayan cafe itu menyapanya. Pandangannya langsung diedarkan, mencari kumpulan para sahabat-sahabatnya, dan dia langsung melangkah kakinya saat melihat lambaian tangan dari Atta. “Ha..” “Mana proposal gue,” todong Elvy, membuat sapaan Eldwin terpotong. Wanita itu bersidekap, pandangannya tajam. Awas aja kalau proposal gue lo rusain gue hajar lo sekarang, begitulah kira-kira arti tatapan Elvy pada Eldwin. Eldwin bukannya tak tahu apa maksud dari Elvy, tapi dibandingkan menjawab dia lebih memilih untuk duduk disamping wanita yang bisa kapan saja menghajarnya. “Sabar sayang, sabar,” ucapnya sambil mengambil minuman Elvy dan langsung meminumnya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Mata Elvy melotot, begitu juga dengan ketiganya. Tadi mereka tak salah dengar kan kalau Eldwin memanggil Elvy dengan sebutan sayang. Wah ini kemajuan yang besar, dari kejadian proposal kuliah, menjadi proposal cinta. Begitulah yang dipikirkan tiga orang itu, tentunya bukan Elvy karena wanita itu marah dengan Eldwin yang seenaknya memanggil sayang. “Heh gila. Ngapain lo manggil gue sayang?! Dan itu kenapa minuman gue lo embat?!” Elvy memukul pundak Eldwin hingga cowok itu meringis. “Sakit Yang.” Eldwin mengambil tangan Elvy, membuat pergerakan wanita itu berhenti. “Sekali-sekali lembut dikit kali Yang, bisa?” “Yang-yang lo kira gue layangan. Lepasin.” Elvy menarik tangannya dengan sekali tarikan.  Enak aja main pegang-pegang, pacar aja bukan. Eh,astaga El kenapa jadi ngelantur ke pacar sih. Elvy lalu menoleh ke depan dan mengernyit, “kalian kenapa lagi?” tanyanya saat melihat ekspresi Maura, Evan dan Atta yang menampilkan wajah bengongnya “Nggak kenapa-napa,” jawab mereka serempak, menambah keheranan Elvy. “Lanjutin aja.” Sambung mereka lagi. Elvy mendengus lalu menolehkan kepalanya ke arah Eldwin, yang sialnya masih memperhatikannya. “Lo..lo kenapa ngeliatin gue kayak gitu.” Elvy mencoba untuk galak, tapi nyatanya suara yang dikeluarkan adalah suara orang gugup. Astaga, kenapa gugup gini sih. Eldwin terkekeh, di dekatkan wajahnya ke Elvy, membuat wanita itu reflek menjauhkan kepalanya, nih anak mau ngapain lagi gerutunya masih dengan tatapan yang waspada. Sedangkan ketiga orang yang ada di depannya, masih menikmati adegan itu dengan sesekali meminum dan makanan yang telah mereka pesan, seakan menonton drama dram romantis gitu. “Ih jauh-jauh sana. Ngapain maju-maju  sih tuh muka, mau gue tampar.” Elvy mengangkat tangannya, menyiratkan bahwa dia tidak main-main dengan ucapannya. Eldwin menarik bibirnya sedikit, “coba aja.” Dia memberikan pipinya kepada Elvy, “Tapi sebelum itu, lo nggak mau tahu tentang nasib proposal lo?” tanyanya Astaga kenapa dia lupa sama proposal “Proposal gue mana? Lo nggak buang kan?” cecarnya, yang dibalas ankatan bahu oleh  Eldwin. “Seriusan mana proposal gue.” Edwin menggeleng “nggak ada di gue,” balas Eldwin santai yang langsung menyulut emosi Elvy. “Lo yaa...” Elvy sudah kehabisan kata-kata, dia bangkit mengambil tasnya, tapi Eldwin mencegahnya. “Lo nggak mau tanya dimana proposal lo?” “Udah males.” Elvy menarik paksa tasnya yang kini dipegang oleh Eldwin. “Lepasin.” “Nggak mau. Diem dulu sini.” Eldwin menarik Elvy hingga wanita itu jatuh duduk disampingnya lagi. “Gue bakal kasih tahu dimana proposal lo, tapi lo harus nerima persyaratan dari gue. Tapi kalau lo nggak mau ya udah sih, bukan urusan gue.” Eldwin melepaskan Elvy, sengaja menarik ulur Elvy. Elvy terdiam, menimbang-nimbang apa yang akan dipilihnya, “oke, gue turutin lo. Sekarang bilang dimana proposal gue?” Akhirnya Elvy memilih untuk mengikuti kemauan Eldwin, dia memang tidak bisa meninggalkan tugasnya apapun terjadi. Terkadang dia membenci sifatnya ini. Eldwin tersenyum tipis, “gitu dong. Gue cuman mau lo jadi..” degub jantung Elvy semakin kencang, jangan bilang kalau cowok itu mau jadiin dia pembantu atau pacar seperti yang dia sering baca di novel-novel kesukaannya. “Jadi temen gue. Gimana?” “Ha?” ucap Elvy serempak dengan Atta, Evan, dan Maura. “Jadi temen.” Tambah mereka lagi. Eldwin mengangkat alisnya sebelah, menatap ketiganya dengan pandangan tak suka. “Bisa nggak kalian diem dulu. Dan salah gitu gue mau jadiin dia temen gue? Lo mau gue ribut terus sama dia, gue mah oke oke aja. Malah seneng, tapi jangan salahin gue kalau dia...” “Oke gue mau. Itu aja kan. Sekarang, kasih tahu gue dimana proposal gue.” “Di dosen lo. Jangan tanya gimana caranya, gue nggak bakal jawab.” Eldwin tersenyum, tangannya menyentuh kepala Elvy “Gue udah tanggung jawab kan. Sekarang lo harus tepatin janji lo ke gue untuk jadi temen gue, oke El.” Lalu diacak rambut Elvy pelan, dan berbalik membiarkan Elvy yang melongo dengan pertanyaan yang ada di kepalanya. Gimana cara ni anak yakinin Bu Ratna, padahal gue aja udah coba hasilnya malah ditolak mentah-mentah. Dan juga mimpi apa gue harus temenan sama si gila. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN