Di Ambang Pelarian, Di Antara Cinta yang Menyesakkan

1067 Kata
Aku berlari kecil keluar dari hotel itu, menembus udara pagi yang dinginnya serupa cambukan perih di kulit. Langit Jakarta masih kelabu, basah oleh sisa hujan dini hari. Trotoar tampak lengang, hanya suara gemericik air hujan yang mengalir di selokan dan aroma tanah basah memenuhi udara. Kota belum sepenuhnya terjaga, hanya beberapa kendaraan lalu-lalang, dan para pedagang kaki lima sibuk menggelar dagangan mereka di sudut-sudut jalan. Tapi detak jantungku memekakkan telinga, seperti alarm bahaya yang terus berdering tanpa henti. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Terlambat untuk sebuah kata penyesalan, sebab waktu tidak bisa diputar. Satu hal yang bisa kita lakukan menghadapi atau kita akan mundur dan bersembunyi dari kenyataan. Tak ada tujuan. Tak ada tempat aman. Yang kutahu, aku harus menjauh sejauh mungkin—dari lelaki asing itu, dari Mas Sony, dari diriku sendiri yang mulai kehilangan arah. Kadang, pelarian bukan karena ingin menang, tapi karena sudah terlalu lelah untuk kalah. Karena hidup, terkadang, bukan tentang siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling mampu bertahan. “Aku harus kuat demi anak-anakku. Aku tidak bisa mati dengan cara seperti ini,” gumamku pelan. Setibanya di kontrakan, aku mengunci pintu rapat-rapat, mematikan semua lampu, lalu menjatuhkan tubuh ke lantai yang dingin dan keras. Dingin ubin menyentuh kulitku, tapi bukan itu yang membuatku menggigil. Ini rasa takut. Ketakutan yang menyesakkan d**a hingga tak bisa bernapas lega. Di luar, hujan sisa semalam masih menetes dari atap seng, iramanya seperti jarum jam yang menghitung detik-detik menuju bencana. Ponselku bergetar. Nama itu muncul di layar. Mas Sony. “Aku tidak bisa mengangkatnya,” ucapku setengah berbisik. Kupandangi layar itu seolah benda asing. Jari-jariku tak sanggup menyentuhnya. Detik demi detik berjalan, tapi dunia terasa berhenti. Getaran itu seperti suara detik jam menuju ledakan besar. Aku tahu, cepat atau lambat, ia akan datang. Dan kali ini, mungkin tak hanya membawa kemarahan—mungkin juga kehancuran. Siangnya, Iren menelepon. Suaranya panik, terdengar seperti orang yang tengah dikejar bayang-bayang. “San! Lu di mana, sih?!” “Di kontrakan… kenapa?” suaraku nyaris tak terdengar, tenggelam dalam hampa. “Lu parah banget! Sony nyari lu pagi tadi di bar! Dia ngamuk, San! Meja dibanting, Mami hampir ditonjok. Dia bilang, kalau sampe lu dugem lagi, dia bakal habisin lu! Sumpah, San, gua takut dia beneran gila!” “A-apa yang dia lakukan pada Mami?” Terdengar tarikan nafas panjang di ujung telepon, “dia hampir menghancurkan tempat itu Sanaz setelah tau kalau kamu kembali lagi ke sana.” “Aku minta maaf, malam itu mabuk.” “Apa yang terjadi?” Aku memegang d**a “Nantilah aku ceritakan Ren, aku belum bisa ceritakan saat ini, sudah dulu ya.” Tubuhku langsung lemas. Ponsel nyaris terlepas dari tanganku. Sony tahu. Kepalaku berdenyut hebat. Aku menekuk lutut di sudut ruangan, memeluk tubuhku sendiri sambil menggenggam rambut. Suara-suara mulai memenuhi kepalaku—atau itu kenyataan? Aku tak bisa membedakan lagi. Dinding kontrakan ini seperti mengecil, seolah hendak menelanku hidup-hidup. Aku sedang duduk di ruang tunggu neraka… menanti giliran eksekusi. Menjelang malam, udara semakin pengap. Jalanan di depan kontrakan mulai sepi, hanya terdengar suara sesekali motor melintas. Lampu jalan redup berpendar di antara kabut tipis. Tapi lalu, suara motor besar menghentak keras di depan. Deg. Deg. Deg. Langkah berat mendekat... gema sepatu membelah lorong... lalu DUARR! Pintu didobrak. Sony berdiri di ambang pintu. Tinggi, tegap, dan wajahnya gelap seperti mendung badai yang siap menghancurkan bumi. Urat di lehernya menegang seperti kawat baja. Matanya menyala, membakar segalanya. Di tangannya—senjatanya. “Mas, jangan!” jeritku, mundur tergesa, menabrak meja hingga kursi berjatuhan. Ia mendekat, langkahnya berat seperti singa lapar yang siap menerkam. “Lo tahu siapa yang gue temui di bar semalam?” suaranya dalam dan bergetar oleh amarah yang mendidih. “Mas... aku cuma... aku cuma butuh tenang sebentar…” Plak! Tamparannya membuatku terlempar ke lantai. Pipiku berdenyut perih. Suara anak-anakku seolah berbisik dari balik waktu—mereka tidak boleh melihatku seperti ini. Mereka tidak boleh tahu ibunya diinjak-injak. “Apa gue kurang? Duit, apartemen, makan enak, hidup enak! Tapi lo masih cari jantan lain?!” bentaknya dengan suara yang memecah hatiku lebih dari tubuhku. “Mas... Aku cuma minum... aku tidak melakukan apa-apa,” ucapku berbohong, mencoba menyelamatkan diri dari badai yang sudah terlanjur menerjang. Ia mencengkram lenganku, menarikku berdiri dengan kasar. “Jika lo ketahuan sama pria lain, lo bisa gue bikin hilang. Gue polisi, San! Sekali perintah, lo bisa lenyap tanpa jejak!” Air mataku menetes. Tapi bukan karena takut. Tapi karena aku sadar… ini bukan cinta. Ini perang berkedok kasih sayang. Kadang, seseorang mencintaimu bukan untuk membahagiakanmu, tapi untuk memilikinya seperti barang. Dan barang, kalau rusak, bisa dibuang atau dihancurkan. “Bunuh aku, Mas jika kamu tidak percaya,” bisikku lirih, suara hatiku sudah remuk. “Kalau itu bisa bikin Mas puas, bunuh aku sekarang.” Ia membeku. d**a bidangnya naik turun cepat. Jemarinya yang menggenggam senjata mulai bergetar. Perlahan, ia turunkan tangannya. Matanya... remuk, seperti menanggung luka yang tak pernah selesai. “Aku... sayang kamu, Sanaz,” katanya akhirnya, suaranya lelah, seperti tentara yang kalah perang. “Tapi kamu gak boleh begini. Jangan bikin aku jadi setan.” Sayangnya, Mas... Kau sudah jadi setan sejak lama, batinku getir. Tapi lidahku kelu, tak sanggup mengucapnya. “Aku kasih kamu kesempatan. Jangan lakukan itu lagi. Kamu milikku... satu-satunya.” “Ba—baik, Mas,” ucapku terbata, bukan karena setuju, tapi karena aku terlalu takut untuk menolak. Tiga hari kemudian Langit Jakarta siang itu terik, mentari menggantung tinggi tanpa belas kasihan. Jalanan padat, klakson bersahutan, dan hiruk-pikuk kota ini seolah tak pernah lelah. Tapi hatiku beku. Di tengah kesibukan kota yang tak pernah tidur, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari nomor tak dikenal. Satu foto buram tapi cukup jelas—aku dan pria asing malam itu, di hotel. Ini jebakan. Pesan menyertainya: "Kau pikir bisa sembunyi? Sony tahu semuanya. Nikmati sisa waktumu." Tanganku gemetar memegang ponsel. Dunia seolah runtuh. Nafasku tercekat. Ini bukan ancaman kosong. Ini panggilan kematian yang sudah mengetuk pintu. Aku harus pergi. Sekarang. Bawa anak-anakku keluar dari kota ini. Tapi... ke mana? Hidup mengajariku satu hal: Kadang, bertahan adalah bentuk perlawanan paling kuat. Tapi saat nyawamu sudah di ujung tanduk, lari adalah satu-satunya pilihan yang tersisa. Dan kali ini, aku akan lari. Bukan karena takut. Tapi karena aku ingin hidup. Karena terkadang, melarikan diri bukan berarti lemah, tapi tanda bahwa kau masih punya harapan. Untuk anak-anakku. Untuk diriku sendiri. Untuk kesempatan memulai ulang. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN