Malam yang Menghapus Nama
Setelah lima tahun hidup dalam bayang-bayang Mas Sony, aku merasa… hampa.
Lelah rasanya menjadi wanita simpanan, menjadi rahasia yang harus kusimpan rapat-rapat. Lelah jadi pelarian dari rumah megah yang bahkan tak pernah menyisakan sudut untukku. Lelah menjadi perempuan bayangan yang tak pernah diperkenalkan, hanya disembunyikan, seperti noda yang tak boleh dilihat dunia.
Hari itu, aku berdiri lama di depan cermin kecil di kontrakan sempit—tempat baruku menampung luka. Dindingnya lembab, catnya mulai mengelupas, dan udara pagi yang menerobos lewat celah jendela kayu seakan membawa dingin yang tak mampu menyentuh hatiku. Kontrakan yang terletak jauh dari pusat kota, jauh dari apartemen mewah yang dulu diberikan Mas Sony—dan direbut kembali oleh istrinya seperti merebut kembali mainan lamanya.
Semuanya lenyap begitu saja. Hartaku. Martabatku. Bahkan harga diriku ikut tercabut dari akarnya.
Aku menghela napas panjang. Suara desahanku terdengar lirih, kalah oleh derit lantai kayu yang kupijak.
“Aku sudah lelah,” bisikku pada bayangan kusam di cermin. Bibirku membentuk senyum kecil yang getir, senyum seorang perempuan yang terlalu sering berpura-pura bahagia.
Ada saat di mana sebuah senyum tak lagi menjadi tanda kekuatan, melainkan tameng usang untuk menutupi luka yang tak lagi sanggup dibendung.
“Ayah, aku titip anak-anak, ya,” ucapku lirih, menunduk di hadapan lelaki renta yang menjadi pelindung terakhirku. Kudekap tangannya yang mulai keriput, kucium dengan pelan seolah ingin menitipkan seluruh hidupku padanya. Ia hanya menatapku dengan mata sendu, tak banyak kata.
Kadang, diam adalah bahasa terdalam yang hanya bisa dipahami oleh hati yang lelah.
Ia tahu. Ia mengerti. Dan ia memilih diam, karena diam kadang lebih kuat dari seribu nasihat.
Senja mulai merayap. Langit Jakarta berubah jingga, perlahan memudar menjadi kelabu. Aku melangkah keluar, meninggalkan kontrakan, meninggalkan anak-anakku yang sedang bermain riang bersama ayahku.
Aku berjalan sendirian menuju jalan utama, melewati gang sempit yang bau pesingnya menusuk hidung. Langkahku pelan, seperti menyeret beban yang tak kasat mata.
Malam itu, aku kembali ke tempat lama—klub malam yang dulu jadi panggung pelarianku. Tempat yang penuh dengan dentuman musik, lampu kelap-kelip, dan gemerlap yang selalu berhasil menenggelamkan suara hatiku.
Klub itu berdiri kokoh di sudut jalan yang tak pernah tidur. Aroma alkohol, parfum mahal, dan asap rokok bercampur menjadi kabut yang menyesakkan, namun anehnya… menenangkan.
Ponselku terus bergetar. Nama Mas Sony berkedip-kedip seperti luka yang menolak sembuh. Aku menolak mengangkatnya. Tak peduli apakah ia marah atau cemas. Aku sudah terlalu lelah untuk memikirkan perasaannya, karena selama ini, dia tak pernah benar-benar peduli pada perasaanku.
Kadang, orang yang paling sering kau beri ruang di hatimu, justru yang paling sering menyakitimu.
Dua gelas sudah kutenggak. Rasa pahitnya mengalir di tenggorokan, seperti mengiris sisi terdalam dari kesadaranku. Kakiku mulai ringan, tubuhku mulai lentur, pikiranku… mulai beku.
Iren, sahabat setiaku sejak zaman ‘gelap’, menarik tanganku ke tengah kerumunan.
“Ayo, San! Malam ini kita bebas!” teriaknya di telingaku, mencoba menyaingi dentuman musik yang mengguncang ruangan.
Aku tertawa keras, tawaku sekeras luka yang selama ini kututup rapat. Tawaku mengambang di antara lampu neon dan kepulan asap yang menyesakkan d**a.
Tubuhku larut dalam irama, dalam dentuman yang menenggelamkan akal sehat. Di tengah gemerlap itu, para pria mulai mengerumuni kami.
Iren, dengan blazer terbuka dan tubuh yang lincah, naik ke atas meja. Lembaran lima puluh ribuan beterbangan ke arahnya. Ia menari semakin liar, semakin lepas—seolah dunia hanya milik malam itu.
“Ayo, Cantik. Temani Om minum,” ajak seorang lelaki tua bertubuh tambun, wajahnya mabuk, matanya lapar.
Aku tersenyum tipis, menolak halus, “Enggak, Om. Aku mau dabing sampai pagi.”
Aku melenggang lagi ke lantai dansa, seperti bayangan yang ingin menari sampai lupa siapa dirinya. Malam itu, aku bukan perempuan dengan cita-cita. Aku hanya ingin membuang luka, menenggelamkan rasa marahku pada istri Mas Sony yang dengan bangga memamerkan liburan keluarga mereka di media sosial.
Senyumnya yang palsu, senyumnya yang menusuk—seolah menertawakanku dari balik layar.
Aku menari hingga lututku lemas. Aku menari hingga nafasku tersengal. Aku menari hingga semuanya menjadi kabur.
Iren menyodorkan segelas minuman. “Yang ini ringan, tenang aja,” katanya, senyumnya lebar.
Aku tidak bertanya. Aku tidak peduli. Aku meneguknya seperti meneguk racun yang sudah terlalu sering kuakrabi.
Setelah itu, semuanya menjadi kabur. Musik seperti menjauh. Lampu berubah menjadi bintik-bintik yang menari-nari tak jelas.
Aku ingat duduk di sofa, di dekat seorang wanita tambun yang biasa kami panggil Mami—bos besar tempat ini. Wanita yang hidupnya berkawan dengan malam, dan menggenggam nasib banyak gadis dalam cengkeraman kukunya yang bercat merah menyala.
“Kok semua lo tolak, Neng? Udah kaya ya?” tanya Mami dengan senyum menyeringai, sorot matanya tajam, seolah menguliti.
Aku tertawa pahit. “Lagi pusing, Mi.”
Dan setelah itu… semuanya gelap.
Sinar matahari pagi menampar wajahku lebih keras dari kenyataan. Ruangan asing. Bau parfum maskulin yang samar. Kepala terasa berat, tubuh nyeri, dan tenggorokan kering seperti padang pasir.
Aku menoleh ke samping—dan jantungku seperti dihantam palu godam.
Seorang lelaki asing terbaring di sebelahku. Tanpa busana. Punggungnya berotot, rambutnya acak-acakan, dan dia tidur telungkup seolah tak peduli dunia.
Tanganku gemetar.
Dengan pelan kutarik selimut dan memeriksa tubuhku—tak ada memori, tapi rasa nyeri di tubuh dan segala yang berserakan di lantai… menjawab semuanya.
“Oh, dasar jalang sialan kamu, Sanaz…” bisikku pada diri sendiri.
Mataku panas. Air mata jatuh juga, meski kutahan sekuat mungkin. Aku bahkan tak ingat namanya, tak ingat wajahnya. Yang tersisa hanya rasa jijik yang menempel di d**a.
Ini bukan aku. Ini bukan jalan yang aku mau.
Kupungut pakaianku satu per satu, mengenakannya buru-buru. Aku harus pergi. Sebelum lelaki itu bangun. Sebelum ia tahu siapa aku—dan aku tahu siapa dia.
Biar ini jadi dosa yang tak bersaksi. Biar ini terkubur di sini, tanpa jejak, tanpa nama.
Orang-orang di lobi hotel menatapku seperti aku hantu dari neraka. Tapi aku tak peduli. Yang kupikirkan cuma satu: Bagaimana kalau Mas Sony tahu?
Di toilet hotel, aku menatap cermin. Wajahku seperti topeng tragedi. Rambut kusut, make up luntur, coretan lipstik merah masih membekas di pipi. Mata sembab yang tak mampu lagi memancarkan semangat hidup.
“Apa yang pria k*****t itu lakukan ke aku, sih?” gerutuku sambil membasuh wajah berkali-kali. Tapi bukan wajahku yang ingin kubersihkan—melainkan rasa jijik yang menempel di hatiku.
Ponselku berdenting. Getarannya menggema, menusuk telinga. Layarnya penuh notifikasi.
Puluhan panggilan tak terjawab. Puluhan pesan dari satu nama yang sama:
Mas Sony.
“Di mana kamu, Sanaz?”
“Angkat teleponmu!”
“Jangan main-main, aku bisa buat kamu menyesal.”
“Kamu di klub itu, ya?!”
Tanganku hampir menjatuhkan ponsel. Tubuhku menggigil, seperti diterpa angin musim dingin. Nafasku tercekat.
Mas Sony mencium jejakku. Dia tahu. Dan aku tahu… jika ia tahu aku bersama lelaki lain—meski aku tidak sadar, meski aku tidak ingat—aku tahu apa yang bisa dilakukan lelaki sepenyayang itu saat hatinya tersakiti.
Dia bisa… membunuhku.
Aku menatap wajah di cermin sekali lagi. Wajah perempuan yang tersesat dalam takdir yang tak ia pilih. Dan hanya satu kata yang berdentum di benakku, kuat, nyaring, seperti genderang perang:
Lari.
Kadang, jalan terbaik bukan menghadapi… tapi melarikan diri sebelum semuanya terlambat.
“Aku harus pergi… sebelum semuanya terlambat.”
Bersambung…