Febrian langsung di larikan ke rumah sakit dan di bawa ke ruang IGD. Setelah dokter melakukan pemeriksaan secara menyeluruh, dokter menyimpulkan bahwa kedua ginjal Febri tidak berfungsi. Febri di nyatakan mengalami gagal ginjal stadium 5. Harapan untuk bisa bertahan hidup adalah dengan segera melakukan operasi transplantasi ginjal karena jika tidak maka kemungkinan Febrian untuk hidup tidak akan lama.
Alesandra yang mendengar keterangan dari dokter langsung merasa hancur. Impiannya untuk membangun keluarga kecil yang bahagia sirna dalam sekejap. Alesandra tak kuasa menahan air matanya, dia menangis di samping Febri yang terlihat pucat dan masih tak sadarkan diri.
"Dok, tolong lakukan yang terbaik. Tolong segera lakukan transplantasi ginjal tersebut".
"Permasalahan kita harus menemukan donor ginjal yang cocok, jika tidak maka resikonya adalah kematian".
"Dok, saya akan bayar berapapun harganya. Tolong, dokter segera carikan donor yang cocok".
"Maaf, Bu, tapi tidak sesederhana itu, semua harus melewati tahapan pengecekan".
"Jadi, apa yang harus saya lakukan, Dok?"
"Akan lebih baik bila donor itu dari keluarga sedarah seperti ayah atau ibu atau saudara laki-laki atau perempuan dari pasien, maka tingkat kecocokannya akan tinggi dan resiko penolakan lebih rendah".
"Tapi, Dok, pasien anak tunggal dan sudah tidak mempunyai orang tua".
"Jikalau begitu, kerabat terdekat yang bersedia mendonorkan ginjal, jika ada bisa ibu bawa untuk kami lakukan pemeriksaan tingkat kecocokan. Atau orang luar juga bisa, tapi tingkat kecocokannya pasti lebih rendah".
"Baik, Dok, saya akan info kan bila ada yang bersedia menjadi donor untuk Febri".
Alesandra mencoba menghubungi beberapa kerabat terdekat Febri, namun mereka tidak bersedia menjadi pendonor.
Dengan putus asa, Alesandra pun mencoba mendaftarkan dirinya sebagai pendonor. Namun setelah melalui serangkaian pengecekan tidak di temukan kecocokan. Persentasenya hanya 10 persen, sangat rendah.
Alesandra dengan setia menemani Febrian di sampingnya sambil menggengam tangan Febri.
Febrian sudah sadarkan diri hanya kondisinya amat lemah. Segala aktivitas Febri butuh bantuan. Alesandra tidak tega melihat ini semua.
"Di, kamu dimana Di, apa kamu melihat kondisi Febri sekarang? Febri tidak memiliki banyak waktu lagi. Mungkin memang dari awal Febri ada dan tercipta hanya untukmu, Di, bukan aku. Kalian adalah pasangan yang tak terpisahkan. Sudah 6 bulan sejak kepergianmu, Di, mungkin saatnya sekarang Febri menemuimu. Tidak ada lagi yang bisa ku lakukan, aku hanya bisa ikhlas menunggu waktu Febri untuk kembali kepadamu, Di".
"Feb, aku akan membawa Ocean melihatmu, mungkin waktu kalian bersama di dunia ini hanya sebentar tapi cinta dan kasih sayang kalian akan abadi untuk selamanya".
Alesandra hari ini membawa Ocean melihat Febri. Ocean masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ocean memanggil Febri dan Febri hanya bisa memberi senyum kecil dengan bibir yang sudah pucat pasi.
"Papah,...papah, main, Sean mau main".
Sean sudah pandai berbicara di usianya yang sekarang sudah 20 bulan.
"Sean, papah mau bobo dulu, Sean main sama mamah Ales ya".
Alesandra mengajak Sean bermain sampai Sean tampak lelah dan akhirnya tertidur.
Dokter yang menangani Febri datang ke ruangan Febri dan mengatakan kemungkinan terburuk karena sudah beberapa hari tidak ada kemajuan sedang transplantasi tidak bisa dilakukan.
"Begini, bu Alesandra, ibu harus siap untuk kehilangan Pak Febri karena waktu beliau tidak akan lama. Kami mohon maaf, kami sudah melakukan yang terbaik namun Tuhan berkehendak lain. Bu Alesandra temanilah beliau di sisa-sisa waktu beliau".
"Baik, Dok. Terimakasih".
Dokter meninggalkan ruangan. Sekarang hanya tinggal Alesandra yang memandangi Febri.
"Feb, pergilah dengan tenang. Aku yakin Diandra pasti sedang menunggumu. Aku akan menjaga Ocean dengan baik, aku akan merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang".
Febri yang sudah tampak lemah bahkan untuk berbicarapun sudah terbata-bata mengucapkan salam perpisahan untuk Alesandra dan Ocean.
"Terimakasih Les. Les, aku ingin mencium Sean untuk terakhir kali".
Alesandra menggendong Ocean yang tertidur ke pelukan Febri. Febri mencium Ocean dengan airmata yang menetes di pipinya.
"Papah sayang kamu, Nak".
Lalu Febri menatap ke arah pintu dan berharap Diandra datang menjemputnya.
"Di, kamu dimana? Aku ingin melihatmu sekarang, kita bisa bersama lagi, Di".
Lama Febrian menatap pintu dengan tatapan yang sayu tapi dia tak kunjung melihat kehadiran Diandra. Dan akhirnya Febrian menutup mata untuk selamanya.
Alesandra merasa sedih, tapi dia sudah mengikhlaskan segalanya.
"Feb, selamat jalan. Hiduplah bahagia bersama Diandra di sana".
Arwah Febrian keluar dari tubuhnya, Febrian pun sudah ikhlas pergi dari dunia. Febri memandang raganya yang terbaring tak bernyawa lagi. Febri juga memandang Alesandra dan Ocean yang berada di pelukan Alesandra.
Lalu datanglah Malaikat Darius yang menyatakan kematiannya. Febrian, usia 25 tahun, meninggal pukul 20.16. Aku adalah malaikat penjemput yang akan mengantarmu ke gerbang. Ikutlah denganku sekarang.
Febrian mengikuti Malaikat Darius menuju gerbang tanpa banyak bicara. Di perjalanan, Febrian bertanya sesuatu kepada Malaikat Darius.
"Malaikat, apakah aku akan bertemu dengan istriku? Dia telah terlebih dahulu meninggalkanku. Apa kami bisa bersama kembali?"
"Semua yang manusia alami di dunia adalah kehendak Tuhan dan semua yang akan dan belum terjadi adalah rahasia Tuhan".
Sementara itu, di penjara arwah, penjaga penjara membebaskanku dan mengawalku menuju gerbang reinkarnasi. Aku berjalan mengikuti penjaga itu tanpa bicara sepatah pun. Sesampainya di gerbang, namaku sudah terdaftar di sana. Diandra, meninggal usia 24 tahun 6 bulan sekarang kamu dapat memasuki gerbang untuk bereinkarnasi.
Aku berjalan memasuki gerbang, aku melewati jembatan yang megah dan banyak arwah yang melintasi jembatan ini selain aku. Namun langkahku terasa berat seperti menarik sesuatu. Aku melihat sekitar, arwah-arwah lain tampak berjalan ringan tidak sepertiku. Lalu aku melihat ke bawah, kakiku seperti terikat tali merah yang tampak tegang. Mungkin karena inilah langkahku menjadi berat, tapi lama-lama tali merah itu mengendur.
Dan terdengar suara yang tak asing bagiku, suara itu memanggil,
"Diandra".
Aku dengan perlahan membalikkan badanku melihat pemilik suara itu.
"Febri... an".
Kami saling memandang cukup lama. Aku seolah tak percaya sosok di hadapanku ini nyata atau halusinasiku saja. Namun Febrian menghampiriku dan memelukku dengan hangat.
"Di, aku kangen sama kamu. Sekarang kita tak akan terpisah lagi"
"Feb, ini sungguh kamu. Kamu di sini di pelukanku sekarang", dengan mataku yang berkaca-kaca dan airmataku jatuh begitu saja".
"Iya, Di, Aku sekarang di sini bersamamu".
"Tapi, bagaimana mungkin kamu..., apa yang terjadi? Apa terjadi hal buruk, bukankah kamu akan menikah dengan Alesandra?"
"Di, kamu sungguh selalu di dekatku, dan menjaga kami. Benarkah kamu yang selalu menjaga Ocean dan Alesandra?"
"Iya, Feb".
Kami saling bercerita tentang hal yang terjadi kalau selama ini aku menjadi arwah penasaran karena belum bisa memasuki gerbang. Jadi aku bisa melihat dan menjaga mereka.
Febri juga menceritakan hal yang terjadi padanya saat pernikahan dan dia divonis penyakit gagal ginjal stadium akhir.
"Jadi, kamu belum menikah dengan Alesandra?"
"Belum, Di".
"Berarti, tali jodoh kita tetap terhubung. Kamu lihat tali merah di kaki kita. Ini berarti saat kita bereinkarnasi, kita akan bertemu kembali".
"Benarkah, Di? Aku bahagia, semoga di kehidupan baru kita bisa bersama sampai hari tua kita".
"Iya, Feb, aku juga berharap demikian".
"Mari kita lanjutkan perjalanan kita melewati jembatan ini".
Kamipun berjalan sambil bergandengan tangan dan menemui penjaga gerbang yang akan membacakan karma baik dan buruk yang kita lakukan selama di dunia.
Malaikat Darius yang melihat kami berjalan bersama juga bahagia.
"Semoga di kehidupan baru, kamu bahagia, Nak", sambil tersenyum lepas dan Malaikat Darius pun perlahan menghilang menjadi butiran embun.