Bab 6. Menolak Kenyataan

993 Kata
Pipiku telah basah oleh air mata yang mengalir. Perasaanku bercampur aduk dengan keadaanku sekarang. Disaat itu, Febrian menunjukkan reaksi, jari-jarinya bergerak, dan terdengar suara Febri memanggil namaku. "Di, Di..., " Alesandra yang melihat pergerakkan Febri langsung memanggil Suster. Dan dokter pun datang untuk memeriksa Febrian. "Ini suatu kemajuan yang baik, pasien bisa mendengar dan merasakan kesedihan yang merangsang otaknya untuk memberikan reaksi melalui gerakan. Anda harus lebih sering berkomunikasi dengan pasien agar otak pasien dapat terus terangsang". "Baik, Dok, saya akan melakukan yang dokter katakan. Terimakasih Dok". Aku yang mendengar kabar itu turut senang walau hati ini merasa sedih. Keesokkan harinya, aku datang lagi ke rumah sakit, sehari, 2 hari dan seminggu berlalu, keadaan Febri dari luar sudah pulih. Luka-lukanya sudah hilang, alat bantu pernapasannya pun sudah dilepas hanya tersisa infus di tangannya. Febri sudah bisa bernafas dengan normal. Febri pun di pindahkan dari ruang ICU ke ruang rawat. Alesandra dengan telaten setiap hari merawat Febri, membersihkan wajah dan tangannya dengan handuk basah. Hal yang sungguh tidak bisa aku lakukan sebagai istri. Hari ini Alesandra membawa Ocean menjenguk Febrian. Ocean yang melihat papahnya terbaring memanggil-manggil Febri. "Pah, Papah". "Iya, Sean, Papah Sean lagi bobo, Sean ajak papah bangun biar bisa main sama Sean lagi". "Feb, ini Sean mau main sama kamu, mau peluk kamu, cium kamu, kamu cepat bangun". Aku yang menyaksikan pemandangan itu serasa aku hanya orang asing di sana. Ketika Alesandra dan Ocean kembali ke rumah, aku memberanikan diri menatap Febri dari dekat. Tanpa mengucap kata hanya memandangnya dan saat itu, Febrian perlahan membuka mata. Aku terdiam dan ucapan yang pertama keluar dari mulutnya adalah namaku. Iya, dia memanggil namaku dan mengangkat tangan ke arahku seolah Febri dapat melihatku. "Diandra". Aku terkejut antara takut dan senang, aku berjalan mundur dan berdiri di sudut ruangan. Tak lama suster datang, aku segera berlari ke pintu dan meninggalkan Febri. Jantungku terus berdetak dengan cepat sepanjang perjalanan. "Tidak mungkin Febri bisa melihatku, Aku pasti salah". Aku kembali ke duniaku dan menemui Amel. Aku ceritakan apa yang barusan terjadi tapi Amel juga mengatakan mungkin aku salah, tidak mungkin manusia dapat melihat arwah. Aku pun meyakinkan diriku bahwa Febri masih dalam keadaan setengah sadar jadi mungkin itu hanya ilusinya sesaat. Sementara di rumah sakit, suster menghubungi Alesandra memberi kabar bahwa Febrian telah sadar. Alesandra pun bergegas kembali ke rumah sakit bersama Sean dan Erick. Dokter mengatakan keadaan Febri sudah membaik, tingkat kesadaran sudah normal hanya otot-otot harus dilatih agar cepat pulih dan dapat melakukan aktivitas seperti biasa. Tidak ada lagi yang perlu di khawatirkan, semua dalam kondisi baik. "Syukurlah Feb, akhirnya kamu sadar. Ini Sean, Sean sudah kangen banget sama kamu". Febrian melihat sekeliling. Dia melihat semua orang yang ada di ruangan itu, terdiam sejenak. Saat itu di ruangan ada dokter, suster, Alesandra, Ocean dan Erick. Lalu Febrian mengarahkan pandangannya ke Alesandra dan memanggil namaku. "Mah, Papah dimana? Kenapa ada dokter dan suster di sini?" Alesandra yang mendengar Febrian menganggap dirinya adalah Diandra, secara spontan menjawab Febri. "Kamu ada di rumah sakit sekarang. Kamu tak sadarkan diri selama 20 hari. Kamu mengalami kecelakaan mobil, kamu ingat kan?" "Papah haus Mah". Alesandra lalu mengambil segelas air dan membantu Febri minum. "Mah, maafin Papah sudah membuat mamah khawatir. Papah pasti cepat sembuh". Dokter menyarankan pasien harus banyak istirahat dan mengonsumsi makanan yang sehat lalu meminta keluarga untuk ke ruangannnya, setelah itu meninggalkan kamar rawat Febrian. "Feb, ini Sean sudah kangen sama kamu. Dia selalu memanggil Papahnya", sambil menggendong Sean ke sisi Febrian. "Sean, anak pintar, sudah jagain Mamah selagi Papah bobo". Alesandra ingin memberitahu kalau dirinya bukan Diandra tapi dia takut kondisi Febri drop lagi. Jadi dia menunda untuk memberitahu Febri dan ingin berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter. "Feb, aku ke ruangan dokter dulu ya, kamu bersama Sean dulu". "Iya, Mah, jangan terlalu lama". "Erick, aku titip mereka ya". Erick mengangguk lalu Alesandra pergi menuju ruangan dokter. "Dok, bagaimana kondisi Febrian sekarang? Mengapa Febri menganggap aku ini istrinya? Apa yang harus saya lakukan, Dok?" "Secara fisik Pak Febri sudah membaik, untuk jadwal latihan mengembalikan otot-otot nanti Suster akan mengaturnya. Soal Pak Febri menganggap anda itu istrinya lebih ke masalah mental atau kejiwaan. Pak Febri sepertinya tidak siap dengan kenyataan bahwa istrinya telah meninggal, dia seperti menolak untuk menerima kenyataan. Saran saya, Anda harus bisa secara perlahan membuat Pak Febri menerima kenyataan agar emosi kejiwaannya tidak terganggu". "Baik, Dok. Terimakasih atas saran Dokter. Saya permisi". "Sama-sama, Bu Alesandra". Alesandra berjalan memikirkan perkataan dokter tadi dan memutuskan untuk menjadi Diandra sementara sampai kesehatan Febri stabil baru memberitahu kenyataan yang sebenarnya. Esok harinya, Febrian mulai melakukan latihan untuk bisa mengembalikan otot-ototnya yang kaku karena terlalu lama beristirahat. Alesandra selalu menemani Febri dan merawatnya dengan baik, sementara Diandra hanya berdiam di dunia arwah karena kejadian kemarin. Diandra menjadi takut dan panik sehingga tidak berani untuk menjenguk Febri. Tiga hari berlalu, Febri sudah dapat berjalan normal dan hampir pulih sepenuhnya. Dokter juga sudah mengizinkan Febri pulang besok. Hari ini, rekan kerja Febri menjenguknya di rumah sakit, namanya Tania. Tania yang tidak tahu menahu soal Alesandra menjadi Diandra mengucapkan turut berdukacita kepada Febri. "Febrian, Aku turut berdukacita ya. Semoga mba Diandra tenang di sisi-Nya". Sontak Febri kaget mendengar ucapan Tania. "Apa maksudmu, Tania? Istriku baik-baik saja". Sesaat kemudian, Alesandra ke ruangan Febri dan melihat Tania serta reaksi Febri yang menjadi tegang. "Ini, istriku datang, ini istriku, Diandra, lihat dia baik-baik saja". "Tapi, Feb, dia ini Alesandra, kembaran istrimu, bukan?" Febrian langsung merasa kepalanya sakit, dia berteriak histeris. Sekilas kejadian kecelakaan maut itu terlintas di benaknya dan ledakan itu, Diandra, ya waktu itu dia ingin menyelamatkan Diandra yang masih di dalam mobil tapi... "Tidak, tidak, tidak,.... Diandra, Diandra, ...." Suasana menjadi tegang seketika, Alesandra tidak tahu harus berbuat apa. Alesandra ingin menenangkan Febri. Akhirnya datang beberapa suster yang mencoba menenangkan Febri dengan memberikan suntikan obat bius. Febri pun menjadi tenang dan tertidur. "Apa maksudmu, Tania? Febri itu masih labil, dia belum siap menerima kenyataan tentang Diandra". "Iya, mana aku tahu. Aku kan cuma mengatakan yang sebenarnya".
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN