bc

My Bad Brother

book_age18+
10
IKUTI
1K
BACA
forbidden
possessive
sex
age gap
arrogant
dominant
highschool
first love
like
intro-logo
Uraian

Siapa yang menyangka setelah tiga tahun berusaha melupakan kekejaman kakakku malah menjadi sia-sia ketika aku bertemu lagi dengannya?

Dan hidupku semakin dibuat berantakan oleh dia yang mulai memperlakukanku secara tidak wajar dan berlawanan dengan hukum.

Dia... adalah kakakku yang buruk.

chap-preview
Pratinjau gratis
BAB 1
Suara ketukan pintu yang terus-menerus memaksaku untuk membuka kedua mata. Aku berkedip beberapa kali sambil menutup telingaku dengan telapak tangan rapat-rapat. “Siapa?” Tanyaku memekik. “It's me!” Suaranya yang sudah sangat kuhafal membuatku beranjak dari tempat tidur secepat mungkin. Pandanganku menatap sekitar kamar yang tampak kosong sesaat sebelum membukakan pintu. “Hi, Blake.” Aku menyapanya yang dibalas dengan kening berkerut dan senyum kecutnya. Ya, dia adalah Blake Pierce, pacarku. “Demi Tuhan, Molly apa kau tidak tahu hari ini hari apa?” Aku memutar bola mataku jengah. Hari ini adalah tanggal satu Juni. Awal liburan musim panas. “Aku sudah bilang padamu, aku tidak ingin pulang. Aku ingin di asrama saja.” “Dengan siapa? Teman sekamarmu sudah pergi berlibur, dan aku tidak mungkin tinggal di sini bersamamu.” Blake berdecak kesal dan memegang kedua bahuku. “Aku tidak memintamu tinggal di sini. Sungguh, Blake, aku tidak mau pulang. Aku lebih baik di sini sendirian daripada harus menderita lagi seperti dulu.” Pikiranku kembali memutar memori menyakitkan serta menyebalkan itu. Dimana kakakku selalu menindasku dengan caranya yang kejam. “Itu sudah tiga tahun yang lalu, sayang. Apa yang harus kau takutkan? Kakakmu pasti sudah berubah.” “Bagaimana kalau tidak? Kau berani bertaruh apa?” Cecarku. “Ayolah, Molly, tidak mungkin selamanya orang menjadi jahat. Dulu kakakmu mungkin terlalu kekanakkan, tetapi tiga tahun pasti sudah membuatnya lebih dewasa sekarang. Jadi kemungkinan dia akan menindasmu seperti dulu itu kecil sekali.” Si Blake ini benar-benar suka sekali memaksa orang. Meskipun kalau dipikir-pikir dia ada benarnya juga. Aku menghela napas panjang. “Tapi aku masih takut,” rengekku membuatnya tertawa. “Kau sudah besar, tapi bertingkah seperti bayi. Begini saja, bagaimana kalau aku yang mengantarmu pulang ke London?” Aku berpikir sejenak. Rasanya masih tidak ingin pulang. “Aku akan tinggal di sana selama tiga hari?” Dan aku mengangguk setuju. “Deal.” _____ Setelah lulus SMP ibuku mengirimku ke sekolah asrama di Middlesbrough, dan sudah tiga tahun ini aku tinggal di asrama belum pernah kembali ke rumah sekalipun, aku sama sekali tidak merindukan tempatku dibesarkan itu. Yang ada hanya rasa takut bersarang di hatiku selama tiga tahun ini. Dan rasa takut itu menjelma menjadi kengerian ketika mobil Blake berhenti tepat di depan gerbang rumahku yang besar. Aku menelan ludah, memperhatikan perubahan warna pada catnya. Dulu sebelum aku meninggalkan rumah catnya berwarna merah muda dan putih, tetapi sekarang hanya ada warna putih. Bahkan sampai gerbangnya bercat putih. “Kurasa aku tidak salah alamat. Kenapa kau belum turun?” “Aku takut, Blake.” Rumah itu terlalu banyak menyimpan kenangan buruk. “Kalau kau terus merasa takut kapan kau akan berani? Lagipula kakakmu memang masih tinggal bersama ibumu?” Benar! Blake benar. Aku lupa kalau ibuku pernah memberitahuku dua tahun lalu, bahwa setelah aku pergi kakakku juga pergi dari rumah dan tinggal di apartemen miliknya sendiri. Ibu juga bilang dia hanya pulang ke rumah setiap dia libur bekerja pada akhir pekan. Dan hari ini bukanlah akhir pekan. Senyumku mengembang sempurna. Aku pun keluar dari mobil dengan berani. “Mom, aku pulang!” Seruku sambil melambaikan tangan pada kamera pengawas. Lalu gerbangnya terbuka secara otomatis. Blake langsung memasukan mobilnya ke dalam dan memarkirkannya di sebelah mobil ... Bentley Mulsanne? Aku mendekati mobil itu saking penasarannya. Kenapa mobil semahal ini ada di sini? Kulihat Blake yang baru keluar dari mobilnya juga terlihat penasaran sepertiku. “Wow ... ini mobil ibumu? Selera yang bagus.” Dia terkekeh pelan dengan kedua mata mengamati si Mulsanne. “Tidak. Ini bukan mobil ibuku. Tuh, lihat di sana, baru itu mobilnya.” Blake mengikuti telunjukku yang mengarah ke garasi dan melihat mobil Chevrolet Captiva milik ibuku. “Sepertinya ada yang tidak beres. Jangan-jangan ...” Pikiranku menebak itu mobil milik, “kekasih baru ibuku?” Entah aku berjalan secepat apa sehingga tiba-tiba aku sudah sampai di ruang tengah rumahku, mendahului Blake yang tadinya berjalan di depanku. “MOM!” Panggilku. Langkahku pun melambat, lalu terhenti setelah melihat sosok yang paling kutakuti. Ternyata mobil di depan miliknya?, tanyaku dalam hati. Aku mengira dia tidak menyadari kedatanganku karena terlihat sedang asyik menonton TV sehingga aku mundur selangkah demi selangkah. Tapi dengan mengejutkan dia menoleh ke arahku. Tubuhku pun gemetar tak karuan. “Oh Molly!” Serunya, lalu bangkit dari duduknya. Senyum seringaiannya begitu sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Begitu menakutkan. “K ... Karlssen.” Keterbataanku menyebut namanya membuat seringaian di bibirnya semakin lebar. Dan itu bukanlah pertanda baik. Oh Tuhan, kumohon jangan lagi! Ditengah-tengah suasana mencekam, Blake dan ibuku datang secara bersamaan. Blake seketika terlihat menegang kala melihat kakakku. “Akhirnya kau pulang, Moll. Kemarilah, sayang!” Ibu langsung memelukku erat sambil mengguncang-guncang tubuhku. “Aku sangat merindukkanmu.” “Kau siapa?” Pertanyaan Karlssen membuat ibuku menguraikan pelukannya dan menatap Blake. “He's my boyfriend, Blake.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku dengan angkuh. Entahlah, kupikir dengan begitu Karlssen tidak akan berani menindasku lagi. Secara yang kulihat tubuhnya Blake dan Karlssen sama besar. Apalagi pacarku ini merupakan atlet karate, aku bisa menyuruh Blake menghajarnya kalau dia macam-macam denganku. Seringaian Karlssen menghilang; ekspresinya tidak berubah sedikitpun. Selalu datar. Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya, dan berbalik pergi ke kamarnya. Dalam hati aku hanya bisa bersyukur. Pikiranku tidak salah, agaknya dia rada segan menindasku sekarang, semoga karena Blake. “Jadi, kau pacar putriku? Apa kau yang mengantar Molly ke sini?” Aku tidak tahu kenapa ekspresi di wajah ibu terlihat tidak suka. “Yes, Mrs. Greene.” Untungnya Blake terlalu bodoh membaca ekspresi orang. Dia terlihat baik-baik saja, dan malah cengengesan. “Baiklah, ini sudah hampir malam, kalian ikut aku. Kita makan malam bersama.” Aku dan Blake mengekor di belakang ibu. Sesekali mataku memperhatikan perubahan benda-benda disetiap ruangan yang kulewati. Mulai dari ruang depan hingga ruang makan tidak terlalu ada banyak perubahan. Apalagi dengan suasananya. Sama sekali tidak berbeda seperti tiga tahun lalu. Tidak menyenangkan. Di meja makan panjang, segala macam hidangan kesukaanku sewaktu kecil tersedia. Cukup mengherankan bagiku, seperti ibuku tahu aku akan pulang hari ini. Padahal aku tidak memberitahunya akan pulang. Kepulanganku ini sungguhan mendadak. “Silahkan duduk,” ucap ibuku. Perutku terlalu lapar untuk berpikir lagi, jadi aku segera duduk dan membalikkan piringku, mengisinya dengan sepotong daging ayam kalkun panggang. Sedangkan Blake hanya terduduk dan berdiam setelahnya. “Molly, apa kau lupa?” Tanya ibuku memperingatkan. Aku terdiam merasakan bulu kudukku berdiri. Ya, di keluargaku kalau waktu makan bersama harus menunggu semua anggota keluarga berkumpul terlebih dahulu sebelum bisa menyantap makananmya. Dan kulihat Karlssen belum ada di meja makan. “Tidak apa, Mom. Aku sudah di sini.” Karlssen tiba-tiba muncul, terduduk tepat di seberangku. Dia lalu melemparkan senyum andalannya yang mampu membuatku bergidik takut. Rasa laparku seketika menghilang. “Blake, silahkan dimakan. Jangan malu-malu.” Setelah itu ibuku sibuk menikmati makanannya, yang lalu diikuti oleh Blake yang nampak canggung. Bola mata dengan lensa sebiru air laut milik Karlssen belum berhenti menatapku. Akibatnya, aku hanya menundukkan kepalaku dan diam saja tanpa berniat menyentuh makanan di piringku sedikitpun. Demi Tuhan, aku takut padanya. Bukan hanya takut, tapi mungkin trauma berat. Dahulu sewaktu aku kecil selalu diperlakukan buruk olehnya. Karlssen adalah orang yang tidak punya hati bagiku. Aku tidak tahu mengapa dia terlihat sangat membenciku sampai-sampai merusak masa kecilku yang seharusnya indah malah dibuat menyeramkan dengan sikap kejamnya yang sungguh keterlaluan. Aku masih ingat betul dia pernah hampir membunuhku sewaktu umurku masih sembilan tahun. Menceburkanku ke dalam danau yang kedalamannya melebihi tinggi tubuhku yang hanya 140 cm kala itu. Satu lagi, dia bahkan pernah mengasingkanku ke suatu tempat. Kalau saja ibu tidak mencari dan menemukanku, mungkin aku tidak akan berada di rumah sekarang. Tapi sepertinya aku akan lebih bersyukur kalau-kalau aku menghilang. “Molly, kau tidak mau makan?” tanya Karlssen tiba-tiba. Hal itu mengundang perhatian ibuku dan Blake yang kini menatapku sambil mengunyah makanan di mulut mereka. “Kau sakit? Wajahmu pucat sekali, Molly.” Blake yang duduk di sampingku melayangkan tangannya menyentuh dahiku. “Tidak. Aku tidak apa-apa,” ucapku sambil menyingkirkan tangan Blake. Meski takut aku memberanikan diri mengangkat kepalaku untuk menatap Karlssen. Aku tahu dia pasti ingin membuatku semakin merasa takut. Aku tidak sudi menjawab pertanyaannya, lebih memilih makan pada akhirnya. “Nah, begitu.” Karlssen terkekeh pelan, melipat kedua tangannya di atas meja. “Jadi, bagaimana rasa masakanku?” “K-kau yang memasak?” Aku hanya ingin memastikan ketidakmungkinan ini. “Ya. Tentu saja, tapi tidak sendirian aku di bantu oleh chef pribadiku. Hahaha.” Sukses membuatku tersedak sampai terbatuk-batuk. Gosh... mustahil. “Astaga, Molly kau kenapa? Ini minumlah.” Blake menyodorkan segelas air padaku, wajahnya tampak khawatir. “Uhuk ... aku tak apa, Blake. Aku ke toilet dulu.” Secepat mungkin aku beranjak dari meja makan menuju ke dapur, lalu ke halaman belakang rumah dan menghirup udara segar. Sialan sekali si Karlssen. Benar-benar belum berubah. “Argh, dia begitu menyebalkan!” Aku menghela napas panjang dan terduduk di tepian kolam ikan koi. Entah berapa lama, yang pasti aku tidak ingin kembali ke meja makan dan makan makanan masakannya. Tidak mau. Karena mungkin saja dia menaruh racun di makanan itu. Siapa tahu, kan? Tunggu dulu, sekarang aku paham. Ibuku tidak tahu aku akan pulang hari ini, melainkan ... Karlssen yang tahu. Dia bahkan repot-repot memasak makanan untukku. Tapi bagaimana bisa? Apakah dia memata-mataiku? “Inikah balasan atas sambutanku? Kau memang tidak tahu diri.” Aku terdiam. Sial, sekujur tubuhku mendadak menggigil. Aku tidak bisa berbalik badan untuk menghadapinya, terlalu takut. Jantungku saja rasanya sudah hampir meledak. Dan aku nyaris pingsan saat dia terduduk tepat di sampingku. “Kau tahu berapa lama waktu yang kuhabiskan memasak untukmu?” Dia berbisik di telingaku. Mataku memejam, merasakan rasa takut menguasaiku. Aku hanya bisa meremas kuat-kuat rok selutut yang kupakai. Sampai kudengar Karlssen tertawa-tawa. “Tidak perlu takut, Molly. Aku tidak sungguhan marah.” Aku pun membuka kedua mataku, memberanikan diri menoleh ke samping dan menatapnya. Menyebalkan. Dia tertawa saja tetap terlihat mengerikan. Aku tidak tahu mengapa Tuhan memberikannya tampang yang 'diberkati' itu, sangat berbanding terbalik dengan sikap yang sungguh buruk yang dimilikinya. Karlssen menatapku seusai tertawa. Tatapan yang sulit dijabarkan. “Kembalilah ke meja makan. Atau aku akan membuat pacarmu menghilang sekarang juga.” Sebersit perasaan gelisah yang menggelayuti berusaha kutepis. “Kau... bagaimana kau tahu aku pulang hari ini? Apa kau memataiku atau... kau memiliki ilmu hitam untuk meramal?” Tanyaku tanpa tedeng aling-aling. Dia agaknya sedikit bingung sebelum akhirnya terbahak cukup kencang dan berdiri. “Aku tidak menyangka mendengar pertanyaan terakhirmu itu, konyol sekali.” Lalu, setelah itu dia pergi meninggalkanku, dan meninggalkan sebuah jawaban untukku dengan menyangkal pertanyaan terakhir, jadi kemungkinan dia memang memata-mataiku. Sejak kapan? Tingkah Karlssen betul-betul menakutkan. Dan aku benci diriku yang pengecut ini. Setelah makan malam, aku bersama Blake mengambil koperku yang masih di dalam bagasi mobilnya. Aku berencana untuk membujuk, yah, karena Blake berniat pergi dan tidak ingin menginap. “Blake, menginap saja di sini. Temani aku,” kataku. Sungguh, aku tidak bisa tinggal di rumah jika ada Karlssen. “Tidak bisa, Molly. Aku merasa tidak enak dengan ibumu.” “Tapi kau lihat sendiri. Ada kakakku di sini. Bagaimana kalau dia menggangguku?” Pacarku ini malah menertawaiku. Lantas dia bilang, “Karlssen sudah terlalu dewasa untuk mengganggu adiknya yang masih bersekolah.” “You just don't know him, Blake. Begini saja, aku ikut denganmu bagaimana?” “Jangan. Molly, kalau kau ikut denganku, ibumu akan marah padaku. Bukankah kita sudah sepakat? Aku akan tinggal di London sampai tiga hari ke depan. Aku akan ada untukmu 24 jam selama itu. Kau bisa menghubungiku kalau kakakmu macam-macam, aku akan segera datang dan memukulnya.” “Janji?” “I promise, my love.” Kedua tangan Blake menangkup wajahku, lalu mengecup bibirku selama beberapa detik. Menghadirkan sedikit ketenangan di hatiku. “Baiklah, kalau begitu aku pergi. Aku harus memesan hotel,” katanya. Rasanya tidak rela membiarkan Blake pergi, aku memeluknya erat-erat. “Blake, jangan pergi.” “Ayolah, Molly ... besok pagi aku ke sini lagi.” “Benarkah?” “Ya. Kita keliling kota ini. Kau pernah berjanji padaku 'kan mengajakku berkeliling kota London?” Aku hanya mengangguk antusias; Blake tersenyum lebar mencubit pipiku. “Kau menggemaskan sekali.” “Ya, aku tahu.” Lalu kami berdua tertawa. “I love you so much, Molly Greene.” Mendengarnya membuatku rela berjinjit susah payah untuk menghadiahinya ciuman. Blake ini sungguh tinggi, padahal usianya hanya berbeda setahun dariku. “I love you too, Black Pierce.” Kemudian dia masuk ke dalam mobilnya sambil cengengesan. “Sampai jumpa besok, Molly.” Dan lalu mengendarai mobilnya keluar dari gerbang rumahku. Ketenangan di hatiku menghilang bersamaan dengan mobil Blake yang kian menjauh. Aku menghela napas panjang sebelum menyeret koperku masuk ke dalam rumah. Sekarang perasaanku sungguh tidak enak. “'I love you, Molly Greene.' yang benar saja?” Suara bariton Karlssen yang mengalun sarkastis mengagetkanku. Aku menelan ludah, berhenti melangkah. Saat aku menengok ke samping, kudapati Karlssen yang sedang berdiri di depan jendela tersenyum padaku. Aku rasa dia habis menguping pembicaraanku dengan Blake. “Sejak kapan kau disitu?” tanyaku ragu. Senyum di bibirnya menghilang, berganti dengan tawa renyah. “Molly, sebaiknya kau jangan terlalu percaya pada si Pierce itu. Aku ragu kalau dia orang baik.” Sambil berjalan mendekat kearahku. Dalam hati aku teramat kesal, sekarang apakah dia sedang memprovokasiku agar aku putus dengan Blake? “Kurasa itu bukan urusanmu, Karl.” Entah bagaimana aku bisa mengatakan itu. Dengan horor Karlssen menyipitkan matanya, menatapku tajam. “Oh jelas itu urusanku, Moll. Kau adikku, 'kan?” Dia semakin dekat; aku mundur selangkah demi selangkah. “Jadi, urusanmu adalah urusanku.” Aku kehabisan ruang di belakangku, tubuhku pun akhirnya menabrak dinding. “Blake itu orang baik. Aku percaya padanya.” Karlssen sekarang berdiri tepat di depanku, menyisakan jarak yang hanya beberapa senti. Kedua tangannya yang mengepal bertopang pada dinding, mengurungku hingga tidak dapat bergerak. Lalu dia terkekeh-kekeh. “Really? Sudah berapa lama kau mengenalnya, eh?” Jantungku ingin copot dibuatnya. Aku bersumpah tengah ketakutan setengah mati saat ini. Aku ingin menangis! “Kami dua tahun berpacaran. Aku sangat mengenalnya.” Karlssen terdiam, kedua matanya mengamati wajahku dengan ekspresi yang sulit k****a. Tubuhku berkeringat dingin dan kesulitan bernapas membayangkan Karlssen mungkin punya niat menyakitiku. “Kau tahu? Yang terlihat baik belum tentu baik.” Karlssen mendengus. Menciptakan sebuah hawa panas di wajahku. “Molly.” Wajahnya mendekat sampai ujung hidung mancungnya yang ramping menyentuh ujung hidungku. “Hei, apa kau lupa caranya bernapas?” tanyanya berbisik. Tidak bisa kutahan lagi, jadi kubiarkan air mata yang kubendung meluruh begitu saja. Karlssen agaknya terkejut, dia mundur selangkah demi menatap keseluruhan wajahku. “Karl, aku mohon jangan sakiti aku lagi.” Airmataku mulai berjatuhan. Aku tidak sanggup lagi untuk tidak menangis. Katakanlah aku ini cengeng. Aku tidak peduli. “Begitu buruknya aku dimatamu? Aku tidak akan menyakitimu, Molly.” Dia mengangkat daguku agar menatapnya. “Aku tidak akan melakukannya lagi,” lanjutnya begitu pelan sembari menyeka air mata dipipiku. “S-sungguh?” Aku tidak percaya. Dengan mengejutkan Karlssen mencium keningku sekilas, yang lalu tersenyum menyeringai. “Tentu, Molly. Mulai sekarang aku akan jadi orang baik untukmu.” Kemudian dia berdiri, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Menyeringai sekali lagi sebelum berbalik meninggalkanku bersama rasa bingung. _____ Mataku terasa lelah memaksakan diri untuk tetap terjaga. Aku ingin tidur, tapi rasanya jadi sulit akibat kegundahan yang mengisi hatiku. Padahal di ponselku sudah menunjukkan pukul tiga subuh lewat. Sungguh, rasanya tidak tenang berada di rumah. Apalagi aku selalu dibayangi memori masa kecilku yang tidak menyenangkan karena Karlssen. Oh, aku ingin cepat-cepat pergi dari sini rasanya. Aku termenung-menung menatapi langit-langit kamar tak b*******h. Demi Tuhan, aku sangat mengantuk sampai tak sadar kedua mataku mulai menutup perlahan, dan nyaris saja terpejam kalau telingaku tidak mendengar suara derit pintu kamarku. “Molly.” Jantungku seketika berpacu cepat. Aku meneguk ludah, melebarkan kedua mata, dan memberanikan diri menoleh ke arah suara. Itu Karlssen. Lekas aku mendudukkan diri, menatap sosoknya yang mendekatiku lekat-lekat. “Sedang apa kau? Bagaimana kau bisa masuk?” cecarku. Padahal setahuku aku mengunci pintu kamarku. Pertanyaanku itu tidak digubris olehnya. Dia malah seenaknya menarik tanganku begitu tiba di hadapanku. “Ikut aku,” perintahnya. Begonya aku menurut saja saat dia menarikku keluar kamar. Ralat, aku sebenarnya takut membantahnya melihat ekspresi datar di wajah dingin yang seakan tak berperasaan. Dia betulan menakutkan. Merasa begitu lelah, aku menghentikan langkah kakiku sebelum menginjak teras di luar rumah. “Kau mau membawaku ke mana?” tanyaku waswas. “Aku ingin mengajakmu liburan, Molly. Dan ada yang ingin kubicarakan.” Lalu, dia kembali menarikku untuk melangkah. “Tidak. Karlssen, aku tidak mau!” Karlssen menghentikan langkahnya, menatapku dengan sebelah alis terangkat. “Tidak mau ... ?” Betapa terkejutnya aku saat dia menggendongku dengan paksa. Kemudian, berjalan menuju Mulsanne yang terparkir di pelataran rumah. “Karlssen turunkan aku!” teriakku kencang. Aku tidak peduli pada tenggorokanku yang sakit akibat berteriak sekencang itu dan memberontak sekuat tenaga, tidak ingin membiarkan Karlssen membawaku ke manapun. Aku yakin dia pasti berniat melakukan hal buruk padaku. Tapi aku kalah tenaga. Pada akhirnya dia berhasil melemparku masuk ke kursi penumpang mobilnya. Setelah Karlssen mengisi kursi pengemudi, dia langsung mengunci pintu agar aku tidak bisa keluar dari mobil. Kemudian dia menyalakan mesin dan menjalankannya. “Apa-apaan sih? Ini mau kemana? Karlssen, kau tidak sedang membuangku lagi, ‘kan?” Rentetan pertanyaan pun kulontarkan padanya ketika mobil keluar dari gerbang dan melaju cepat di jalanan yang kosong. Panik, gelisah, dan takut bercampur aduk di dalam benakku. Membuatku ingin menangis. “Kumohon, Karl, jangan sakiti aku...” “Diamlah, Molly. Sudah kubilang aku ingin mengajakmu liburan; aku tidak akan menyakitimu,” katanya datar. “Aku tidak percaya padamu!” Suaraku meninggi. “Aku tidak memintamu untuk percaya padaku,” katanya sambil memandangiku beberapa detik. Liburan apa sampai harus memaksa orang begini? Dia pasti membohongiku. Aku sangat takut, tapi meminta pertolongan pun pada siapa? Ponselku tertinggal di kamar. Puluhan menit berlalu. Sejauh ini, yang kutahu aku masih berada di London, tentunya. Belum tahu ke mana tujuan kakakku. Dia sama sekali tidak memberitahuku hendak ke mana. Semua perasaan takut di d**a ini membuatku semakin lelah. Saat merasakan laju mobil mulai melambat dan kemudian berhenti bergerak, aku mulai bernapas lega. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melarikan diri. Namun, melihat keluar kaca mobil yang menampilkan tanah lapang yang hijau aku mengurungkan niatku. “Apa ini Royal Wimbledon?” tanyaku pada Karlssen yang sedang melepas sabuk pengamannya. “Ya. Cepat turun!” “Tidak mau. Aku tidak tahu apa niatmu, yang jelas aku tidak akan menurut.” “Oh, begitukah? Apa kau mau kugendong seperti tadi?” Karlssen menyeringai. Langsung saja aku membuka pintu mobilnya dan keluar. Langit masih gelap. Juga udaranya yang sangat dingin menyengat tubuhku yang hanya memakai kaus oblong putih serta celana pendek. “Untuk apa kita kemari?” tanyaku mulai menggigil. Karlssen sudah berdiri di sampingku, dia lalu menghela napas berat. Tangannya pun menyodorkan sebuah hoodie coklat berbahan wol padaku. “Pakai ini.” Aku menatapnya ragu-ragu, lalu menerimanya dan memakainya dalam diam. Setelah itu dia menarik tanganku menuju suatu tempat dimana ada tiga orang pria berjas dan seorang wanita pemandu golf yang cantik. Aku dilanda kebingungan. Aku tidak tahu jam berapa sekarang, tapi kurasa terlalu pagi untuk bermain golf. “Master, sudah kami siapkan semuanya.” Salah satu pria berjas berkata. Aku hanya bisa mencibir dalam hati. Master? “Bagus,” ucap Karlssen. “Ayo, Moll!” Dia meraih tanganku dan menarikku lagi. Berjalan menuju golf cart berwarna putih yang berada di dekat wanita pemandu. “Tuan,” sapa wanita itu hangat dengan menundukkan sedikit kepalanya. Namun Karlssen berlalu begitu saja dengan angkuh, menaiki golf cart dan memegang kemudinya. “Tuan, biarkan saya yang membawanya.” Pemandu itu menawarkan diri. Kulihat wanita itu mengerling pada Karlssen sembari mengulas senyum tipis. “Tidak perlu. Saya bisa,” kata Karlssen sedingin es. “Naiklah, Molly.” Lanjutnya. Aku hanya bergeming, enggan. “Molly, apa kau tidak dengar? Cepat kemari, duduk di sampingku!” Mau tidak mau aku menurut. Menarik napas panjang sambil mendudukkan diri di samping Karlssen. Hanya Tuhan yang tahu betapa geram aku melihat tingkahnya yang arogan. Dia pikir dia siapa selalu memerintahku? Mobil sepanjang 6 kaki dengan berat lebih dari 900 pounds ini bergerak lambat di jalurnya. Aku hanya terdiam bersandar pada punggung kursi penumpang, berusaha mengerti situasi walau sulit berpikir akibat kantuk yang menerpa. Beberapa menit berlalu, golf cart masih terus bergerak. Entah hendak ke mana, ini sudah lumayan jauh dari tempat tadi. Yang bisa kulakukan hanya memandangi bukit-bukit kecil di tengah lapangan golf serta pepohonan yang berjejer di tepiannya dengan lesu. Lama-kelamaan langit yang gelap pun tanpa terasa sudah mulai terang. Ketika aku menatap langit di depanku, tampak sang mentari muncul dari persembunyiannya, dan membagikan cahayanya yang terang pada dunia. Aku tertegun. “Wow ... indah sekali.” Aku berdecak kagum dibuatnya. “Molly.” Suara Karlssen terdengar lembut, menarik perhatianku untuk menatapnya, yang ternyata tengah menatapku aneh dengan senyuman hangat di bibirnya. Karlssen ... tersenyum hangat. Entah kenapa rasanya senang melihat senyumnya sehingga tanpa sadar bibirku malah ikut tersenyum. Yang mana hal itu membuatnya menghentikan laju kendaraan. “Kenapa berhenti di sini?” tanyaku hati-hati. Karlssen berdehem pelan, berhenti menatapku. “Moll, kau mau dengar tidak alasan sikapku yang keterlaluan padamu sewaktu dulu?” Aku terdiam sesaat. Awalnya memang aku penasaran akan hal itu, tetapi seiring berjalannya waktu akhirnya membuatku memilih tidak ingin tahu. Ya, setidaknya aku tidak ingin sakit hati mengingat-ingat masa kecilku yang suram. “Tidak. Aku tak ingin membahasnya.” Jawabku kemudian. Dia merespon dengan diam saja serta tatapan matanya yang terasa kosong itu membuatku bertanya-tanya, kenapa dia? Setelah beberapa saat akhirnya dia melontarkan pertanyaannya lagi, “omong-omong, apa kau sungguhan mencintai si Pierce?” “Tentu saja, dia itu pacarku.” Terdengar ketus di telingaku. Ah, karena aku mulai merasa risih dengan pertanyaan-pertanyaaannya. Tapi Karlssen terlihat tidak mempermasalahkan nada bicaraku, dia malah mengangguk, dan kembali melajukan golf cart dengan kecepatan sedang. “Dimana pertama kau mengenalnya?” tanyanya lagi, menginterogasi. “Di sekolah. Dia kakak kelasku.” Karlssen menganggukkan kepalanya lagi. “Tepatnya sih kami bertemu di pesta prom tahun pertamaku di sekolah.” “Oh, begitu. Kau bilang sudah dua tahun berpacaran, apakah dia pernah menyakitimu selama itu?” Kali ini Karlssen bertanya sambil menatapku serius. Wajahnya sampai terlihat kaku. “Tidak. Blake sangat baik. Dia bahkan tidak pernah marah padaku.” Dan aku berkata jujur. Blake adalah orang yang tidak pernah marah dan penyayang. Bukan seperti Karlssen yang bertemperamental buruk atau ibuku yang cuek. Aku bahkan berani bersumpah, satu-satunya orang yang pernah menyakitiku adalah Karlssen seorang. “Benarkah?” “Ya.” “Oh. Aku terkesima mendengarnya,” katanya terkekeh-kekeh. Seakan tidak mempercayai apa yang kukatakan. “Jadi, apa saja yang sudah dia berikan padamu sampai kau begitu menjunjungnya, eh?” Aku mendengus pelan. Sudah kuduga dia pasti tidak percaya. Masa bodoh. “Pertanyaanmu itu konyol, Karl. Aku tidak menjunjungnya, Blake memang betulan sangat baik. Terserah saja kalau kau tidak percaya.” “Bukan begitu. Hm... Moll, aku hanya khawatir dia memanfaatkanmu. Lagipula kupikir sebaiknya kau fokus belajar dulu menimba ilmu. Kau masih bocah, belum boleh cinta-cintaan.” Dia mencibirku. Aku menatapnya dengan kedua mata menyipit. Rada jengkel mendengarnya. Terlebih melihat wajahnya yang sedingin es dan angkuh, juga rambut coklat keemasannya yang selalu tertata rapi. Aku merasa aku cukup umur untuk terjun ke dalam dunia percintaan, menurutku 17 tahun bukanlah usia anak-anak. Memangnya dimana letak kesalahannya dari berpacaran? Blake tidak pernah memengaruhiku dengan hal buruk. Justru dia memberikan dampak yang positif bagiku, misalnya membuatku jadi sering tersenyum, padahal sebelum mengenalnya aku adalah pribadi yang pemurung. Hah, memangnya Karlssen siapa melarang-larangku? Usianya boleh lebih tua sembilan tahun dariku, tapi bukan berarti aku akan patuh padanya. Bahkan jika ibuku yang melarang sekalipun. “Kubilang dia lelaki yang baik. Kau tidak berhak melarangku mencintainya.” “Kalau dia bukan lelaki yang baik bagaimana? Moll, kau mungkin hanya menyukainya. Tidak lebih. Aku yakin itu. Putus saja dengannya.” “Putus? Kubilang terserah saja kalau kau tidak percaya. Yang jelas aku percaya padanya. Hei, lagipula yang punya perasaan kan aku... kenapa kau bilang begitu?” Aku pusing berdebat dengannya. Apa-apaan dia meragukan pacarku yang baik, lalu bilang aku hanya menyukai Blake dan menyuruh putus? Pasti dia berpikir aku bodoh dan tidak memahami perasaanku sendiri. Hei, aku ini benar-benar mencintai Blake Pierce! Tapi menilik dari kelakuan menyebalkannya, bisa jadi dia hanya takut pada Blake? Makanya memprovokasi... sepertinya dia ingin menyingkirkan Blake dari hidupku agar bebas menindasku seperti sedia kala. “Oh, aku paham. Kau itu sebenarnya takut dengan pacarku, 'kan? Dan kau tiba-tiba tidak menindasku lagi, apa karena Blake begitu menakutkan di matamu, eh?” Tanpa peduli dia akan marah, aku melipat tangan di atas d**a dengan penuh rasa berani. Blake pernah bilang padaku, kalau aku tidak berani maka aku tidak akan pernah berani. Aku telah memutuskan menjadi berani. Dan aku, Molly Greene, tidak akan terima jika ditindas lagi oleh kakakku. “Takut? Kau bercanda?” “Yep. Secara pacarku adalah atlet karate dan mempunyai tubuh sama besar denganmu.” Aku menarik napas dalam, lalu melanjutkan, “Hahaha, apakah dia sudah mengancammu untuk tidak menggangguku, Karl? Makanya kau memprovokasiku begini? Oh, aku tidak akan putus dengannya. Asal kau tahu saja.” Keberanianku hampir saja meletup-letup, aku ingin bicara lebih banyak, tapi ekspresi datar Karlssen menakutkan. Alhasil, aku hanya bisa menelan ludah. “Kenapa kau bisa berpikir begitu? Apa aku terlihat seperti seorang yang penakut, hah? Aku bisa saja melenyapkan manusia itu kapan saja. Jika kumau,” ungkapnya datar. “Alasanku hanyalah mengkhawatirkanmu. Si Pierce ini mungkin saja menyakitimu suatu saat, makanya aku ingin kau putus. Dasar bocah bodoh.” Aku mendelik sebal. Menyakitiku? Seharusnya dia berkaca lebih dahulu sebelum berkata demikian. “Cukup. Khawatirmu itu tidak beralasan. Blake mencintaiku; dia tidak mungkin menyakitiku. Aku juga mencintainya, kami tidak akan putus.” “Sial, Molly. Kau membelanya seakan sudah begitu terikat dengannya. Kau belum sampai tahap melakukan 'itu' dengannya 'kan?” Lalu dia tertawa tanpa ekspresi. “Maksudmu seks? Kurasa hal itu lumrah dalam suatu hubungan,” tukasku menghentikan tawanya. Aku bernapas lega tidak mendengar lagi tawanya yang mengerikan itu. Tapi yang mengerikan sekarang berganti raut wajahnya yang keras seperti marmer. Juga rahangnya yang mengatup rapat. “Kau dan si Pierce pernah melakukannya?” tanyanya. Suaranya berat dan mengalun datar. Cepat-cepat aku memalingkan pandanganku darinya. Apa-apaan? Kenapa pembicaraannya semakin berat saja? Ugh, aku tidak mungkin membahas itu dengannya! “K-kenapa bertanya, itu bukan urusanmu!” “Oh memang bukan urusanku. Kau harus turun di sini pun bukan urusanku,” katanya menggeram. “Kubilang turun, Molly!” Sekali lagi dia menggeram. Sontak membuatku terkejut. Baiklah, aku menarik kembali kata-kataku untuk menjadi berani. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak merasa takut, dia terlalu menyeramkan kalau sedang marah meski aku tidak tahu penyebabnya marah padaku. Dengan terpaksa aku turun. Pikiran tentang Karlssen yang sudah berubah terhempas begitu saja dari pikiranku setelah golf cart yang dikendarainya melaju meninggalkanku di tengah hijaunya hamparan lapangan golf yang seperti tak berujung. Ya. Sekali jahat tetaplah jahat. “Dasar kakak b******k!” umpatku sekencang mungkin.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

My Secret Little Wife

read
115.3K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
202.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
218.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook